(Arrahmah.com) – Kabut asap bukanlah bencana baru di Indonesia, atau kalau boleh dikatakan kabut asap adalah bencana tahunan di Indonesia. Belum usai penganggulangan kerugian akibat kabut asap tahun 2015 lalu, kabut asap kembali mengepung daerah Sumatra.
Tahun 2015, total kerugian negara menembus Rp221 triliun (hampir tiga kali lipat dari anggaran kesehatan pemerintah Indonesia pada APBN tahun 2015) dan seluas 2,6 juta hektare (nyaris lima kalinya luas Pulau Bali) lahan hutan hilang terpanggang. (Direktur Bank Dunia di Indonesia, Rodrigo Chaves, dikutip dari The Guardian, Rabu, 16 Desember 2015).
Tepat sebelum dikepung asap (lagi), Polda Riau sepakat mengeluarkan SP3 (Surat Penghentian Penyidikan Perkara) kepada 15 korporasi dan 25 tersangka yang diduga melakukan pembakaran hutan.
Kejanggalan penanganan kabut asap
“SP3 kebakaran hutan di Riau adalah bukti negara kalah,” kata Jazilul (Politisi Partai Kebangkitan Bangsa), di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (25/7/2016).
Tidak hanya kalah, penerbitan SP3 menunjukan bahwa para kapitalis yang mengendalikan negara. Penguasa dan pengusaha bersatu untuk mengasapi rakyat. Semboyan demokrasi dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat tidak lagi berlaku dan digantikan oleh dari korporasi, oleh korporasi, untuk korporasi. Dan akan mudah ditebak kemana muara penganggulangan kabut asap secara hukum. Pertama, pelaku tidak akan pernah ditindak tegas dan kedua, kalaupun pelaku sudah diperkarakan dengan bukti kuat pihak berwenang akan terbentur birokrasi yang rumit. Rakyat? Silahkan sabar dulu.
Hal ini tentu sangat berbeda dengan Islam. Penanganan bencana kabut asap tidak akan menunggunya menjadi bencana tahunan. Dalam pandangan Islam, negara berperan sebagai pengayom bukan sekedar regulator semata. Sehingga dalam sistem Islam, negara tidak akan membiarkan harta umum (baca:hutan) dikuasai oleh individu (korporasi swasta) untuk dikeruk sebesar-besarnya. Dan negara akan memanfaatkan hutan sebaik-baiknya untuk kesejahteraan rakyat. Tidak seperti negara demokrasi, dengan tolak ukur manfaat (untung-rugi), korporasi untung rakyat rugi.
Dengan sudut pandang demikian, maka selama sistem yang sama masih digunakan masalah kabut asap tidak akan pernah selesai. Tidak ada kompromi. Pilihannya, berdamai dengan sistem yang berlaku sekarang dengan segala risikonya, atau menerapkan alternatif aturan baru (baca:Islam) yang sama sekali berbeda untuk mengakhiri asap. Hanya dengan penerapan Islam secara paripurna yang bisa menghilangkan asap secara paripurna.
Sistem yang berlaku sekarang memang telah lama mencengkeram Indonesia. Disinilah bagaimana sikap, keberanian dan political will pemegang amanah bangsa ini diuji, akan memperbaiki semua ini atau justru masuk ke dalam kubangan yang memperkuat apa yang selama ini mengasapi Indonesia.
Dessy Fatmawati, Pendamping Program Dusun Jamur, Dompet Dhuafa Jateng
(azmuttaqin/arrahmah.com)