KABUL (Arrahmah.id) — Facebook telah menghapus akun setidaknya dua outlet media milik pemerintah Taliban. Perusahaan itu mengkonfirmasi pada Kamis (21/7/2022), dengan mengatakan pihaknya mematuhi undang-undang di Amerika Serikat (AS) yang mencantumkan Taliban sebagai organisasi teroris.
Taliban telah menggunakan Facebook dan Twitter sejak merebut kekuasaan pada Agustus tahun lalu, dan memiliki pegangan yang kuat pada media milik negara di negara itu, termasuk stasiun radio dan TV, dan surat kabar.
Sementara induk Facebook Meta tidak mencantumkan outlet media yang dilarang, penyiar National Radio Television Afghanistan (RTA) dan kantor berita Bakhtar milik pemerintah keduanya mengatakan bahwa mereka telah diblokir. Sedangkan untuk halaman Facebook dari rumah media milik pribadi tampaknya tidak terpengaruh.
“Taliban dikenai sanksi sebagai organisasi teroris di bawah hukum AS dan mereka dilarang menggunakan layanan kami,” kata juru bicara Meta kepada AFP dalam sebuah pernyataan dan dilansir dari Al Arabiya (22/7/2022).
“Kami menghapus akun yang dikelola oleh atau atas nama Taliban dan melarang pujian, dukungan, dan representasi mereka,” tambahnya.
Juru bicara pemerintah Taliban, Zabihullah Mujahid mengkritik pemblokiran itu, dengan mengatakan pemblokiran itu menunjukkan ketidaksabaran dan intoleransi oleh perusahaan AS.
“Slogan ‘Kebebasan berekspresi’ digunakan untuk menipu negara lain,” cuitnya.
Direktur RTA Ahmadullah Wasiq mengatakan dalam sebuah pernyataan video bahwa halaman organisasi berbahasa Pashto dan Dari di Facebook dan Instagram telah ditutup “untuk alasan yang tidak diketahui”.
“RTA adalah lembaga nasional, suara bangsa,” katanya.
Bakhtar juga mendesak Facebook untuk mempertimbangkan kembali, dengan mengatakan di Twitter: “Satu-satunya tujuan dari kantor berita ini adalah untuk membagikan informasi yang akurat, tepat waktu, dan komprehensif kepada khalayaknya.”
Pada Kamis, tagar “#BanTaliban” menjadi tren di Twitter, dengan ribuan pengguna menyerukan agar akun Taliban di platform itu diblokir.
Taliban telah banyak menggunakan Twitter sejak merebut kekuasaan. Sementara sebagian besar akun yang terkait dengan mantan pemerintah yang didukung Barat telah tidak aktif sejak pengambilalihan, akun “resmi” baru telah berkembang biak – meskipun tidak ada yang memiliki centang biru keaslian Twitter.(hanoum/arrahmah.id)