MYANMAR (Arrahmah.com) – Puluhan warga pengungsi Rohingya meninggal dunia setelah kapal mereka terbalik dan tenggelam di laut Myanmar pada Selasa (19/4).
Saksi mata mengatakan, warga Muslim Rohingya terpaksa mengambil jalur laut yang berbahaya karena dilarang menempuh jalur darat.
21 warga Rohingnya meninggal, termasuk di antaranya sembilan anak-anak, lansir AFP, Rabu (20/4/2016). Mereka merupakan warga di kamp pengungsi Sin Tet Maw, kota Pauktaw, yang hendak menuju Sittwe, ibu kota negara bagian Rakhine, dengan menggunakan perahu tak layak pakai.
Mereka terusir akibat kekerasan dari kelompok Buddha Rakhine dan terpaksa tinggal di kamp pengungsi. Kamp pengungsi tersebut kini menampung 1.500 orang.
Menurut aktivis Rohingya, Kyaw Hla Aung, para pengungsi tersebut hanya diperboehkan pergi menuju Sittwe menggunakan jalur laut, bukan jalur darat.
“Ini terjadi karena transportasi yang tidak aman. Kami tidak bisa menggunakan transportasi langsung (darat) ke Sittwe untuk membeli barang-barang atau obat-obatan,” kata Aung.
Ayah dari salah satu korban, Tin Hla, mengatakan bahwa mereka hanya bisa bepergian lewat laut yang sangat berbahaya.
“Jika kami ingin pergi ke Sittwe, kami harus pergi ke sana dengan cara yang tidak aman (lewat laut),” kata Hla.
PBB menyebut Rohingya sebagai kelompok masyarakat paling tertindas di dunia. Masyarakat Muslim Rohingya tidak diakui oleh Myanmar kendati telah hidup beberapa generasi di negara tersebut.
Rohingya juga tidak diakui di Bangladesh, negara asal nenek moyang mereka, menjadikan Rohingya sebagai masyarakat tanpa kewarganegaraan.
Keadaan mereka diperparah oleh kekerasan dan diskriminasi yang terjadi di Rakhine. Kelompok Buddha ultra-nasionalis kerap menjadikan Rohingya sebagai target serangan.
Tahun lalu, lebih dari 700 warga Rohingya terdampar di Aceh dalam keadaan payah setelah terkatung-katung di lautan dengan perbekalan yang menipis. Mereka kabur dari pengungsian untuk mencari kehidupan yang layak di Malaysia atau Australia. (fath/arrahmah.com)