Oleh: Azzam Mujahid Izzulhaq
Founder AMI Foundation
(Arrahmah.com) – Lebih dari 70 tahun lalu, posisi negara kita adalah sama dengan Palestina sebagai negara terjajah dan Belanda adalah sama dengan Israel sebagai negara penjajah.
Palestina, walau pada saat itu sudah menjadi negara sendiri setelah Kekhilafahan Islam Utsmaniyah runtuh, adalah negara pertama yang melakukan ‘diplomasi’ terhadap penjajahan Belanda dan juga pertama kali mendukung kemerdekaan Indonesia. Namun, tidak pernah kita dengar bahwa ada tokoh ulama Palestina mendatangi Kerajaan Hindia Belanda di Batavia misalnya, untuk menghadiri seminar dengan tema perdamaian.
Ya, perdamaian hanya ada pada negara yang berkonflik. Sementara, Indonesia dan Belanda tidak sedang berkonflik. Indonesia sedang dijajah Belanda.
Secara akal sehat, tidak mungkin berbicara tentang perdamaian, rahmat, kasih sayang, kepada negara yang setiap hari membunuhi rakyat Indonesia. Menumpahkan peluh, darah dan air mata rakyat Indonesia dengan kejinya penjajahan, tanam paksa, kerja paksa dan lain sebagainya. Dalam penjajahan hanya ada satu kata, yakni perjuangan.
Tak seorang pun bahkan ulama Palestina datang ke Batavia. Karena mereka tahu bahwa Batavia bukanlah ibukota Hindia Belanda, walaupun diakui oleh pemerintah penjajah bahwa Batavia adalah ibukota mereka.
Tak seorang pun ulama Palestina datang ke Batavia karena mereka tahu, jika mereka datang sama saja artinya dengan melegitimasi, membenarkan, dan secara tak langsung telah mendukung penjajah Belanda menduduki Indonesia.
Nah, sekarang 70 tahun lebih kemudian, ketika keadaan berbalik. Ketika Palestina dijajah oleh Israel, di tengah-tengah beragam upaya dukungan, bantuan, perjuangan agar Palestina merdeka dari penjajahan Israel, tiba-tiba ada tokoh dan ulama Indonesia, datang ke Yerussalem, ibukota Palestina yang diakui sebagai ibukota Israel. Dia kemudian beralasan bahwa kehadirannya adalah menyebarkan pesan damai dan kasih sayang.
Sebagaimana dulu bahwa Indonesia tidak sedang berkonflik dengan Belanda, maka saat ini faktanya juga Palestina tidak sedang berkonflik dengan Israel. Palestina sedang dijajah oleh Israel.
Berbicara damai dan kasih sayang kepada penjajah. Di tanah yang dijajah. Disponsori oleh penjajah. Ditepuk tangani oleh penjajah. Dibanggakan oleh penjajah.
Beralasan membawa misi kemerdekaan Palestina tapi tidak menyebut satu kata pun kata Palestina.
Jadi, datang, duduk, tersenyum, bicaranya adalah untuk siapa?
Wajar, apabila jutaan warga Palestina marah. Bukan hanya Hamas, tapi juga Fatah yang menguasai otoritas negara Palestina pun marah. Mereka dilecehkan di tanah mereka sendiri oleh saudara mereka sendiri.
Ditepuk tangani dan dibanggakan musuh, tapi dikecam dan didoakan keburukan oleh saudara sendiri. Tidakkah ada malu dirasa?
Jika tak bisa merasakan, bisakah dibayangkan saja rasa sakit hati rakyat Palestina?
(ameera/arrahmah.com)