Oleh: Irfan S. Awwas
(Arrahmah.com) – Presiden RI –7 Ir. Joko Widodo alias Jokowi, akhirnya menemui delegasi Persaudaraan Alumni (PA) 212, di Istana Bogor, Ahad 22 April 2018 lalu. Pertemuan ini, kabarnya atas inisiatif Imam Besar FPI Habib Rizieq Shihab, hasil pertemuan dengan beberapa ulama di Turki dalam rangkaian kegiatan pertemuan ulama sedunia.
Delegasi PA 212 yang bertemu Jokowi disebut Tim 11 Alumni 212 terdiri dari: Misbahul Anam, Muhammad al Khaththath, Abdul Rasyid AS, Abah Roud Bahar, Slamet Maarif, Usamah Hisyam, Shabri Lubis, Muhammad Husni Thamrin, Muhammad Nur Sukma, Yusuf Muhammad Martak, dan Aru Syeif Asadullah.
Dalam pertemuan yang semula disepakati tertutup, sehingga para delegasi dilarang membawa HP, kamera, atau alat rekam, namun ternyata diam-diam pihak Istana mengambil foto dan memviralkannya. Para delegasi PA 212 menyampaikan langsung misi kedatangan mereka menemui Presiden.
Apa misi para delegator? “Menagih janji presiden yang lebih setahun lalu sepakat menghentikan kasus kriminalisasi Ulama dan aktivis Muslim, sampai sekarang belum terbukti. Kasus Jonru Ginting, Saracen, Alfian Tanjung, dll, ternyata para terdakwa tersebut masih terus diproses sampai ke pengadilan tanpa bukti,” ungkap ketua delegasi KH. Misbahul Anam.
Gayung bersambut, sekalipun sering ingkar janji, Presiden Jokowi berjanji lagi, akan mengambil langkah yang tepat atas segala keluhan dan masukan. Bak berbalas pantun, Presiden Jokowi tak menyia-nyiakan kesempatan. Dia menyampaikan berbagai keluhan seputar aneka tuduhan terhadap dirinya sekaligus mengklarifikasinya.
Tuduhan apa yang dikeluhkan Presiden? Ternyata, Presiden Joko Widodo masih menyimpan memori “sakit hati” terhadap rakyat Indonesia yang menurutnya, menggunakan cara tidak beradab untuk memperlemah posisi lawan.
“Banyak dari kita ini yang melemahkan lawan dengan cara-cara tidak beradab,” ujarnya dalam pidato di acara Konvensi Nasional 2018 kelompok relawan GK Jokowi di Bogor, Jawa Barat, Sabtu 7 April 2018.
Jokowi mencontohkan sejumlah isu miring pernah di alamatkan kepada dirinya. “Isu antek asing, dituduh-tuduhi ke saya. Jokowi itu antek asing. Gagal, lalu hilang. Muncul lagi, Jokowi itu antek aseng. Gagal, hilang lagi. Masih ada lagi isu PKI. Saya jawab, di pesantren-pesantren, waktu PKI dibubarkan, saya ini baru berumur 3 atau 4 tahun. Mana ada PKI balita,” tambahnya tanpa merasa bersalah dengan berbagai kebijakan yang menyengsarakan rakyat, sebaliknya terkesan menguntungkan pihak asing dan aseng.
Mengapa klarisifikasinya pada PA 212? Apakah Jokowi menuduh bahwa pelaku tindakan tak beradab dalam melemahkan dirinya datang dari alumni 212?
Belum jelas apa jawabnya. Walau begitu, terbetik berita, pertemuan yang dimulai sejak pukul 12:10 hingga 14:30 WIB itu, berlangsung harmoni serta penuh keakraban. Diawali Shalat Dzuhur di Masjid Jami’ Baitussalam Istana Bogor, kemudian berlanjut di ruang kerja Presiden, dan diakhiri dengan makan siang bersama.
Diplomasi Tanpa Misi
Terkuaknya pertemuan antara Presiden Jokowi dengan sejumlah tokoh yang tergabung dalam Tim 11 Persaudaraan Alumni 212 memunculkan berbagai klaim, tafsir, spekulasi bahkan fitnah.
Di kala gerakan kaos “2019 Ganti Presiden” sebagai antitesa dari gerakan, “Dua Periode untuk Presiden Jokowi,” membuat panik kalangan Istana, yang terungkap dari lisan Jokowi sendiri.
“Masa dengan kaos bisa ganti presiden. Kaos dengan hastag itu tidak bisa mendorong pergantian Presiden. Hanya ada dua yang bisa mendorong pergantian Presiden, yakni kehendak rakyat dan Tuhan,” kata Jokowi dalam acara Konvensi Nasional Galang Kemajuan Tahun 2018 di Ballroom Puri Begawan, Bogor, Sabtu (7/4/2018).
Tak dinyana, sejumlah tokoh gerakan sowan ke presiden. Spekulasi pun menyebar luas. “Presiden Jokowi berhasil ‘menaklukkan’ petinggi PA 212, yang selama ini diposisikan sebagai representasi penting kelompok kritis pembela ulama. Jokowi mendapat asupan gizi politik gratis”.
Hujan pujian pun deras mengalir ke Jokowi, dan mencampakkan posisi ulama PA 212. Politisi Partai Golkar Ace Hasan Syadzily menganggap Presiden Jokowi merupakan pemimpin yang berjiwa besar karena berani menerima kelompok yang kerap menghujatnya dengan berbagai kritikan.
“Bagi saya, pertemuan itu biasa-biasa saja ya. Presiden Jokowi dapat bertemu dengan siapa pun rakyat Indonesia. Ini menandakan bahwa Presiden Jokowi itu pemimpin yang berjiwa besar. Selama ini Pak Jokowi selalu dihujat dengan berbagai isu-isu yang sebetulnya tidak relevan oleh kelompok ini. Misalnya, anti terhadap umat Islam, kriminalisasi ulama, dan lain-lain,” ujar Ace ketus.
Politikus PDI Perjuangan, Eva Kusuma Sundari, mengklaim yang menjurus fitnah, seakan pertemuan Alumni 212 dan Presiden Joko Widodo karena alumni 212 sudah sadar dan merapat ke Jokowi. Menurutnya, hal itu menjadi salah satu alasan pertemuan antara kedua belah pihak.
“212 sendiri kan pecah. Aku melihatnya sebagian dari mereka sudah paham bahwa Pak Jokowi is a good man he’s working very hard for the nation. Jadi posisi mereka sebagian sudah sadar dan merapat ke Pak Jokowi,” ujar Eva di Jakarta, Rabu (25/4/2018), seperti dilansir Rilis.id.
Pertemuan dengan tokoh alumni 212, bagi Jokowi sebenarnya biasa saja. Tidak dianggap penting. “Saya hampir setiap hari, setiap minggu ke pondok pesantren, biasa bertemu ulama, undang ulama ke Istana,” katanya seperti dimuat media masa, Rabu 25 April 2018.
Mengamati manuver politik yang dilakukan para ulama PA 212, yang justru menimbulkan kontroversi di tengah umat. Pedih rasanya, mendengar kalangan pendukung penguasa justru mencemooh, menghina, dan menganggap enteng peran mereka.
Cukuplah kegagalan diplomasi GNPF MUI, jadi pelajaran. Saat berlangsung pertemuan antara Presiden Jokowi dengan Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF MUI) di Istana Negara pada Hari Raya Idul Fitri, Ahad 27 Juni 2017, yang kemudian dikenal Tim 7. Ada kesepakatan bahwa Presiden Jokowi menunjuk dan mempercayakan pada Menko Polhukam Wiranto untuk menghentikan “Kegaduhan Nasional” dan membangun “Dialog Damai” dengan para Ulama dan Aktivis 212. Termasuk menghentikan “Kriminalisasi Ulama dan Aktivis 212”.
Namun, faktanya sampai sekarang tak satu pun Ulama dan Aktivis 212 yang dikriminalisasi dihentikan kasusnya. Bahkan sebagian kasusnya, alih-alih di-SP3 malah justru diangkat ke pengadilan hingga divonis penjara, seperti Alfian Tanjung, Jonru Ginting, Buni Yani, Habib Haidar, Asma Dewi serta lainnya.
Kala itu, Ketua GNPF MUI Bachtiar Nasir menyebut pemerintah saat ini dalam setiap kebijakannya selalu berpendapat tidak menyudutkan umat Islam. Namun, GNPF menangkap perasaan umat Islam yang selalu dibenturkan dengan Pancasila, NKRI dan kebhinekaan. Ada kesan bahwa hukum yang diterapkan selama ini terasa tajam hanya kepada ulama Islam.
“Kami menginginkan Habib Rizieq kembali ke Indonesia dengan damai tanpa pemaksaan yang akan semakin menambah kegaduhan di tengah umat, dan ini akan menghabiskan energi yang tidak produktif,” ujar Bachtiar Nasir, dikutip dari keterangan resmi GNPF MUI, Senin (26/6/2017).
Kenyataannya, bukan saja harapan Tim 7 tidak dikabulkan. Malah tersiar kabar, sejumlah tokoh, di antaranya Bachtiar Natsir, Zaitun Rasmin, Dr. Jeje Zaenudin, Khalil Nafis, Luthfi Fathullah, Shalahudin Al Ayubi, Abdullah Gymnastiar (Aa Gym). Mereka di bawa wisata ke negeri komunis Cina.
Memang benar, rezim Jokowi sekarang sedang bermesraan dengan penguasa Komunis Cina. Pada tanggal 3 April 2018 lalu, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) memberangkatkan sebanyak 22 orang eks Napi Terorisme (Napiter) ke Beijing, Cina.
Ke 22 orang eks Napiter Bom Bali 1 itu, merupakan ekspedisi pertama dalam rangka menjalankan program deradikalisasi Mabes Polri dengan tema “Widya Wisata Muslim” ke Beijing, Cina. Mabes Polri merekrut Ustadz Fadlan Garamatan sebagai salah seorang pembimbing.
Selama lima hari di Beijing, Cina, 3 – 8 April 2018, mereka melakukan sejumlah kegiatan. Dalam rilis yang disampaikan BNPT, ke-22 orang eks Napiter itu akan melakukan kunjungan ke Tiananmen Square yang merupakan area Square terbesar di dunia, Forbidden City. Tiananmen juga dikenal sebagai tempat berlangsungnya tragedi pembantaian lebih dari 2000 mahasiswa yang berdemo menentang pemerintahan komunis Cina, pada 6 April 1989.
Begitu sulitkah mendeteksi sinyal jebakan yang menggelincirkan ini? Untuk melemahkan umat Islam, cara paling efektif adalah melemahkan para Ulama. Caranya, dicari-cari kelemahannya, baik secara finansial, politik maupun moral. Ada kalanya melalui adu domba.
Pengalaman seorang sahabat yang dikenal sebagai Da’i akhir zaman. Ketika dipanggil menghadap ke Bareskrim (Badan Reserce Kriminal) Mabes Polri, kepadanya disampaikan pesan intimidatif.
“Ustadz tidak perlu ditahan. Silakan terus berdakwah. Tapi jangan lagi membahas soal PKI, Cina dan Syi’ah”.
Lalu, mengapa umat Islam perlu dilemahkan? Karena penduduk negeri ini mayoritas umat Islam. Dimana pun di dunia ini, para penguasa takkan bisa melaksanakan program pemerintahannya, yang baik maupun yang buruk, tanpa melibatkan atau memperalat penduduk mayoritas.
Sebagai bagian dari gerakan Bela Islam 212, kita rasakan, ada yang hilang dari dinamika gerakan GNPF MUI dan sekarang PA 212. Dalam setiap negosiasi dan pressure politiknya, aspirasi Umat Islam seakan terabaikan. Misi dan orientasi perjuangan bergeser. Sehingga, apa yang dituntut dan sejauh mana mengukur keberhasilan suatu tuntutan, sulit diprediksi. Malahan, kerap direduksi tuntutan umat sebagai tuntutan personal. Misalnya, menuntut supaya menghentikan kriminalisasi ulama, dan secara spesifik, mencabut status tersangka Habib Rizieq Shihab.
Tuntutan penghentian kezaliman terhadap ulama dan aktivis Muslim, tentu saja penting. Tapi sangat disayangkan, manakala momen penting temu presiden tidak digunakan menegosiasikan aspirasi fundamental umat Islam yang berimplikasi luas.
Aspirasi Umat Islam yang mana? Seorang sahabat WA, Syahrul Dasopang mengingatkan. Beberapa aspek hukum yang menyangkut urusan umat Islam telah diakomodir dan dilembagakan dalam sistem hukum nasional. Sekadar contoh, institusi peradilan agama, UU Perkawinan, BMI, UU Zakat, UU Haji. Maka perlu bagi umat Islam, melalui tokoh-tokoh pergerakan menegosiasikan lagi tentang perluasan otonomi hukum bagi umat Islam dalam rangka menjawab kebutuhan spesifik mereka terkait hukum.
Nah, adakah yang sudah menegosiasikan hal ini, yaitu Perluasan Otonomi Hukum bagi Umat Islam, padahal telah jutaan massa dikerahkan untuk menyalurkan aspirasi yang terpendam selama ini. Kenapa hal ini alpa untuk dirumuskan dan disediakan sebagai bahan negosiasi politik?
Masih ada waktu untuk menjawab dan mengkongkritkan persoalan ini. Agar lain kali para penggerak umat, tidak hanya bersikap reaksioner dan euphoria, tapi bergerak secara sistematis, strategis dan fundamental.
Dalam perjuangan ini, mungkin kita orang-orang yang lemah. Tapi jangan bersikap lemah, akibatnya fatal. Firman Allah Swt :
“Kaum kafir menginginkan kamu kompromi dengan mereka, lalu mereka mau berlaku toleran kepadamu. Wahai Muhammad, janganlah kamu mengikuti kemauan orang-orang yang suka bersumpah secara batil dan senang berbuat hina, orang-orang yang suka mencela kaum mukmin dan suka menghasut, orang-orang yang suka merintangi orang melaksanakan syari’at Allah, orang-orang yang melampaui batas dan suka berbuat dosa, dan orang-orang yang sangat keras dalam kekafiran dan suka berbuat zina”. (Qs. Al-Qalam [68]: 9-13)
(*/arrahmah.com)