(Arrahmah.com) – Pendidikan dan Latihan Dasar Nasional (Diklatsarnas) Laskar Mujahidin Majelis Mujahidin (LM3) baru saja berakhir (13-18/06/2012) mengundang banyak perhatian masyarakat luas dan kaum Muslimin, selain karena kegiatan ibadah i’dad dalam bentuk latihan ala militer ini dilakukan oleh organisasi yang pernah distigma sebagai gerakan radikal, juga karena dilakukan secara terbuka.
Untuk mengetahui tujuan acara tersebut secara komprehensif, maka redaksi arrahmah.com melakukan wawancara ke beberapa pihak yang berkompeten menjelaskan visi dan misi kegiatan tersebut.
Ketua Lajnah Tanfidziyah Majelis Mujahidin Pusat, Ustadz Irfan S. Awwas menjelaskan bahwa kegiatan tersebut berangkat dari sebuah visi sederhana yang diinginkan oleh Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) yaitu ikhtiar membangun kekuatan Islam ditengah perpecahan umat. “Keinginan membangun kekuatan Islam ini yang memang sudah cukup lama dicita-citakan oleh MMI,” Kata Ustadz Irfan kepada arrahmah.com.
Saat ini, menurutnya umat islam sedang terbelenggu sebuah trauma. Trauma yang diakibatkan oleh stigma global berupa tudingan terorisme dan radikalisme. Dari belenggu stigma tersebut sebagian umat dari Islam mencoba keluar. Namun sayangnya, dalam pandangan ustadz Irfan, mereka hendak keluar dari stigma tersebut dengan cara memahami Islam secara parsial sehingga timbullah tema-tema Islam moderat, Islam warna-warni, ataupun Islam KTP. “Akhirnya, Islam yang komprehensif difahami sekterian,” ucapnya.
Perpecahan seperti ini lah yang menurutnya sedang melanda umat Islam, dimana perbedaan dalam menerapkan ajaran Islam cenderung disikapi dengan kontroversi dan permusuhan. Berangkat dari realitas seperti ini, MMI berupaya meminimalkan permusuhan yang terjadi dikalangan umat. Diklatsar ini menurutnya, mempunyai peran penting untuk menyelesaikan problema tersebut tanpa melulu dihadapi dengan pertentangan. Akan tetapi juga melalui upaya dialogis, selain juga menghidupkan ibadah i’dad yang merupakan bagian dari ajaran Islam untuk difahami secara komprehensif tidak difahami hanya sebatas parsial. Oleh sebab itu, dalam diklat tersebut laskar dilatih juga ilmu dakwah, ilmu komunikasi dan diplomasi selain membangun ketahanan fisik.
“Dalam rangka mencapai penerapan syariat Islam, bukan hanya dengan kontroversi tetapi juga diplomasi sebagai solusi. Maka, Majelis Mujahidin menggunakan dakwah dan jihad, dakwah itu kan diplomasi, dan juga harus berani membela Islam dengan jiwa, harta, kekuatan, dan intelektualnya,” ungkapnya.
“Intinya, diharapkan pula mereka menjadi juru-juru dakwah penegak kebenaran untuk mendakwahkan syariat Islam dan siap berkorban untuk Islam,” tambah Ustadz Irfan.
Ia menambahkan, dakwah yang berarti pula sebuah diplomasi merupakan solusi damai dan tidak semua persoalan di zaman Rasulullah SAW diselesaikan dengan peperangan, ini lah yang ingin MMI contoh. Karena menurtnya, setiap masalah tidak selalu diselesaikan dengan jihad dalam arti qital. “Atau sebaliknya tidak semua masalah diselesaikan dengan diplomasi, dan harus dengan Jihad dalam arti qital,” imbuh ustadz Irfan.
Menjelaskan keterbukaan pelatihan tersebut, Ustadz Irfan mengatakan bahwa ada dua persepsi yang berkembang. Pertama, disebagian gerakan Islam menganggap mengadakan suatu gerakan i’dad atau pelatihan laskar secara terbuka dinilai sebagai bentuk terderadikalisasinya gerakan tersebut. Dan ia menilai hal itu merupakan persepsi yang salah. Kedua, bagi pemerintah dan kelompok-kelompok sekuler mengadakan pelatihan secara tertutup dinilai sebagai sebuah gerakan terorisme ataupun gerakan makar yang justru harus dicurigai.
“Ini kan sebuah kontroversi, disatu sisi dianggap terderadikalisasi disatu sisi dianggap terorisme dan makar. Nah, MMI tidak terikat dengan dua persepsi ini, MMI hanya terikat dengan Qur’an Sunnah. MMI meyakini bahwa dakwah itu adalah terbuka. Contohnya Rasulullah itu melakukan dakwah secara terbuka, bahkan perang yang dilakukan Rasulullah pun diumumkan secara terbuka,” Paparnya.
Lanjutnya, dalam melihat persoalan apakah pelatihan tersebut diselenggarakan untuk kepentingan ibadah i’dad fi sabilillah yang sebenarnya, harus dilihat substansi kegiatan tersebut, bukan melihat hanya dari sisi terbuka atau tertutup.
“Bukan berarti yang terbuka dan didiamkan pemerintah itu bekerjasama dengan pemerintah, dan bukan berarti kegiatan tertutup itu menandakan kepastian memusuhi pemerintah, itu tidak selalu seperti itu,” ujar ustadz Irfan.
Selain itu, tambah Ustadz Irfan, perlu dilihat dari sisi maslahat mudharatnya pula. “Jadi, kita melihat manfaatnya apa? Terbuka atau tertutup. Jika terbuka tidak masalah ya mengapa harus tertutup? Kita kan hanya membangun kekuatan biasa saja, kita membangun kekuatan dakwah,” jelasnya.
Malah, menurutnya, kondisi di Indonesia kegiatan yang tertutup lebih banyak kelemahannya. Dalam artian, kegiatan tertutup kerap kali dijadikan alasan dan perekayasaan memberangus gerakan Islam.
“Justru kegiatan yang tertutup seringkali dicari-cari kesalahan, direkayasa supaya kegiatan tersebut dianggap teroris dan makar, ditunggangi intelijen untuk dibelokkan, dan sebagainya, agar masyarakat antipati terhadap dakwah,” ungkap ustadz Irfan.
Tantangan Dakwah I’dad
Pada dasarnya melakukan ibadah i’dad ditengah-tengah masyarakat yang menganggap masih asing bukanlah hal yang mudah untuk serta merta dilaksanakan, begitupula yang dirasakan oleh pengurus MMI Nusa Tenggara Barat (NTB) pada saat persiapan menggelar acara diklat tersebut. Selain desakan pihak kepolisian untuk membuat surat izin, ditambah ketidaksukaan pihak-pihak tertentu yang mendesak acara tersebut dibubarkan. “Setiap yang baik belum tentu semua orang setuju, namun kita terus menempuh jalur yang sesuai agama, dan tidak bertentangan dengan negara.” Kata ustadz Tafaul Amri Jaya selaku pimpinan MMI di NTB.
Lanjut Ustadz Tafaul, desakan kepolisian yang meminta MMI untuk membuat surat izin secara resmi dibantahnya dalam dialog. Pasalnya sebagai warga negara tidak dibutuhkan meminta izin untuk menggelar kegiatan-kegiatan positif. “Kita hanya mau melakukan pemberitahuan saja, bukan minta izin, itu yang akhirnya bisa mereka terima,” ujarnya.
Pemberitahuan ditempuh oleh MMI menurutnya sebagai bentuk dakwah memperkenalkan ibadah i’dad agar dikenal sebagaimana ibadah shalat, zakat, puasa, dan haji. “Sebagaimana motto kita berterus terang dengan kebenaran. Masak syariat kita sembunyikan? Kita perlu mengenalkannya, maka perlu dakwah, siapa yang tahu kalau kita tidak dakwahkan,” bebernya.
Ia pun mengakui, bagi sebagian kaum Muslimin ada yang menganggap tindakan MMI tidak sesuai syariat dan tepat. Namun, ia menilai hal tersebut karena sebagian orang tidak mengetahui fakta sebenarnya dilapangan, hanya mendengar kabar angin saja. “Saya katakan kepada sebagian mereka, kalian itu hanya mendengar berita-berita bohong, kita tidak pernah minta izin, kita hanya memberitahu saja, kalian tidak tahu bagaimana kita diintimidasi, dan dibenturkan dengan masyarakat,” terangnya.
Meski demikian menurutnya, makar-makar orang yang tidak suka dengan syari’at i’dad, Allah gagalkan. “Justru masyarakat membantu kami, dan beri bantuan makanan untuk anggota laskar yang sedang berlatih,” tutur ustadz Tafaul.
Ia pun berharap dengan orang-orang yang memfitnah MMI akan sadar, dan bisa mengikuti langkah MMI mengenalkan dakwah i’dad secara terbuka meski menghadapi berbagai rintangan. “Kalau diawal-awal ada yang tidak suka, Nabi Muhammad juga pertama kali berdakwah ditentang. Itu wajar, semoga yang menentang kami dapat mengikuti kami menjalankan ibadah secara terbuka,” imbuhnya.
Terakhir, beliau juga berharap ibadah i’dad dapat dilakukan dengan bebas oleh kuam Muslimin di Indonesia seperti ibadah yang lainnya. “Kita mau kita bisa beri’dad dengan aman dan nyaman, karena ini ibadah. Tidak boleh ada yang melarang selama kami tidak melanggar hukum,” tutupnya
Membentuk Standar Kemampuan Laskar
Dari segi internal organisasi, ketua Lajnah Perwakilan Wilayah (LPW) MMI Jabodetabek, juga yang diamanahkan sebagai Komandan Instruktur pelaksana kegiatan tersebut, Ustadz Muhammad Syawwal atau sering dipanggil ustadz Syawwal menjelaskan bahwa diklatsar tersebut mempunyai tujuan melakukan standarisasi pembangunan sosok anggota laskar Mujahidin. Tujuan tersebut tergambar dalam empat hal.
Pertama, dari segi fisik, MMI membangun standar fisik agar tercapai kader yang terampil dalam mengolah fisiknya, mempunyai kekuatan, dan terampil melewati rintang-rintangan yang disimulasikan.
Kedua, segi Intelekual, dengan membangun intelektual laskar Mujahidin diharapkan mereka menjadi laskar yang cerdas, memahami ilmu, dan keislaman sehingga ketika mereka berdakwah secara terang-terangan mereka memiliki bekal yang cukup untuk menyampaikan Islam dengan benar.
Ketiga, segi spiritual, latihan tersebut menurutnya, bukan hanya melatih aspek fisik seperti paramiliter tetapi juga mendorong peningkatan spiritual laskar Mujahidin. Oleh sebab itu, dalam kegiatan pelatihan laskar didorong untuk menggiatkan ibadah-ibadah wajib dan sunnah, seperti shalat, tadarus Al-Qur’an, dan tahajud.
Dan yang terakhir, segi mental, latihan tersebut berupaya menanamkan keberanian serta menghilangkan ketakutan dari sesuatu hal kepada anggota laskar, yang diaplikasikan diarena latihan dalam latihan mountenering.
“Empat hal itulah yang kami bangun untuk membentuk standar profile anggota laskar sebagai acuan nasional, yang bisa mereka contoh untuk kegiatan yang sama didaerahnya masing-masing,” ungkap ustadz Syawwal.
Standar itu menurut ustadz Syawwal, dibuat untuk membentuk pribadi Mujahid yang memumpuni karena untuk ke medan jihad seorang calon Mujahid harus memasuki pintu jihad yaitu i’dadul quwwah (mempersipkan kekuatan). “Ayatnya itu kan Wa a’idul lahum mastathotum min quuwwah (persiapkanlah olehmu segala bentuk kekuatan) QS Al Anfal : 60, jadi untuk berjihad kita harus mempersiapkan diri,” ujarnya.
Rencana awal menurut Ustadz Syawwal, diklat akan diadakan di hutan. Akan tetapi, kondisi tidak memungkinkan terkait kekurang sediaan pemerintah membiarkan acara tersebut terlaksana.”Berhubung negara tidak memberikan kenyamanan untuk berlatih, kita menggunakan fasilitas sendiri di Pondok Darus Syifa, karena ditempat sendiri tidak ada yang mempersoalkan,” jelasnya.
Latihan yang dilakukan MMI pada dasarnya, menurut ustadz Syawwal tidak merugikan masyarakat. Malah banyak pengaruh positif bagi kehidupan berbangsa. “Negara harusnya berterima kasih, karena kita mempunyai motto membela negara untuk Indonesia bersyariah,” tegasnya.
“Kita ini pada dasarnya korps relawanyang dapat terjun dikala bencana datang atau ketika negara chaos kita bisa turun, jadi negara tidak perlu khawatir. Apa lagi untuk Islam, kita kan tidak mau mati secara demokrasi dan liberal, untuk itu perlu melakukan persiapan untuk membela Islam,” tambahnya
Latihan itu sendiri dilakukan didua matra yaitu darat dan laut, berupa aktifitas naik gunung, berenang di laut, dan berlatih gulat untuk menguji kekuatan. Dia menjelaskan bahwa latihan gabungan ini merupakan pertama kali diadakan oleh MMI.
“Karena Majelis Mujahidin selama 12 tahun berdiri tidak pernah membuat diklat secara nasional, oleh karena itu, pas saya diamanahkan sebagai Panglima laskar, kita membuat standar untuk nasional agar dapat diwariskan kepada teman-teman di daerah,” imbuhnya.
Sengsara Membawa Nikmat
Dalam diklat tersebut, ada salah satu peserta dari Sumatera Barat yang mengaku merasakan kebahagiaan karena dapat menghidupkan ibadah yang sudah sangat kurang dilaksanakan oleh kebanyakan kaum Muslimin.”Alhamdulillah kita bersyukur kepada Allah, kita mengikuti ibadah yang ditinggalkan oleh sebagian besar pemuda Islam, padahal ayat-ayatnya sama dengan ayat-ayat perintah yang lainnya seperti aqimus shalah,” kata ustadz Amru.
Lanjutnya, meski sudah banyak menjalankan macam-macam ibadah, dia merasa belum lengkap sebelum dapat mengamalkan ibadah i’dad. “Saya bersyukur sudah setua ini bisa mengikuti latihan di Lombok. Saya sudah mendapat status ustadz dan mendapat status sosial tetapi ternyata masih kurang jika belum mengamalkan ayat ini,” ungkapnya yang menjelaskan pula bahwa itu merupakan latihan kali pertamanya dalam hidup.
Padahal, menurut dia saat pertama kali latihan sempat ada perasaan kesal yang menggelayutinya karena melakukan perintah-perintah instruktur yang ia rasa tidak layak diberikan kepada dirinya seperti disuruh merayap dan push up, serta karena beratnya latihan tersebut. “Karena mungkin belum pernah mengikuti sebelumnya, padahal ini masih ringan dibanding i’dad di medan jihad sesungguhnya, atau karena biasa disanjung, kini kita diperintah-perintah, yang merintah ini adik–adik kita, padahal itu yang membisiki adalah syetan, tapi alhamdulillah hari ketiga baru merasakan nikmatnya, ini adalah ibadah yang banyak ditinggalkan,” kenang Ustadz Amru.
Ia pun sempat menerangkan fadhilah (keutamaan) i’dad bagi kaum Muslimin di Indonesia, yang menurutnya dapat menjadi benteng dari makar orang-orang kafir. “Kalau kita ingin membela negara ini, kita harus i’dad untuk jihad fisabilillah, bayangkan zionis yahudi berkeliaran di negeri kita merampok kekayaan alam kita, dan menebarkan kerusakan moral tanpa ada yang menghadang. Jika pemuda Islam i’dad lain ceritanya,” ujar Ustadz Amru.
Ustadz Amru berpendapat, sepinya minat kaum Muslimin dari melaksanakan i’dad disebabkan salah satunya oleh keterlelapan mereka dengan demokrasi. “Padahal demokrasi tidak akan dapat memberi kemenangan, karena meninggalkan sunnah. Dan kita tidak perlu cari jalan lain untuk berjuang, Allah sudah membuatkan syariat cara untuk berjuang,” lontarnya.
Kalau pemuda Islam menjalankan perintah Surat Al Anfal ayat 60, beliau menilai musuh-musuh Islam akan takut untuk berbuat macam-macam dengan agama ini, Al Islam.
Beliau pun punya kesan mendalam dengan masyarakat Lombok yang bersahaja dan memiliki kecintaan kepada Islam yang kuat ketika sudah memahami esensi Islam. “Saya sangat suka dengan Lombok, karena masyarakatnya sederhana dan mereka yang sudah tersentuh oleh dakwah militansinya melebihi da’i,” ucap Ustadz Amru yang sebagian yang tersenutuh dakwah tersebut adalah preman.
Menghidupkan Ibadah I’dad
Sementara itu, Wakil Amir MMI Ustadz Abu Muhammad Jibriel Abdurrahman menjelaskan bahwa kegiatan diklatsar di Lombok tersebut ditujukan untuk menghidupkan kembali ibadah i’dad asykari atau i’dadul quwwah yang kian ditinggalkan oleh umat Islam. “Banyak orang yang takut untuk melakukan i’dad. Padahal ini perintah Allah, ini ibadah yang diwajibkan kepada kaum Muslimin, ibadah yang sederajat bahkan paling tinggi derajatnya disisi syari’ah berbanding ibadah-ibadah yang lain seperti shalat, puasa, umrah dan hajji. Maka kita punya hak untuk menjalankan ibadah ini,” kata pria yang akrab disapa Ustadz Abu Jibriel ini.
Salah satu faktor i’dad kian ditinggalkan menurutnya, karena fitnah terorisme yang menimpa umat Islam. Ditambah jika i’dad dilakukan dengan sembunyi-sembunyi seringkali dijadikan peluang fitnah oleh pihak-pihak yang membenci Islam. “Kita tunjukkan bahwa i’dad ini adalah ibadah yang harus diberikan rasa aman untuk menjalankannya, i’dad ini suatu hal yang baik bagi masyarakat bukan untuk menghancurkan dan merusak negara ini,” ujarnya.
I’dad, menurutnya, sudah seharusnya dilindungi oleh negara, karena merupakan bagian dari proses menjalankan keyakinan yang dianut oleh kaum Muslimin. I’dad asykari bukan hanya boleh dilakukan TNI dan Polri. “Di Undang-undang negara inikan jelas, bahwa negara berkewajiban menjamin kebebasan menjalankan ibadah bagi masyarakatnya, dalam pembukaan UUD 45 juga ada tercantum dengan jelas dan terang,” terang Ustadz Abu Jibriel.
Ustadz Abu Jibriel menambahkan, I’dad yang dilakukan secara terbuka bukan berarti bentuk kerjasama dengan pemerintah akan tetapi mencari manfaat yang lebih besar dan menampilkan Islam yang rahmatan lil alamin. “Karena ajaran Islam seluruhnya adalah rahmatan lilalamin, maka tidak boleh ada ajarannya yang harus disembunyikan, jika kita mampu melaksanakannya dengan keterbukaan. Satu contoh, perintah shalat jumat diperintahkan di Makkah, tetapi Rasulullah dan para sahabatnya baru mampu melaksanakannya secara tebuka ketika telah berada di Madinah.” terang ustadz Abu Jibriel.
“I’dad itu dilakukan sesuai kemampuan masing-masing pihak, MMI merasa mampu melakukan i’dad yang membawa maslahat dan menjauhkan mudharat dengan cara terbuka seperti ini,” lanjutnya.
Menurutnya, dikala kaum Muslimin lemah, syariat membenarkan kaum Muslimin melakukan ibadah-ibadah yang sejalur dengan peraturan yang ada di negeri yang mereka tinggali, selama peraturan tersebut tidak bertentangan denga Aqidah Islam.
Beliau mencontohkan, “Seperti pada sejarah penyiksaan Amr bin Yassir, dimana Rasulullah SAW memintanya bersabar, tetapi beliau tidak berdoa untuk mendatangkan azab kepada mereka, sejarah embargo ekonomi dan pemboikotan yang dilakukan kaum Quraisy kepada Rasulullah SAW selama tiga tahun. Rasulullah tidak melakukan serangan ataupun tindakan keras menentang pemboikotan tersebut ketika kondisinya lemah, hingga maklumat pemboikotan rusak dimakan rayap dengan sendirinya mereka membatalkan, atau dalam perjanjian Hudaibiyah, hampir semua isi perjanjian itu merugikan ummat Muslim dan para sahabat hampir semua tidak meyetujuinya. Diantara isi perjanjiannya berbunyi, “Dari Muhammad Rasulullah”, kaum Quraisy tidak setuju dengan kalimat itu dan harus diganti dengan kalimat “dari Muhammad bin Abdullah”. Ali bin Abi Thalib RA sebagi sekretaris Nabi pada waktu itu, enggan menghapus kalimat Muhammad Rasulullah digantikan dengan kalimat Muhammad bin Abdullah, akhirnya Rasusulullah SAW sendiri yang menghapusnya. Betapa sabar dan lapang dadanya Rasulullah melakukan hal tersebut demi menjaga keselamatan umum ketika lemah,” ungkap Ustadz Abu Jibriel.
“Hikamah dibalik itu yang tidak diketahui oleh para sahabat-sahabat, ternyata dalam perjalanan pulang ke Madinah turunlah surah Al Fatah yang menerangkan kemenangan kaum Muslimin sudah dekat waktunya,” lanjutnya.
Lebih dari itu menurutnya, MMI sendiri mengedepankan pendekatan dakwah yang lembut di kala Islam belum ditantang secara terbuka oleh suatu pihak tetapi bukan menyembunyikan sebahagian ajaran Islam. Pendekatan dakwah tersebut termasuk menjelaskan hakikat dan keutamaan i’dad kepada semua pihak termasuk kepada negara. “Kita berdakwah berpegang dengan surat Ali Imran ayat 159, mencontohi akhlaq Rasulullah SAW untuk berlaku lemah lembut dan tidak bersifat kasar agar mereka mau mengikuti dakwah,” tutur ustadz Abu Jibriel.
Namun lain cerita menurut ustadz Abu Jibriel, bila musuh sudah menentang dan menyerang atau dalam konndisi konfrontasi aqidah, MMI akan bersikap keras terhadap mereka sebagaimana diperintahkan dalam surat Al Fatah ayat 29 “Asyidda’u alal kuffar wa ruhamau bainahum,” tandasnyanya. (bilal/arrahmah.com)