NEW DELHI (Arrahmah.com) – Kerusuhan anti-muslim di Delhi Februari 2020 lalu melahirkan ketakutan yang besar bagi anak-anak muslim setempat. Ditambah suasana karantina wilayah untuk pandemi Covid-19 dan ketidakadilan polisi India dalam mengungkap kasus kerusuhan, banyak anak-anak akhirnya memutuskan keluar dari sekolah pemerintah, umum, dan swasta. Mereka lebih memilih belajar di masjid dan madrasah setempat, demi keselamatan dan terhindar dari kekerasan rasial.
Dikutip dari The Wire (31/1/2021), Mohammed Talib (15) yang sebelumnya terdaftar di sekolah menengah atas pemerintah di Karawal Nagar akhirnya memilih keluar dan bergabung dengan madrasah karena sekolah terletak di daerah yang didominasi Hindu.
Ketika kerusuhan, Thalib terluka parah kaki kirinya dan anggota keluarganya yang lain terluka ketika massa yang mengaku sebagai ‘Ram bhakts’ (penganut Ram, avatar Wisnu, dewa Hindu yang melindungi dan melestarikan alam semesta) melempari rumahnya dengan batu.
“Sekarang saya hanya akan pergi ke Madrasah, saya takut dengan anak-anak Hindu,” kata Mohammed Shahrukh (14), mantan siswa sekolah di Johripur, yang menyaksikan kerusuhan terjadi di teras rumahnya sendiri.
Meskipun seorang teman Hindu meminta maaf kepadanya atas kerusuhan tersebut, Sharukh meyakini bahwa persahabatan mereka tidak akan pernah sama.
Abdul Rehman (11) pun mengatakan dia tidak ingin kembali ke sekolahnya di daerah Karawal Nagar. “Saya melihat pria Hindu bertopeng membakar rumah, melempar batu. Saya sangat takut dan tidak keluar untuk bermain selama berbulan-bulan.”
“Serangan terjadi berbarengan dengan nyanyian Jai Shri Ram yang terdengar dari kuil. Itu membuat anak-anak kami ketakutan. Kerusuhan tersebut bahkan membuat anak-anak sadar akan perbedaan antara Hindu dan Muslim,” ungkap Ayah Abdul, Haji Mohammed Ilyas.
Aliya Saifi (13), mantan siswa Sekolah Umum Shiv Vihar, mengatakan bahwa setelah perusuh membakar bengkel sepeda ayahnya, keluarganya tidak punya cukup uang untuk melanjutkan sekolah.
Teman sekelasnya di madrasah, Simran Hanif (14), keluar dari sekolah negeri di Sherpur karena trauma dengan yang terjadi di dekat sekolahnya.
Berbeda dengan Mohammed Usman (9), dia memilih keluar dari sekolah negeri di Karawal Nagar karena anak-anak Hindu kerap mengejeknya sebagai seorang ‘mullah’. Dia pun ingat, orang-orang yang membakar masjid berteriak-teriak kata mullah.
Saat kerusuhan terjadi, banyak anak-anak menjadi saksi bagaimana Masjid Tayyaba di daerah Lal Bagh Mandi dibakar dan dirusak. Para perusuh pun bahkan membakar salinan Al Quran di masjid. Hal ini menjadi terror yang tidak terlupakan bagi anak-anak. (Hanoum/Arrahmah.com)