ISLAMABAD (Arrahmah.id) — Perdana Menteri Pakistan, Imran Khan, berencana menggelar pemilihan umum setelah wakil ketua parlemen membatalkan mosi tidak percaya yang bertujuan menggulingkan sang PM dalam sebuah langkah mengejutkan pada Ahad (3/4).
Wakil ketua parlemen sekaligus anggota partai yang sama dengan Khan memblokir mosi tidak percaya yang diajukan pihak oposisi hingga memicu kecaman dan tuduhan pengkhianatan yang dilakukan pemerintah.
Wakil Ketua Parlemen menganggap upaya mosi tidak percaya itu sebagai bagian bagian dari konspirasi asing dan langkah yang melanggar konstitusi. Padahal, banyak pihak menganggap Khan dapat dilengserkan dan oposisi bisa berkuasa jika mosi tidak percaya itu digelar.
Khan pun segera membubarkan parlemen dan menyerukan gelaran pemilu dalam waktu dekat.
Seharusnya, Pemilu Pakistan berlangsung tiga bulan lagi. Namun, beberapa pihak menyebut keputusan pemilu ada di tangan presiden dan Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Sementara itu, Presiden Pakistan, Arif Alvi, setuju sang PM Khan membubarkan parlemen dan kabinet.
Di sisi lain, pemimpin oposisi, Shehbaz Sharif, mengecam pemblokiran pemungutan mosi tidak percaya dan menganggap tindakan itu sebagai bentuk pengkhianatan tingkat tinggi.
“(Akan ada) konsekuensi pelanggaran terang-terangan dan kurang ajar terhadap Konstitusi,” kata Sharif seperti dikutip Reuters (4/4/2022).
Oposisi menyalahkan Khan karena gagal menghidupkan kembali ekonomi dan memberantas korupsi di negara berpenduduk 220 juta orang itu.
Para oposisi menganggap mosi tidak percaya tak melanggar hukum. Mereka kemudian sepakat membawa masalah ini ke pengadilan.
“Kami juga bergerak ke Mahkamah Agung,” ujar kepala oposisi Partai Rakyat Pakistan, Bilawal Bhutto Zardarru.
Gejolak politik di Pakistan terjadi saat negara ini menghadapi inflasi yang tinggi, cadangan devisa menyusut, dan defisit yang melebar.
Konflik internal pemerintahan Pakistan bermula saat Khan kehilangan suara mayoritas di parlemen. Sebagian sekutunya keluar dari pemerintahan koalisi yang ia bentuk.
Belakangan, dia juga mengalami rentetan pembelotan di dalam partainya, Tehreek-e-Insaf.
Khan naik ke tampuk kekuasaan pada 2018 lalu. Para Oposisi dan analis menilai ia mendapat dukungan dari militer, namun angkatan bersenjata negara bersenjata nuklir itu membantah.
“Tentara tidak ada hubungannya dengan proses politik,” kata Mayor Jenderal Pakistan, Babar Iftikhar.
Menurut catatan, tidak ada perdana menteri yang menyelesaikan masa jabatan lima tahun secara penuh sejak kemerdekaan Pakistan pada 1947.
Sementara itu, Khan sendiri menuduh oknum pemerintah berupaya menggulingkan dirinya. Ia mengatakan telah membawa bukti klaimnya soal konspirasi penggulingannya ke Komite Keamanan Nasional.
Khan mengisyaratkan negara Barat berupaya mencapuri urusan dalam negerinya. Namun, pejabat AS membantah negeri Paman Sam terlibat.
“Ketika badan keamanan nasional tertinggi negara itu mengkonfirmasi hal ini, maka proses [parlemen] tidak relevan, jumlahnya tidak relevan,” kata Khan.
Pejabat AS pada hari Minggu membantah terlibat.
“Tidak ada kebenaran atas tuduhan ini,” kata juru bicara Kementerian Luar Negeri AS kepada Reuters.
“Kami menghormati dan mendukung proses konstitusional Pakistan dan supremasi hukum.” (hanoum/arrahmah.id)