JAKARTA (Arrahmah.com) – Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) M. Din Syamsuddin mengatakan pengangkatan menteri harus dipahami rakyat adalah hak prerogatif presiden.
Tapi, lanjutnya, kepala negara juga harus memahami bahwa rakyat memiliki hak untuk menilai karena mereka adalah stake holders riil dari bangsa dan negara, serta pemegang kedaulatan sejati.
Seperti pikiran-pikiran dari Rapat Pleno Dewan Pertimbangan MUI ke-44 pada 23 Oktober 2019,
Din mengatakan bahwa penilaian terhadap kabinet sebaiknya tidak diarahkan kepada pribadi seseorang menteri, tapi pada proses dan faktor-faktor kenegarawanan yang seyogyanya dipertimbangkan oleh pemilik hak prerogatif.
Faktor-faktor kenegarawan tersebut, lanjutnya, adalah pertimbangan kesesuaian penempatan seseorang the right person in the right place, derajat akomodasi kemajemukan bangsa atas dasar agama dan etnik, akomodasi kekuatan aspiran riil dalam masyarakat seperti organisasi masyarakat madani yang punya peran kebangsaan, dan tentu arah kebijakan sesuai dengan visi strategis bangsa dalam Konstitusi.
“Dalam kaitan ini, memang dapat ditengarai rendahnya derajat kenegarawanan, lebih mengedepankan rasa superior atau ketakabburan, pendekatan “keluar kotak” semu, dan cenderung jalan sendiri, kurang akomodatif terhadap elemen pendukung dan pendamping,” ujar Din, Jumat (25/10/2019), lansir RMOL.
Din menilai, ada persoalan historis dan psikologis yang diabaikan yakni penempatan menteri pada kementerian yang memiliki dimensi historis kuat seperti bidang agama dan pendidikan.
“Lementerian bidang agama erat terkait dengan kompromi politik di awal kemerdekaan untuk akomodasi aspirasi golongan Islam dan berperan sentral untuk memfungsikan agama sebagai faktor pendorong pembangunan bangsa,” tegasnya.
Sedangkan kementerian bidang pendidikan terikat erat dengan amanat konstitusi “mencerdaskan kehidupan bangsa” yang berhubungan dengan pembentukan watak bangsa atau nation and character building.
“Agaknya, keputusan yang ada bersifat ahistoris dan asosiologis,” sebut Din.
Di atas semua itu, ujar Din, orientasi pemerintahan lima tahun ke depan seperti dapat dipahami dari arahan Presiden Joko Widodo kepada para menteri, patut dicermati.
“Penekanan pada pembangunan infrastruktur fisik dari pada non fisik adalah berbahaya dan akan menimbulkan ketimpangan budaya,” tandasnya.
Bandingkan dengan slogan Order Baru “pembangunan manusia Indonesia seutuhnya”. Pengabaian pentingnya pembangunan moralitas atau akhlak akan menciptakan generasi yg tidak bermoral. Bandingkan dengan wawasan Presiden ketiga RI BJ Habibie “integrasi Imtak dan Iptek”.
Dan secara khusus, arahan Presiden kepada Menteri Agama Fachrul Razi untuk mengatasi radikalisme adalah sangat tendensius.
Radikalisme, yang memang harus kita tolak terutama pada bentuk tindakan nyata ingin memotong akar (radix) dari NKRI yang berdasarkan Pancasila. Di sini, kata Din, presiden dan pemerintah tidak bersikap adil dan bijaksana.
“Radikalisme, yang ingin mengubah akar kehidupan kebangsaan (Pancasila) tidak hanya bermotif keagamaan, tapi juga bersifat politik dan ekonomi. Sistem dan praktik politik yang ada nyata bertentangan dengan sila eeempat Pancasila, begitu pula sistem dan praktik ekonomi nasional dewasa ini jelas menyimpang dari sila kelima Pancasila,” paparnya.
“Mengapa itu tidak dipandang sebagai bentuk radikalisme nyata, yang tidak lagi bersifat pikiran tapi sudah perbuataan menyimpang, terhadap Pancasila,” lanjutnya.
Bahkan, kata Din, ada sikap dan tindakan radikal terhadap Negara Pancasila seperti komunisme, yang pernah dua kali memberontak, atau separatisme yang ingin memisahkan diri dari NKRI tapi tidak dipandang sebagai musuh Negara Pancasila.
“Jika presiden dan pemerintah hanya mengarahkan tuduhan dan tindakan anti radikalisme terhadap kalangan Islam, maka itu tidak akan berhasil dan hanya akan mengembangkan radikalisme yang bermotif keagamaan. Umat Islam yang sejatinya tidak radikal bahkan berwawasan moderat sekalipun akan tergerak membela mereka yang dianggap radikal jika diperlakukan tidak adil. Kebijakan dan tindakan anti radikalisme demikian akan gagal dan akan dilawan karena dianggap sebagai bentuk radikalisme itu sendiri dan diyakini sebagai bentuk ketidakadilan atau kezaliman,” jelasnya.
Terkhir, Din menghimbau, sebagai warga negara yang baik, sebaiknya kita semua memberi kesempatan kepada Pemerintah Presiden Jokowi dan Wapres Maruf Amin untuk bekerja mengemban amanat dan merealisasikan janji-janjinya.
“Dan sebagai rakyat yang baik pula, kita berhak dan berkewajiban untuk mengingatkan bahwa kekuasaan itu amanat dan amanat itu akan dimintai pertanggung jawaban,” pungkasnya.
(ameera/arrahmah.com)