JAKARTA (Arrahmah.com) – Setelah menunaikan tugas kemanusiaan selama satu minggu di Myanmar, Rabu (19/9) Tim Medis MER-C tiba kembali di tanah air. Tim medis MER-C pertama ini bertugas untuk melakukan assessment awal kondisi konflik Myanmar serta kebutuhan para korban dan pengungsi. Selain itu, tim juga menyalurkan bantuan berupa uang dan obat-obatan kepada para pengungsi di beberapa kamp pengungsi. Tim MER-C yang terdiri dari 4 dokter dan satu orang logistik juga melakukan pengobatan bagi para pengungsi yang sakit.
Tiba di Myanmar Rabu (12/9), Tim MER-C langsung berkoordinasi dengan Kedutaan Besar RI di Myanmar. KBRI kemudian membantu Tim berkoordinasi lebih lanjut dengan Ministry of Border Myanmar dan Myanmar Red Cross. Dari hasil koordinasi tersebut Tim memperoleh izin mengunjungi Rakhine State, namun menurut KBRI Tim tidak mendapatkan izin melakukan pengobatan kepada para pengungsi.
Dengan koordinasi dan adanya surat izin dari Kemenlu Myanmar, pada Jum’at siang (14/9), Tim bisa memasuki kota Sittwe (ibukota Rakhine State). Setibanya di bandara Sittwe, tampak militer dan polisi Myanmar masih berjaga ketat. Suasana ketegangan mulai terasa di sini. Pemerintah dan militer Myanmar memeriksa setiap orang yang datang. Tim dijemput oleh perwakilan dari Red Cross Myanmar, Ministry of Border dan pejabat Militer setempat.
Selama berada di Sittwe, tim juga mendapat pengawalan yang ketat dari tentara Myanmar. Sejumlah tentara juga senantiasa mengiringi perjalanan Tim bahkan pada saat mengunjungi kamp-kamp pengungsian. Di sekitar kamp terlihat pula pengamanan yang sangat ketat.
Konflik Myanmar sendiri terjadi antara etnis Rakhine dan etnis Rohingya. Kamp pengungsian terbagi menjadi 2 kelompok yaitu kamp pengungsian Muslim dan kamp pengungsian Budha. Tim MER-C mengunjungi 4 lokasi pengungsian, yaitu Danyawaddy Football Camp, Min Ban Camp, Danyawaddy North Camp dan Chaung Camp/Clinic Camp (Rohingya Camp). Jumlah pengungsi di kamp-kamp tersebut, Rakhine sekitar 8.000 orang, sementara pengungsi Rohingya mencapai sekitar 18.000 orang.
Dari pengamatan Tim MER-C, kebutuhan para pengungsi antara lain bahan makanan, air bersih, tempat tinggal dan kesehatan (obat-obatan dan pelayanan kesehatan). Bahkan di lokasi pengungsian Rohingya, Tim menjumpai beberapa pasien dewasa dan anak-anak terbaring lemah tanpa pelayanan medis. Pemerintah Myanmar dan Myanmar Red Cross mengalami kesulitan dalam memberikan bantuan kepada kedua belah pihak karena alasan keamanan.
Awalnya Tim MER-C juga tidak diperbolehkan mengunjungi Rohingya Camp karena alasan yang sama. Namun setelah bernegosiasi lagi dengan Pemerintah dan Militer Myanmar bahwa MER-C harus menyampaikan amanah donasi dari rakyat Indonesia dan meyakinkan bahwa Rohingya Camp dapat menerima keberadaan Tim MER-C, akhirnya Tim diizinkan untuk melakukan pelayanan kesehatan dan memberikan donasi. Bahkan Tim memfasilitasi Pemerintah dan Myanmar Red Cross untuk melakukan pelayanan kesehatan di kedua belah pihak yang bertikai. Oleh karena itu, MER-C menjadi LSM Pertama dari Indonesia yang dapat melakukan tindakan medis (pelayanan kesehatan) di kedua belah pihak.
Misi MER-C di Myanmar sebelumnya diagendakan selama 2 minggu, namun sesuai tujuan awal sebagai tim assessment dan berbagai pertimbangan kondisi di lapangan, maka misi kemanusiaan awal ini berlangsung selama 1 minggu.
Guna menindaklanjuti hasil assessment Tim awal dan menyalurkan lagi amanah donasi dari rakyat Indonesia, MER-C berencana mengirimkan tim lanjutan ke Myanmar. Fokus program Tim lanjutan adalah membangun Pusat Pelayanan Kesehatan Primer khususnya yang bersifat permanen bagi para pengungsi.
Keberhasilan MER-C tidak terlepas karena sejarah hubungan baik dan persahabatan antara Indonesia dan Myanmar. Oleh karenanya Pemerintah Myanmar juga meminta rakyat Indonesia tidak salah memahami konfik Myanmar ini. Menurut MER-C, Pemerintah dan rakyat Indonesia adalah pihak yang tepat memfasilitasi pemerintah Myanmar menyelesaikan konflik ini. (bilal/arrahmah.com)