(Arrahmah.com) – Dari sekian banyak siasat musuh untuk menghancurkan Islam, salah satu di antaranya adalah membuat orang Islam takut menampilkan kebenaran Islam secara terus terang. Padahal keberanian untuk berterus terang dengan kebenaran Islam, diajarkan Al Quran. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menginstruksikan pada Rasul-Nya:
“Wahai Muhammad, katakanlah: “Inilah jalanku. Aku mengajak manusia untuk beribadah kepada Allah semata dengan hujah yang benar. Aku bersama para pengikutku mengikuti agama Allah. Mahasuci Allah dan aku sama sekali tidak mau termasuk golongan kaum musyrik.” (QS Yusuf (12) : 108)
Ayat ini merupakan perintah untuk berterus terang menyatakan, “inilah agama yang benar” berdasarkan hujah yang benar pula (‘ala basyiratin). Hal ini juga menunjukkan, bahwa tugas dakwah harus dilakukan oleh orang yang ahli dan berilmu. Karena mempertahankan kebenaran, keadilan serta kemuliaan menggunakan hujah dan argumentasi yang benar, tidak mungkin dilakukan oleh orang awam. Tidak bisa hanya mengandalkan popularitas, tapi kewajiban dakwah harus dilalakukan oleh mereka yang ahli, pintar, genius, berakhlak mulia. Untuk kepentingan dakwah, menyampaikan kebenaran Islam, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengutus manusia terbaik, pintar, mulia, jujur, militan, yaitu rasulullah, seorang nabi Shallalahu alaihi wa sallam.
Akan tetapi di zaman kita sekarang dilakukan oleh Da’i muda tanpa ilmu, hanya mengandalkan popularitas, dengan bahasa gaul, disukai karena penyampaiannya menarik, tapi isinya kacau, tidak bernas.
Dalam kondisi demikian, tiba-tiba MUI berfatwa tentang aliran dan paham sesat yang kian menjerumuskan masyarakat. Selama ini apa yang diperbuat MUI untuk membimbing umat agar tidak dijerumuskan pada kesesatan berfikir dan berprilaku? Menghindarkan masyarakat dari kemuyrikan serta prilaku munkar. Manakah orang-orang pintar bergelar doktor, profesor di bidang tafsir, hadits, fiqh. Mengapa bukan mereka yang berdakwah, dan tidak menyerahkannya pada pemuda awam dan miskin pengalaman?
Da’i kompromis
Seorang Da’i haruslah menjadi contoh dalam mengamalkan dan menegakkan kebenaran Islam. Memberi contoh akhlak mulia, kearifan, keluasan wawasan serta militansi dalam beragama. Namun yang kita saksikan sekarang, tugas dakwah dilecehkan akibat Da’i yang buruk. Berapa banyak ulama, ustadz, kyai, yang membawa amanah dakwah bergandengan tangan dengan orang kafir, ikut natal bersama dan menjaga greja atas nama toleransi. Padahal mereka membaca ayat Allah, lakum dinukum waliyadin. Surat Yusuf ayat 108 di atas menunjukkan karakter Da’i yang tidak mau mengikuti orang musyrik. “Aku dan pengikutku hanya mengikuti agama Allah, dan tidak mau terlibat dalam segala aktifitas kemusyrikan,” kata Rasulullah.
Apabila dakwah tidak fokus menunjukkan jalan lurus, membersihkan umat dari paham sesat, dan prilaku musyrik. Maka bukan kebaikan yang akan lahir, melainkan munculnya generasi rusak, amoral, pemabuk, penzina, durhaka pada orang tua, bahkan anti agama, bahkan juga ingkar sunnah.
Ketika para Da’i takut berterus terang dengan kebenaran Islam, atas nama toleransi, kemanusiaan dan sikap moderat, maka yang terjadi memang malapetaka moral dan intelektual.
Firman Allah: “Wahai Muhammad, sungguh orang-orang kafir nyaris dapat membelokkan kamu dari agama yang telah Kami wahyukan kepadamu. Mereka berupaya agar kamu melakukan kebohongan atas nama Kami dengan cara merekayasa ayat yang tidak diwahyukan kepadamu. Jika kamu mau berbuat demikian, mereka akan menjadikan kamu sebagai teman dekat mereka.” (QS Al-Israa’ (17) : 73)
Wahai Muhammad, sekiranya Kami tidak meneguhkan hatimu, sungguh kamu nyaris condong sedikit kepada mereka. (QS Al-Israa’ (17) : 74)
Wahai Muhammad, kalau kamu berbuat demikian, niscaya Kami timpakan kepadamu adzab lipat dua di dunia dan juga di akhirat. Kemudian kamu tidak akan mendapatkan seorang pun yang dapat menyelamatkan kamu dari adzab Kami. (QS Al-Israa’ (17) : 75)
Selain menakut-nakuti orang Islam, termasuk siasat para penghancur Islam adalah bersikap kompromi. Mengajak para ulama, kyai, ustadz agar mau berkompromi dalam urusan aqidah dan ibadah, merupakan siasat licik. Di zaman nabi, orang-orang kafir Quraisy mengatakan,
“Carikan ayat lain yang membolekan kami mengikuti budaya nenek moyang dan menyembah patung. Atau kita kompromi, sekali menyembah Tuhanmu di waktu lain menyembah tuhan kami”.
Nabi saja nyaris tertipu oleh makar, rayuan, propaganda, bahkan provokasi orang kafir. Padahal siapa yang meragukan militansi aqidah Nabi. Tapi dikatakan dalam ayat ini, jika Allah tidak meneguhkan hatinya, nyaris saja beliau terbawa arus pemikiran jahiliyah. Bayangkan, jika nabi saja hampir terpengaruh, apalagi para pendakwah zaman sekarang. Karena itu diperlukan konsistensi dan militansi dalam memegang prinsip dengan mohon pettolongan Allah.
Begitulah yang terjadi di masa masyarakat Qyraisy dulu. Ajakan kompromi orang kafir ini, mengingatkan kita pada sikap ulama Islam di masa Orla dan Orba. Pada tahun 60-an, ketika Bung Karno menyeru pada Nasakom, berbondong para ulama mempropagandakan paham komunis. Jika ada yang menolak mereka dipenjarakan. Seperti terjadi pada ulama Muhammadiyah bernama Fakih Usman. Dia rela diturunkan dari jabatan Ketum Muhamnadiyah demi mempertahankan aqidah. Tapi yang lain, dengan alasan demi menyelamatkan organisasi dari ancaman dan intimidasi penguasa, mereka menerima Nasakom, yang dikemudian hari disesali. Malah seorang kyai dan tokoh partai Islam mengatakan, “Jangankan dengan Nasakom, dengan setanpun kami bisa kerjasama.”
Di zaman rezim Suharto, saat diajak menjadikan Pancasila satu-satunya asas, dan memosisikan pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum, banyak ulama yang siap kompromi dan mengirbankan agamanya. Ada seorang kyai menamakan pesantrennya “Ponpes Pancasila Sakti”. Setelah Suharto mati, nama pesantrennya diganti. Oportunisme seperti juga terjadi di Mesir di bawah rezim Gamal Abdul Nasser. Ada ulama Al-Azhar Muhammad Saltut yang mengajak masyarakat, bahwa nasionalisme sejalan dengan Islam. Ulama yang menentang paham ini, seperti Abdul Qadir Audah digiring ke tiang gantungan. Di zaman reformasi, ulama Indonesia mengajak kepada Islam Nusantara yang berbeda dengan Iskam Arab. Islam Arab memproduksi terorisme, sedang islam nusantara berbasis budaya demi perdamaian. Benarlah firman Allah:
Wahai Muhammad, sungguh orang-orang kafir nyaris menjadikan kamu merasa serba tertekan tinggal di Makkah, karena mereka ingin mengusirmu dari negeri Makkah ini. Kalau orang-orang kafir jadi mengusirmu dari Makkah, maka sepeninggalmu orang-orang kafir hanya sebentar saja tinggal di negeri ini karena mereka akan dibinasakan. (QS Al-Israa’ (17) : 76)
Dengan sikap ini mereka tidak mempertimbangkan generasi yang datang kemudian, yang rusak aqidah dan akhkaknya. Jatuh pada pemahaman sesat dan menyimpang.
Keteguhan memegang prinsip, merupakan anugerah Allah. Tidak pernah terjadi dalam sejarah, kompromi dalam kemusyrikan dan kesesatan membawa kejayaan Islam. Apabila lentera dakwah dibawa oleh kaum oportunis, maka tugas dakwah akan dilecehkan orang. Wibawa Islam jadi tercemar.
Kajian malam Jum’at, 14 Januari 2016
Al Ustadz Muhammad Thalib
Teguh berprinsip anugerah Allah
Notulen: Irfan S Awwas
(*/arrahmah.com)