JAKARTA (Arrahmah.com) – Mantan Wakil Presiden RI, Jusuf Kalla (JK) menilai mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin bukanlah tokoh radikal, sebagaimana dituduhkan Gerakan Anti Radikalisme (GAR) Alumni Institut Teknologi Bandung (ITB).
Menurut JK, Din adalah tokoh yang sangat toleran, dan merupakan pelopor dialog antaragama di kancah internasional.
Karena itu, JK merasa heran apabila ada pihak yang menuduh Din sebagai tokoh radikal. Sementara, Din di mata JK adalah sosok yang selalu keliling banyak negara untuk membicarakan perdamaian antarumat beragama.
“Pak Din sangat tidak mungkin radikal, dia adalah pelopor dialog antaragama dan itu tingkatannya internasional. Saya sering bilang ke dia ‘Pak Din Anda ini lebih hebat daripada Menlu, selalu keliling dunia hanya berdiskusi dalam hal perdamaian dan inter religius.’ Jadi orang begitu tidak radikal, sama sekali tidak radikal,” kata JK melalui keterangan, Senin (15/2/2021), lansir Okezone.
Terkait status Din sebagai ASN sehingga tidak etis apabila memberikan kritik kepada pemerintah seperti yang dipersoalkan oleh GAR, JK memberikan penjelasan bahwa Din bukanlah ASN yang berada di struktur pemerintahan tapi merupakan fungsional akademis.
Menurut JK, ketika seorang akademisi memberikan pandangannya yang mungkin mengkritisi atau berbeda dengan pemerintah itu tidak melanggar etika sebagai ASN karena tugas akademisinya adalah memberikan pandangan lain sesuai dengan dengan latar keilmuannya.
“ASN itu terbagi dua, ada ASN yang berada dalam struktur pemerintahan, itu ASN yang tidak boleh kritik pemerintah karena dia berada dalam struktur pemerintah. Ada ASN akademis sebagai dosen dan sebagainya, nah disitulah posisi Pak Din. Ini bukan soal etik mengkritik sebagai ASN tapi dia mempergunakan suatu keilmuannya untuk membicarakan sesuatu,” jelas JK.
Menurut JK, ASN berprofesi dosen yang berpandangan kritis kepada pemerintah bukan hanya Din Syamsuddin saja, namun banyak juga ASN lainnya yang memiliki pandangan berbeda dengan pemerintah.
Untuk itu, JK meminta para pihak untuk dapat menghormati pandangan tersebut karena merupakan padangan profesional.
“Yang berpandangan kritis ke pemerintah bukan Pak Din saja tapi ada juga Majelis Rektor dari seluruh negeri kadang membuat pandangan yang berbeda dari pemerintah dan itu tidak apa-apa. Dosen dosen universitas katakanlah di UI ada Pak Faisal Basri, dia kan selalu kritik pemerintah itu tidak apa-apa dia profesional, dan itu tidak melanggar etika ASN kecuali kalau dia sebagai Dirjen kemudian mengkritik pemerintah, itu baru salah. Kalau seorang akademisi walaupun dia seorang ASN kemudian mengemukakan pandangannya meskipun berbeda dengan pemerintah, itu pandangan profesi dan kita harus hormati itu,” paparnya.
JK berharap tidak ada lagi perundungan terhadapa para akademisi yang berstatus sebagai ASN dan memberikan pandangan kritisnya ke pemerintah.
Menurut JK, pandangan alternatif dari akademisi akan selalu dibutuhkan oleh pemerintah, jika tidak ingin negara menjadi otoriter.
“Bayangkan kalau tidak ada akademisi ini membukakan jalan alternatif maka negeri akan jadi otoriter. Jadi, kalau ada yang mau mempersoalkan posisi Pak Din sebagai ASN dan pandangannya kepada pemerintah, berarti dia tidak ngerti tentang undang-undang, dan bahwa anggota GAR itu alumni ITB tapi ITB secara institusi juga sudah mengatakan bahwa mereka bukan organisasi resmi dari ITB,” pungkasnya.
(ameera/arrahmah.com)