JAKARTA (Arrahmah.id) – Dilansir beberapa media di tanah air terkait pernyataan Prof Din Syamsuddin yang menyebut sidang Isbat adalah pemborosan anggaran negara dan berpotensi memecah belah ummat.
Maka saran yang disampaikan oleh Prof Din sebaiknya diserahkan kepada pada Umat Islam untuk memilihnya. Pemerintah cukup mengayomi dan memfasilitasi, bukan Justru terindikasi punya keinginan memecah belah umat. Demikian yang beredar luas di masyarakat.
Menanggapi hal tersebut, MUI Sulsel melalui komisi fatwa merespon pandangan Prof Din tersebut.
KH. Saifullah Rusmin memberiakan pernyataan bahwa dalam konsep siyasah syar’iyah, Islam memberi otoritas penuh kepada pemerintah untuk mengatur keberagamaan terutama kalau situasinya dikhawatirkan mengancam kerukunan.
Tasharruful Imam ‘alarraiyah manuthun bilmaslahah, artinya segala kebijakan pemerintah harus didasari pada kemaslahatan rakyat. Salah satu kemaslahatan yang harus dijaga adalah kerukunan internal umat beragama dan antar umat beragama.
Sementara itu, KH. Ruslan Wahab sebagai Ketua Bidang Fatwa menyatakan bahwa memilih metode hisab atau rukyah dalam penentuan syawal adalah fikih ijtihad.
Seharusnya jika pemerintah mengeluarkan ketetapan, maka ijtihad keagamaan itu melebur dalam satu praktik keagamaan yang berkaitan dengan urusan publik.
Apalagi kalau urusan keagamaan yang bersentuhan dengan publik, jika masing-masing ormas keagamaan diberi wewenang menjalankan sesuai pandangannya, malah justru mengakibatkan rusaknya persatuan dan kesatuan umat. Dengan demikian tujuan beragama yang terangkum dalam Maqashid Syariah semakin jauh dari kehidupuan umat.
Menanggapi tentang isu pemborosan, KH. Muammar Bakry sebagai Sekum MUI Sulsel menimpali bahwa kemaslahatan umat dengan mengundang perwakilan ormas untuk menyampaikan alasan hukumnya melalui istibinbath fikih yang dirumuskan dalam rangka penguatan produk fikih untuk kemudian menjadi ketetapan dalam keputusan pemerintah adalah hal yang mutlak dilakukan.
Anggaran negara tidak seberapa nilainya dibanding kemaslahatan umat yang ingin dicapai dalam sidang tersebut.
Sedangkan KH. Iqbal Gunawan merespon dengan mengangkat pandangan Imam Hasan Bashri bahwa Pemerintah berkewajiban pada lima hal pokok, terlaksananya Jumat, menjaga Jamaah (umat), tidak terjadi kesenjangan, kepastian hukum (hudud).
“Demi Allah agama tidak akan bisa berjalan dengan baik tanpa pemerintah, sekalipun ada kezaliman yang dilakukan, demi Allah kebaikannya masih lebih banyak daripada kerusakannya. Berpisah dari pemerintah bisa mengarah kepada kekufuran,” tegasnya.
Namun demikian, lanjut Muammar, sebagai negara Indonesia yang menjunjung tinggi hak beragama, berikut prinsip moderasi beragama, seharusnya perbedaan dianggap sebagai pendewasaan umat. Siap menerima perbedaan sebagai pemandangan yang menarik jika disikapi secara arif tanpa ada komentar mendiskrediktkan antara satu dengan lainnya.
Sekalipun tentu lebih maslahat lagi jika umat bersatu sebagai pengamalan substansi beragama secara usuliyah bukan secara furuiyah. Karena itu, juga sangat disayangkan ketika ada yang menghalangi kelompok tertentu untuk ber-ied (lebaran) dengan menggunakan tempat tertentu. Apalagi sampai keluar pandangan halal darah dan segala macam, tentu ini mencedarai nilai-nilai moderasi beragama kita.
Akhir dari muzakarah online yang dilakukan komisi fatwa ini, KH. Yusri Arsad dan KH. Syamsul Bahri sama-sama mengingatkan hendaknya menjaga ketenangan dan keutuhan bangsa terutama umat, agar bisa tenang dalam beribadah dan bekerja di negara yang kita cintai bersama, dan ke depannya diharapkan ada pertemuan bersakala internasional yang menghadirkan ulama-ulama dunia.
(ameera/arrahmah.id)