Peristiwa perobohan patung-patung di Purwakarta pada Minggu (18/9) kemarin pada dasarnya bukanlah tanpa sebab. Penulis meyakini aksi yang dilakukan oleh warga merupakan salah satu aspirasi umat yang sudah tidak bisa dipendam lagi.
Teorinya, proses pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah merupakan analisis atas kondisi kebutuhan masyarakat. Rencana pembangunan jangka pendek, menengah dan panjang yang menjadi titik tolak acuan pemerintah dalam perencanaan pembangunan seharusnya tidak bertentangan dengan kepentingan masyarakat. Begitupun dengan proses penganggaran yang termaktub dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) seharusnya menjadi representasi pembangunan berbasis rakyat, bukan penguasa.
Perobohan patung-patung tersebut menjadi salah satu bukti bahwa apa yang dibelanjakan oleh Pemerintah Daerah Purwakarta dengan nilai anggaran yang tentu tidak sedikit malah kontradiktif dengan kehendak masyarakat. Hal ini tentu sangat bertentangan dengan prinsip anggaran yang seharusnya berorientasi pada kepentingan rakyat. Pun demikian dengan proses perencanaan daerah yang dengan peristiwa ini disinyalir pelaksanaan Musyawarah Perencanaan dan Pembangunan (Musrenbang) di Desa/Kelurahan, Kecamatan sampai Kabupaten tidak berjalan sebagaimana mestinya. Aspirasi masyarakat mengalami klimaks lantaran suaranya tidak didengar apalagi dilaksanakan.
Beberapa hal yang menurut penulis penting dicermati pasca perobohan patung-patung tersebut adalah, pertama, pihak eksekutif dan legislatif merupakan lembaga yang seharusnya paling bertanggung jawab atas peristiwa ini. Bupati Dedi Mulyadi menjadi cermin arogansinya seorang kepala daerah yang tidak bisa mengetahui aspirasi warganya. Bupati pun pernah melontarkan ucapan bahwa mendengarkan seruling dan memahaminya lebih baik daripada membaca Alqur’an tanpa tahu artinya. Hal ini tentu sangat melukai perasaan kaum muslimin. Komunikasi antara kepala daerah dengan warganya tidak berjalan dengan baik. Bupati menginginkan Purwakarta seperti apa, masyarakatpun seperti apa.
Pihak legislatif atau DPRD Kabupaten Purwakarta seolah tidak memiliki taring dalam hal ini. Di awal pembahasan perencanaan daerah seharusnya legislatif bisa melakukan kritik maupun saran kepada pemerintah khususnya terkait proyek pembangunan patung-patung ini. Pun demikian ketika proyek ini dibahas dalam proses pembahasan sampai pengesahan APBD. Idealnya, masyarakat seharusnya tahu adanya rencana pembangunan patung-patung ini karena ada peran aktif antara DPRD dengan masyarakat. Tapi nyatanya, masyarakat terkaget ketika di beberapa kawasan sudah terlihat dengan jelas patung-patung yang dibangun oleh pemerintah. Kemana peran DPRD? Malu rasanya kalau pasca perobohan, para anggota dewan mendekati masyarakat dan berteriak bersama, pertanda mereka ada di barisan masyarakat. Tetapi kemana mareka saat proyek patung-patung ini direncanakan dan disahkan dalam sidang-sidang legislatif?
Kedua, aktifnya peran ulama dalam melakukan dakwah kepada umat. Peran ulama sebagai pewaris para nabi tentu sangat kita tunggu peran dan langkah nyatanya. Dalam konteks ini, ulama telah mengingatkan kepada Bupati bahwa umat Islam sudah gerah dengan berdirinya patung-patung tersebut. Bupati seharusnya bisa membaca kondisi ini, dan memilih untuk menuruti apa yang menjadi tuntutan masyarakat. Tetapi hal ini tidak dilakukan, dan akibat dari kebodohan tidak mendengarkan warganya, terjadilah peristiwa perobohan patung-patung yang sebenarnya tidak kita inginkan.
Ketiga, hendaknya aparat kepolisian mengusut pelaku perobohan ini dengan seadil-adilnya. Kita tidak ingin adanya provokasi dari pihak lain sehingga peristiwa ini malah dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
Terakhir, penulis menghimbau kepada seluruh kaum muslimin di Purwakarta untuk tetap merapatkan barisan demi menegakkan amar ma’ruf nahyi munkar. Wallahu’alam bishshawab.
Oleh Ramlan Nugraha
Penulis, lahir dan besar di Purwakarta; sekarang aktif sebagai Sekjen Aliansi Pergerakan Islam (API) Jawa Barat.