(Arrahmah.com) – Pemerintah Kota Lhokseumawe, Aceh, memberlakukan larangan bagi perempuan duduk mengangkang saat diboncengkan dengan sepeda motor. Hal itu tertuang dalam surat edaran yang ditandatangani Wali Kota Lhokseumawe Suadi Yahya, Rabu (2/1/2013).
Alasan pemberlakukan aturan tersebut menurut Suadi Yahya adalah adanya keinginan para ulama yang tergabung dalam MPU (Majelis Permusyawaratan Ulama), MUNA (Majelis Ulama Nanggroe Aceh), dan juga MAA (Majelis Adat Aceh), yang menyampaikan perlunya melaksanakan Syariat Islam dan adat istiadat Aceh secara kaffah dan lebih baik. Disamping itu guna mengembalikan nilai-nilai kearifan lokal di Aceh yang menurutnya sudah mulai ditinggalkan karena tergerus oleh kehidupan yang modern.
Peraturan ini sontak menyebabkan kontroversi di kalangan beberapa pihak, peran media massa menjadikan kontraversi meresonansi ke banyak masyarakat Aceh, ataupun masyarakat Indonesia, bahkan menembus ke mancanegara.
Bagi yang pro, mereka beranggapan bahwa peraturan tersebut menjaga marwah wanita di jalan raya. Sehingga wanita akan terhindar dari tindakan kriminal khususnya kepada kaum wanita. Sedangkan yang kontra beranggapan bahwa peraturan tersebut adalah sebuah peraturan yang diskriminasi terhadap wanita, seolah-olah wanita adalah subjek dari tindakan kriminal, yakni wanita sebagai penyebabnya.
Walaupun secara fiqih memang harus lebih di kaji apakah duduk menyamping itu adalah wajib atau mubah, mengingat alasan dari pemberlakukan duduk secara menyamping tersebut salah satunya adalah agar tidak membentuk lekuk tubuh wanita. Karena faktanya duduk secara mengangkang tersebut secara syar’I dalam kondisi tertentu adalah boleh (baca:mubah) sebagaimana pada masa Rasul SAW dan Sahabat ketika seorang wanita duduk di unta (atau keledai dan kuda) dengan posisi duduk mengangkang tidak menyamping penuh, kemudian kebolehan tersebut juga dengan catatan bahwa wanita tersebut tidak memperlihatkan lekuk tubuhnya, artinya pakaian yang dikenakan itu harus bisa menutupi lekuk tubuhnya. Karena faktanya orang yang duduk secara menyamping pun lekuk tubuhnya masih tetap terlihat. Artinya harus kembali kepada fiqih bagaimana hukum busana muslimah ketika berada di kehidupan umum, yakni dengan memakain jilbab (gamis) dan khimar (kerudung).
Namun demikian, sebagai muslim tentu kita mengapresiasi spirit (ruh) yang melatari lahirnya peraturan tersebut, yakni ingin menerapkan syariah Islam dalam aspek kehidupan real. Itu point pentingnya.
Ironi Demokrasi
Terlepas dari pro dan kontra mengenai perda syariah tersebut, kita melihat ada hal yang menarik dalam masalah ini yakni ide (ilusi) demokrasi. Ungkapan Vox Populi Vox Dei (Suara Rakyat Suara Tuhan) sudah sering kita dengar di era demokrasi. Artinya ketika mayoritas suatu bangsa atau masyarkat bersepakat akan suatu persoalan maka itu harus menjadi suatu aturan yang wajib diterapkan dan dipatuhi karena hal tersebut adalah kehendak masyarakat.
Namun kita melihat disinilah ironinya ide demokrasi. Ketika mayoritas masyarakat menginginkan diterapkannya perda syariah, pemerintah masih menimbang-nimbang efek negatif serta positif perda tersebut bagi masyarakat. Bahkan kecondonganya bernafsu untuk mengaborsi perda tersebut dengan berbagai dalih. Mulai dari alasan filosofis, sosiologis, yuridis hingga politis yang dipaksakan. Sekedar mengingat ulang bahwa jika diterapkan syariah maka kemaslahatan akan di dapat, sebagaimana kaidah syara’ yang berbunyi “idza kaana syar’u an takun al maslahat-dimana ada syari’ah, disana pasti ada maslahat”.
Hakikatnya dalam demokrasi tidak pernah ada yang namanya rakyat sebagai penentu keinginan. Sejarah AS sendiri menunjukkan hal tersebut. Presiden Abraham Lincoln (1860-1865) mengatakan bahwa demokrasi adalah, “from the people, by the people, and for the people“ (dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat). Namun, hanya sebelas tahun kemudian setelah Lincoln meninggal dunia, Presiden AS Rutherford B. Hayes, pada tahun 1876 mengatakan bahwa kondisi di Amerika Serikat pada tahun itu adalah “from company, by company, and for company“ (dari perusahaan, oleh perusahaan dan untuk perusahaan). Sejak awal kelahirannya, kedaulatan dalam demokrasi ada di tangan segelintir rakyat (bukan di tangan rakyat), yakni di tangan para pemilik modal. Hanya saja, mereka menipu rakyat dengan menggembar-gemborkan seolah-olah kedaulatan ada di tangan rakyat. Jadi, bila perubahan yang dikehendaki adalah daulatnya rakyat maka demokrasi tidak memberikan hal itu. Yang berdaulat dan berkuasa dalam demokrasi adalah para pemilik modal.
Kita pun melihat bagaimana para pengusung ide demokrasi yang selalu menggembor-gemborkan ide kebebasan. Di dalam sistem demorasi, memang demokrasi memberikan tempat untuk menyuarakan syariah Islam, namun fakta demokrasi tidak memberikan tempat agar syariah Islam tersebut dapat diterapkan.
Dari fakta tersebut kita bisa melihat bahwa demokrasi memang bukanlah cawan untuk penegakkan syariah Islam. Bukan sistem politik yang relevan untuk tatbiqus syari’ah, karena kontradiksi diametrikal mulai dari asas hingga cabangnya. Kalaupun diterapkan, syariah Islam tersebut hanyalah komplementer atau pelengkap terhadap peraturan (hukum positif produk akal). Syariah Islam yang diterapkan hanyalah parsial, tidak menyeluruh.
Pilar Penerapan Syariah Islam
Pilar pertama adalah adanya ketakwaan yang dimiliki oleh individu-individu kaum muslimin. Ketakwaan inilah yang akan mendorong seseorang untuk selalu berbuat kebaikan dan ketaatan kepada Allah SWT, dan ketakwaan ini pulalah yang akan menjaga dan menjauhkan seseorang dari melakukan pelanggaran dan penyimpangan. Karena orang yang takwa, menyadari sepenuhnya bahwa Allah SWT senantiasa mengamati setiap perbuatan dan tingkah lakunya. Dia juga menyadari, bahwa Allah SWT akan meminta pertanggung jawabannya atas semua amal yang dia kerjakan. Sehingga dia akan selalu berusaha taat dan menjauhi perbuatan-perbuatan dosa dan maksiat. Seandainya pun dia terlanjur berbuat dosa, karena ketakwaannya ia akan segera menghentikan perbuatannya itu dan segera bertobat serta tidak akan mengulanginya. Sebagai contoh di masa Rasulullah SAW, pernah ada dua orang yang berzina. Mereka adalah Maiz Al-Aslami dan Al-Ghomidiyah. Masing-masing berzina, yang sudah barang tentu tanpa diketahui oleh siapapun. Tapi karena didorong oleh ketakwaannya, akhirnya mereka menghadap kepada Rasulullah SAW untuk meminta dihukum rajam dan disucikan. Padahal kalau mau, bisa saja mereka terus menyembunyikan dosa mereka. Tapi karena ketakwaan yang dimiliki , mereka tidak merasa tenang sebelum mereka dihukum sebagai bentuk pensucian diri di hadapan Allah SWT.
Kita bisa lihat, saat ini pilar ketakwaan itu telah goyah bahkan tegerus demikian dasyat dari kaum muslim. Sehingga mereka dengan leluasa terus berbuat dosa, melakukan pelanggaran, dan kemaksiatan. Tanpa rasa khawatir akan adzab dari Allah SWT. Saat ini begitu banyak orang Islam yang meninggalkan kewajiban mereka. Meninggalkan ibadah yang difardhukan kepada mereka, mencampakkan hukum-hukum Allah SWT yang semestinya mereka terapkan. Mereka tidak lagi memperhatikan aqidah dan syariah Islam dalam kehidupannya. Tapi malah terus menjerumuskan diri ke dalam kemaksiatan, dosa, dan berbagai betuk pelanggaran. Mereka memakan riba, mereka berzina, mereka mabuk-mabukan, mereka berjudi, mereka korupsi dan lain sebagainya. Sehingga pilar ketakwaan yang seharusnya dimiliki oleh individu itu benar-benar telah runtuh.
Pilar yang kedua, adalah kontrol dari masyarakat. Yakni adanya ketakwaan yang dimiliki secara kolektif oleh masyarakat. Artinya, masyarakat yang takwa adalah masyarakat yang peduli terhadap penerapan syariat Islam, dan peduli juga terhadap setiap bentuk pelanggaran syariat. Masyarakat harus membenci seluruh perkara yang dibenci Allah, dan masyarakat harus mencintai apa yang dicintai Allah SWT. Dan ini bisa terwujud apabila amar ma’ruf dan nahyi munkar dilakukan oleh setiap individu masyarakat. Sebagai contoh, ketika ada seseorang yang terlihat melakukan pelanggaran syariat baik disengaja ataupun tidak. Misal, ada seorang muslimah yang membuka aurat/tidak berjilbab di muka umum, atau ada dua orang laki-laki perempuan bukan mahrom yang berdu-duaan, atau melakukan bentuk kemaksiatan lainnya. Maka semua orang yang ada disekitarnya, akan mengingatkan dan mencegahnya agar menghentikan kemaksiatannya itu. Jika semua orang, secara kolektif melakukan kontrol semacam ini, sudah tentu tidak akan ada yang berani melakukan pelanggaran sekecil apapun di muka umum. Karena ketatnya kontrol masyarakat terhadap setiap orang.
Maka kita bisa lihat, pilar kedua ini pun saat ini sudah runtuh. Masing-masing orang tidak peduli lagi dengan pelanggaran, kemaksiatan yang terjadi disekelilingnya bahkan mereka sendiri malah menjadi pelaku pelanggaran dan kemaksiatan tersebut.Yang menyedihkan lagi munculnya gejala diamnya orang-orang yang berilmu (di posisikan oleh masyarakat sebagai ulama ataupun rujukan) atas kedzaliman-kedzaliman dasyat yang dilakukan oleh pemerintah mulai dari persoalan ekonomi, keadilan hukum sampai negara ini yang dikelola dengan sistem yang jelas-jelas thogut.
Adapun pilar ketiga, dan inilah pilar yang seringkali dilupakan yakni adanya kekuasaan atau negara yang menerapkan syariat Islam secara sempurna kepada rakyatnya. Pilar negara ini sesungguhnya yang akan menyempurnakan dua pilar sebelumnya yakni ketakwaan individu dan kontrol masyarakat. Karena negaralah yang mampu menerapkan Islam berikut melaksanakan hukum-hukum dan sanksi-sanki terhadap setiap pelanggaran. Negaralah yang bisa melaksanakan hukum potong tangan bagi pencurian, yang bisa melaksanakan hukum cambuk bagi perzinahan, bahkan negara bisa menghukum orang –orang yang meninggalkan sholat, meninggalkan puasa dan pelanggaran lainnya. Ringkasnya, dengan adanya negara yang menerapkan Islam, kemungkinan besar seluruh syariat Islam akan dapat dilaksanakan berikut sanksi-sanksi terhadap pelanggaran pun dapat dilaksanakan. Tetapi sebaliknya, tanpa negara yang menerapkan Islam, akan banyak hukum-hkum yang terlalaikan bahkan sulit diterapkan.
Penerapan Syariah Menjadi Penebus Jawabir & Jawazir
Salah satu keistimewaan diberlakukannya hukum syariah Islam adalah sebagai jawabir dan jawazir. Keistimewaan ini tidak akan kita temui di luar daripada hukum Islam.
Misalnya, hukum syariah Islam ketika diterapkan kepada orang-orang yang melakukan tindakan kriminal, dan ketika kepada mereka diberlakukan hukum syariah, maka dosa mereka di dunia telah terhapus, inilah yang dinamakan sebagai jawabir.
“Kalian berbai’at kepadaku untuk tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anak-anakmu, tidak membuat-buat dusta yang kalian ada-adakan sendiri dan tidak menolak melakukan perbuatan yang ma’ruf. Siapa saja menepatinya maka Allah akan menyediakan pahala; dan siapa saja yang melanggarnya kemudian dihukum di dunia maka hukuman itu akan menjadi penebus (siksa akhirat) baginya. Dan siapa saja yang melanggarnya kemudian Allah menutupinya (lolos dari hukuman dunia), maka urusan itu diserahkan kepada Allah. Jika Allah berkehendak maka Dia akan menyiksanya; dan jika Dia berkehendak maka akan memaafkannya.” [HR Bukhari dari ‘Ubadah bin Shamit].
Disamping itu, pemberlakukan syariah Islam akan menjadi sarana pencegah terjadinya perbuatan tindak kriminal yang baru, inilah yang disebut sebagai Jawazir.
Sebagai contoh, ketika diterapkannya hukum qishash, maka qishash tersebut akan mencegah terjadinya tindakakan balas dendam kepada keluarga korban kepada pelaku atau keluarga pelaku.
Allah swt berfirman : “Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.” [surat al baqarah ayat 179]
Al-Alusi berkata dalam tafsirnya, Ruhul Ma’ani (2/1130), mengatakan, “Makna qishash sebagai jaminan kelangsungan hidup adalah kelangsungan hidup di dunia dan di akhirat. Jaminan kelangsungan hidup di dunia telah jelas karena dengan disyariatkannya qishash berarti seseorang akan takut melakukan pembunuhan. Dengan demikian, qishash menjadi sebab berlangsungnya hidup jiwa manusia yang sedang berkembang. Adapun kelangsungan hidup di akhirat adalah berdasarkan alasan bahwa orang yang membunuh jiwa dan dia telah diqishash di dunia, kelak di akhirat ia tidak akan dituntut memenuhi hak orang yang dibunuhnya.”
Oleh karenanya, sebagai seorang yang mengaku muslim, tidak sepatutnya merasa gerah terhadap penerapan syariah Islam (kecuali orang yang nifaq). Disamping penerapan syariah itu sendiri adalah perwujudan keimanan kita kepada Allah swt sebagai pencipta kita, sekaligus juga menjalankan syari’ah Islam yang diberikan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai utusan Allah swt sebagai pembawa risalah Islam yakni aqidah dan syariah Islam, yang berfungsi mengatur hubungan manusia dengan penciptaNya dalam perkara ibadah, untuk mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri yakni dalam pengaturan masalah akhlaq, makanan, pakaian dan minuman, serta untuk mengatur hubungan manusia dengan sesamanya yakni dalam perkara mu’alamah dan ‘uqubat. Itulah kesempurnaan Islam sebagai agama sekaligus sebagai sebuah ideologi.Cuman sayang, masih banyak generasi Islam bermimpi semua itu bisa diwujudkan melalui jalan yang bernama demokrasi. Jangan lupa, Islam telah menggariskan solusi (syariah;seperangkat aturan lengkap untuk kehidupan politik), sekaligus metode penerapannya (thoriqoh/method). Islam hanya bisa tegak secara kaffah dengan institusi yang disebut Daulah Islamiyah (Khilafah ala Minhajin Nubuwah).Wallahu A’lam bishowab.
Oleh: Adi Victoria, Analis CIIA (The Community of Islamic Ideological Analyst)