BIMA (Arrahmah.com) – Kasus Pondok Pesantren Umar Bin Khattab yang disebut-sebut sebagai pondok “teroris” pada dasarnya adalah skenario para yang telah ditata rapi oleh para mata-mata.
Berawal dari kasus penusukan yang diklaim telah dilakukan oleh santri UBK, padahal pelaku tersebut adalah Mantan santri UBK yang baru keluar tahun 2011 yang melakukan tindakan atas inisiatif sendiri bukan atas perintah orang atau kelompok lain, apalagi instruksi dari elemen ponpes UBK.
Berbekal insiden tersebut, polisi menggunakan dalih untuk memata-matai ponpes UBK yang bermanhaj Dakwah wal Jihad, yang pada dasarnya kegiatan spionase terhadap pondok tersebut telah berlangsung lama.
Hal tersebut terlihat dari bunyi salah satu pernyataan yang dirilis UBK Media yang mengatakan, “Pondok ini sejak dulu hingga peristiwa kejadian yang menewaskan Ust. Firdaus (semoga Allah menerima beliau) merupaka target jasus-jasus (mata-mata, -red) dari kepolisian karena mereka mencurigai pondok ini merupakan sarang “terroris” sehingga hampir setiap hari kami selalu saja di mata-matai oleh puluhan intelejen lokal maupun dari luar Bima”.
Isu penyerangan pondok UBK
Sejak penangkapan pelaku penusukan anggota polisi beredar dan ditahan di Mapolres Kabupaten Bima tepatnya di desa panda kecamatan pali belo, tersebar “kabar” bahwa akan ada penyerangan terhadap pondok pesantren UBK yang akan dilakukan oleh keluarga mantan santri tersebut.
Pihak ponpes UBK memperkirakan bahwa isu tersebut tidak lepas dari campur tangan intelejen.
“tentunya semua ini tidak lepas dari arahan intelejen yang memang sudah sejak lama membenci pondok ini”, demikian pernyataan mereka.
Menanggapi kabar tersebut semua orang yang berada di pondok segera mempersiapkan sesuatu untuk mengantisipasi serangan tersebut. Terlebih lagi pondok UBK terdiri atas santri yang berumur belasan tahun, anak-anak, serta akhwat.
Terkait hal tersebut untuk meminimalisir korban, serentak seluruh simpatisan pondok yang terdiri dari ikhwah-ikhwah lokal berkumpul di pondok UBK dengan tujuan untuk menjaga pondok dari kemungkinan serangan, serta seluruh santri diliburkan, namun ada sebagian yang tetap bertahan di pondok.
Hingga keputusan dibuat dalam rangka mempersiapkan kemungkinan “serangan” yang akan terjadi.
“…yaitu segala jenis senjata tajam yang dimiliki oleh ikhwah dan santri yang selama ini dipersiapkan karena perintah Alloh dalam Qs.08:60 untuk menghadapi kemungkinan serangan kaum kaffir dari pulau NTT yang mayoritas kristen terhadap kaum muslimin di Bima akhirnya dikumpulkan di pondok UBK dengan tujuan mengantisipasi serangan dari keluarga mantan santri tersebut”, jelas rilis UBK Media.
Berbagai senjata tajam juga termasuk satu bom rakitan, dan Molotov dipersiapkan karena isu yang beredar adalah bahwa senjata yang akan digunakan oleh kelompok penyerang adalah senjata api rakitan.
Aparat menggeledah pondok pada saat yang “tepat”
Ketika semua senjata terkumpul dan santri telah bersiap menghadapi segala kemungkinan serangan, terjadilah ledakan yang menewaskan Ust. Firdaus. Saat yang “tepat” itulah polisi menurunkan seluruh anggotanya untuk menggeledah pondok UBK karena mereka mengira bahwa bom yang meledak itu ditujukan untuk mereka.
Namun pihak Ponpes membantah hal tersebut, “kami katakan denga tegas TIDAK BENAR apa yang diperkirakan aparat”.
Belum lagi klaim polisi terkait ditemukan denah, lagi-lagi pihak ponpes UBK membantah klaim tersebut. Dan menegaskan bahwa jika memang pihak UBK berencana menyerang seluruh kantor polsek yang ada di Bima, tentu mereka akan mempersiapkannya dengan terstruktur.
Namun memang pada dasarnya pihak Ponpes UBK tidak pernah berniat untuk menyerang kantor Polsek terlebih tempat wisata yang di klaim aparat kepolisian.
“Kami tidak ingin isti’jal dalam mengambil suatu amalan, buktinnya Ust. Abrori al Ayubi (semoga Alloh membebaskan beliau) menyerahkan diri dengan cara menginformasikan keberasaanya kepada aparat, itu merupakan bentuk tanggung jawab terhadap semua masalah yang terjadi”, jelas rilis UBK Media.
Skenario untuk memojokkan pesantren UBK
Semua skenario, yang diawali dari penusukan anggota polisi oleh “Mantan santri”, yang diikuti oleh isu penyerangan pondok UBK, hingga penggerebekan pada saat yang “tepat”, telah berhasil memberikan polisi alasan untuk memojokkan POnpes UBK.
Hal tersebut terbukti, setelah penggerebekan pun barang bukti yang diklaim polisi adalah barang bukti yang pada dasarnya telah dipersiapkan oleh aparat sendiri.
Barang bukti berupa senjata tajam dan bom Molotov telah dijelaskan bagaimana keberadaannya bisa terdapat dalam ponpes UBK. Tetapi barang bukti bom pipa yang ditemukan di Bukit Batu Pahat yang terdiri dari 12 buah chasing bom pipa ukuran 1,5 inci, 6 chasing bom pipa ukuran 1 inci bentuk L, 3 buah chasing bom pipa ukuran 1,5 inci bentuk L. Serta 5 chasing bom pipa ukuran 1 inci, 10 baterai 9 volt panasonic atau abc, 1 baterai hp nokia, 3 pecahan chasing bom pipa bentuk L, 7 rangkaian kabel listrik 50 cm. Adalah “barang bukti” yang diletakkan oleh aparat sendiri”.
“Mengenai bom pipa yang ditemukan di pegunungan oleh aparat, itu merupakan kebohongan dan lagi-lagi srategi aparat untuk memojokan posisi kami yang tidak ingin dakwah kami tersebar di Bima, jelas-jelas bom pipa itu diletakan oleh aparat sendiri. Sehingga seolah-olah pihak pondok yang merakit dan menyembunyikanya” demikian bantahan ponpes UBK.
Mengaitkan UBK dengan JAT adalah strategi penyebutan UBK dan JAT dengan stigma “teroris”
Skenario tersebut tidak hanya berhenti sampai disitu. Dari barang bukti yang ditemukan polisi, polisi mengklaim keberadaan rompi dan vcd JAT yang ditemukan di pondok UBK adalah salah satu hal yang menjadikan dalih untuk menghubungan keduanya (UBK dan JAT).
Padahal dengan jelas Jubir JAT, Sonhadi pada Jumat (15/7) terkait penemuan VCD deklarasi JAT Bekasi yang ditemukan di Pondok Pesantren Umar Bin Khattab, ia mengungkapkan bahwa masyarakat dapat memiliki rekaman video tersebut jika membeli majalah JAT.
“Jadi vcd itu memang bonus,” katanya.
Hal tersebut senada dengan pernyataan dalam rilis UBK Media, “Mengenai klaim polisi bahwa kami terkait denga JAT itu tidak benar, dan tidak bergabung bersama JAT, siapapun bisa membeli majalah JAT yang di temukan di pondok UBK tersebut karena terjual secara inklusif”.
Tampaklah disini bahwa stigma “teroris” pada dasarnya hanya akal-akalan dan skenario “pihak lain” untuk memojokkan kelompok-kelompok tertentu. Tujuannya sudah jelas, yakni untuk membentuk opini masyarakat agar “mewaspadai” kelompok dakwah Islam yang memperjuangkan syariat dan kebangkitan Islam. Hingga harapan kedepannya adalah tindakan represif terhadap “kelompok teroris” tersebut mendapat persetujuan dari masyarakat yang termakan “wacana terorisme”.
Namun siapakah dalang besar dibalik segala skenario tersebut? Tentu saja hal tersebut tak terlepas dari peran musuh Islam yang telah mencabik-cabik kaum Muslimin, siapa lagi kalau bukan Amerika dan sekutunya. Wallohua’lam. (rasularasy/arrahmah.com)