JAKARTA (Arrahmah.id) – Sejumlah masyarakat sipil yang terdiri dari mahasiswa, dosen hingga advokat secara resmi mengajukan permohonan ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk melakukan uji formil terhadap Peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) nomor 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Ciptaker) yang dirilis Presiden Joko Widodo.
Viktor Santoso Tandiasa, yang menjadi perwakilan dari pemohon, mengatakan bahwa permohonan tersebut telah diterima oleh salah seorang pejabat MK Syamsudin Noer, pada Kamis (5/1/2023) pukul 13.30 WIB.
Viktor mengungkapkan alasan mengapa pihaknya mengajukan permohonan uji formil terhadap Perppu Ciptaker yang dinyatakan inskontusional bersyarat tersebut. Salah satunya adalah karena pihaknya menilai bahwa Perppu tersebut melecehkan putusan MK dan kosntitusi.
“Kami mengajukan uji formil karena Perppu ini kita anggap pelecehan terhadap konstitusi dan pembangkangan terhadap UUD 1945,” kata Viktor usai menyerahkan permohonan uji formil di Gedung MK, Jakarta Pusat.
Viktor menjelaskan MK sudah menyatakan bahwa UU Ciptaker prosedurnya tidak tepat, bertentangan dengan konstitusi, maka harus diperbaiki oleh pemerintah dan DPR. Harapannya, pembuatan aturan itu juga bisa melibatkan partisipasi yang lebih maksimal lagi.
“Tapi dalam konteks ini bukannya memperbaiki, bukannya mengakomodir partisipasi publik malah mengeluarkan Perppu dengan proses yang tertutup,” ujarnya, seperti dilansir CNNIndonesia.
Terlebih, kata Viktor, pemerintah diberi waktu dua tahun untuk memperbaiki UU tersebut. Saat ini, masih tersisa satu tahun untuk perbaikan.
“Satu tahun ini masih bisa dimanfaatkan untuk memperbaiki ciptaker. Kok malah ngeluarin Perppu berarti ada tujuan yang kita tidak tahu,” ujarnya.
Viktor menyampaikan proses pembuatan Perppu juga tidak transparan. Masyarakat tidak tahu-menahu Perppu akan dikeluarkan, sehingga terkesan tiba-tiba dan terburu-buru.
Selain itu, Viktor menilai tidak ada kondisi genting yang mengharuskan presiden mengeluarkan Perppu secara mendesak.
“Dari sisi kegentingan memaksa pun, tidak ada kegentingan memaksa yang terlihat. Dan kalau kegentingan itu dikatakan, jangan-jangan pemerintah sendiri yang membuat kegentingan ini,” ujarnya.
Penggugat UU Ciptaker ini juga menjelaskan pihaknya ingin menguji Perppu tersebut terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Di sisi lain, Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun menilai kans atau presentase MK untuk menolak Perppu Ciptaker, bila sudah disahkan oelh DPR, sangatlah kecil. Ia menilai politik istana sudah menguasai baik lembaga DPR maupun MK, sehingga ia menilai gugatan itu juga terasa akan percuma.
“Secara politik besar kemungkinan Perppu ini akan lolos. Tetapi secara hukum dan secara konstitusi ini tidak benar,” kata Refly.
Refly pun menyinggung soal polemik pemecatan Aswanto dari posisi hakim konstitusi oleh DPR yang menurutnya cukup melemahkan MK.
Aswanto diberhentikan dengan alasan karena kerap membatalkan undang-undang yang telah disahkan DPR. Presiden Jokowi kemudian melantik Guntur Hamzah untuk mengisi posisi yang ditinggalkan Aswanto. (rafa/arrahmah.id)