PONTIANAK (Arrahmah.com) – Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Din Syamsuddin mengatakan, kinerja pemerintah sepanjang tahun 2010 masih buram dan lebih mementingkan politik pencitraan.
“Penyelesaian setiap masalah belum memberi solusi yang menyeluruh,” katanya, setelah membuka Musyawarah Wilayah XIII Muhammadiyah Kalimantan Barat di Pontianak, Jumat (31/12/2010).
Menurut dia, dari segi sosial, masih kerap terjadi bentrokan antarkelompok, meski secara umum kerukunan relatif membaik.
“Masih terjadi konflik, tawuran antarkelompok, yang harus menjadi catatan penting ke depan,” kata dia.
Di bidang ekonomi, krisis ekonomi yang terjadi tahun 2009 dan 2010 tidak terlalu berat dibandingkan dengan tahun 2008, namun masalah kemiskinan masih menjadi fenomena di Indonesia.
“Jangan melihat dari angka kemiskinan yang dikeluarkan pihak statistik,” kata Din Syamsuddin.
Ia menambahkan, kalau standar pendapatan per kapita dinaikkan, jumlah yang masuk kategori miskin akan jauh lebih banyak.
Di bidang hukum, aparat belum bekerja secara maksimal dan setengah hati.
“Pemberantasan korupsi masih skala retorika belaka, padahal Presiden sendiri sudah menyatakan siap menjadi garda terdepan,” kata dia.
Terungkapnya kasus-kasus perpajakan yang melibatkan kalangan birokrasi seperti Gayus H Tambunan memunculkan adanya mafia-mafia di bidang penegakan hukum.
“Itu hanya fenomena gunung es. Belum lagi kasus-kasus lainnya seperti Century,” kata Din Syamsuddin.
Ia berharap, kesejahteraan masyarakat tidak terabaikan di tengah berbagai dinamika politik, ekonomi, sosial, hukum yang terjadi di Indonesia.
Pasar Bebas Gagal
Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siradj dalam sambutan “Refleksi Akhir Tahun PBNU” di Gedung PBNU Jakarta, Rabu (29/12), mengatakan, Indonesia telah mencapai demokrasi politik, yang mengakibatkan setiap warga negara bebas berorganisasi dan bebas berpendapat.
Sebaliknya, demokrasi di ranah ekonomi semakin jauh dari harapan reformasi. Yang diharapkan membawa pemerataan justru menghadirkan ekonomi pasar bebas. Sehingga hanya pengusaha yang kuat yang bisa bertahan, sedangkan pengusaha kecil mengalami keterpurukan.
“Pasar bebas justru membuat pengusaha kecil terpuruk. Ekonomi rakyat yang terbatas modal, terbatas produksinya dan terbatas pula jaringan pasarnya dengan sendirinya akan terpuruk dan kalah bersaing. Jadi, tidak ada pemerataan,” ujar KH Said Aqil Siradj.
Menurut tokoh NU yang biasa disapa Kang Said ini, rezim pasar bebas tidak kalah beratnya dengan rezim politik represif. Ekonomi pasar yang tanpa dilandasi kesadaran hukum bagi pelaku maupun pengawasnya, mengakibatkan penyimpangan, korupsi, dan monopoli.
Desentralisasi kekuasaan juga berlaku sebaliknya, di mana rakyat di daerah tidak mampu mengontrol penguasa daerahnya. Tidak ada perubahan power relation (relasi kuasa) yang lebih egaliter antara rakyat dan penguasa setempat. Akibatnya, kata Said Aqil, tidak ada kesejahteraan rakyat. Sehingga dalam situasi sosial politik dan ekonomi yang masih timpang, dengan sendirinya kerawanan sosial berpotensi sangat tinggi, baik yang bermotif ekonomi ataupun politik. (ant/hid/arrahmah.com)