JAKARTA (Arrahmah.com) – Di tengah panasnya diskursus tentang penggunaan Langgam Jawa saat tilawah Qur’an pada perayaan Isra’ Mi’raj beberapa waktu lalu, muncul kreatifitas masyarakat dalam menyikapinya.
Seperti yang Arrahmah kutip dari broadcast media pesan instan pada Selasa (19/5/2015) berikut ini. Isinya ringan, namun insyaa Allah sarat akan makna. Semoga mengurai benang kusut kekeliruan masyarakat tentang syari’at membaca al Qur’an yang suci. Bismillah.
Boleh, tapi jangan dikerjakan!
Pak Kamsud pagi itu belum sempat sarapan di rumah, maka sebelum kerja, ia mampir dulu di Warteg Pak Karman langganannya.
Belum juga sempat duduk, Pak Kamsud langsung ditembak pertanyaan sama pak Karman; “Nah, ini dia Pak Kamsud kebetulan sekali nih” kata pak Karman.
“Ada apa emang koq pakai kebetulan segala?” tanya pak Kamsud keheranan.
“Gini pak Kamsud, dari kemaren di Warteg ini banyak orang ngobrolin tentang baca Quran dengan langgam Jawa, menurut pak Kamsud sendiri gimana itu?”
“Ya, kalo menurut saya pribadi sih itu namanya kurang kerjaan.”
“Lha koq gitu pak?” tanya pak Karman.
“Sekarang fungsi daripada baca Quran itu sendiri apa coba, saya tanya pak Karman?”
“Ya untuk didengar, dipahami, dihayati dan kemudian diamalkan.”
“Nah betul itu. Sekarang kalo baca Quran tapi malah bikin konflik apa itu gak kurang kerjaan namanya?”
“Gak gitu juga lah pak Kamsud, selama baca Quran itu telah memenuhi kaidah Tajwid dan tidak merubah maknanya, mau dibaca dengan nada Jawa atau nada Arab juga terserah aja kan? Lagian banyak juga lho, para Kyai yang mengatakan itu boleh.”
“Tanpa sedikit pun mengurangi rasa hormat saya kepada para Ulama, tapi penjelasan mereka itu harus kita pahami secara proporsional pak Karman; karena mereka mungkin mengungkapkan hukum dasarnya saja, bukan siasat fatwanya. Maka bisa jadi sesuatu itu diperbolehkan, tapi tetap jangan dikerjakan karena dapat mendatangkan mafsadat lain yang lebih besar dan belum tentu sepadan dengan prediksi maslahat yang akan didapat.”
“Maksud pak Kamsud gimana sih, saya koq makin gak paham?” “Maksud saya gini, pak Karman biasa shalat Jumat pakai baju koko, sarung dan peci. Sekarang coba nanti pak Karman shalat Jumat pakai kaos singlet, celananya setengah betis yang penting nutup aurat, kemudian pakai helm sebagai ganti peci. Itu sah gak menurut pak Karman? Dengan alasan; bahwa kaos singlet itu lebih adem kalo dipake, dan helm itu jauh lebih menjamin keselamatan kepala kita?”
“Ya nggak sah tho pak Kamsud, masa’ shalat pakai helm, kurang kerjaan saja.”
“Shalatnya tetep sah pak Karman, karena shalat itu yang penting pakaiannya suci dan menutup aurat, ini kaedah dasarnya, hukum awalnya. Tapi memang, shalat dengan memakai helm itu sesuatu yang kurang kerjaan, demikian juga shalat dengan kaos singlet, meskipun ada yang membolehkan, tetap saja itu aneh dan kurang kerjaan. Jadi, meskipun boleh, tapi jangan dilakukan!”
“Koq bisa pak, sesuatu yang boleh tapi jangan dikerjakan?”
“Jadi begini, pak Karman tahu karung goni kan? Itu lho, yang biasa dibuat balap karung anak-anak pas 17-an? Sekarang kalo umpamanya ada wanita yang memakai karung goni untuk menutup auratnya, mulai dari atas sampai bawah dia pakai karung goni, lalu dia jalan ke pasar, ikut majlis taklim dan nganter anak ke sekolah dengan kostum kaya gitu, boleh gak itu? Secara hukum dasar itu boleh-boleh saja, karena Islam hanya memerintahkan wanita menutup auratnya dengan batasan yang jelas, adapun mengenai jenis kain yang digunakan, itu kan gak ada keterangan detailnya. Jadi hal semacam ini, meskipun boleh, tapi aneh di sebuah masyarakat, makanya jangan dilakukan karena bisa menimbulkan fitnah.”
“Tapi kan, nada Jawa itu bukan sesuatu yang aneh bagi masyarakat kita Pak?”
“Tidak aneh kalo untuk wayangan, tapi aneh kalo untuk baca Quran. Seperti memakai sarung itu tidak aneh kalo buat shalat di masjid, tapi coba pakai sarung saat ngantor atau ngajar di sekolahan, anak SD juga tahu kalo itu aneh dan mereka bakal ngetawain kita.”
“Jadi intinya boleh tapi jangan dikerjakan? Kalo saya tetap melakukannya gimana pak?”
“Ya sudah gini saja pak, sekarang bapak punya Warteg yang banyak pelanggannya, biasanya saat pak Karman melayani pelanggan maka pak Karman akan membersihkan piring dengan sebuah kain lap. Sekarang coba bapak pergi ke toko dan beli celana dalam yang baru, paling bagus, paling mahal, merk-nya terkenal, steril dan belum pernah dipakai, kemudian pak Karman kalau ada pelanggan datang, nanti pak Karman nge- lap piringnya pakai celana dalam yg baru itu, gimana?”
“Ah, aneh-aneh saja pak Kamsud ini, koq idenya nggilani kaya gitu?!” “Lho, ini bukan nggilani pak, pada faktanya, mohon maaf ini, celana dalam yang baru dari toko itu jauh lebih bersih dari kain lap punya pak Karman yang sudah dipakai berkali-kali, keduanya sama-sama kain, yang membedakan hanya bentuk jahitannya saja. Jadi secara hukum dasar, sah-sah saja kalau pak Karman menggunakan CD buat nge-lap piring.”
“Kalo kaya gitu pelanggan saya nanti bakal kabur semuanya lah pak Kamsud.”
“Nah, itulah yang ingin saya sampaikan pak Karman. Kita ini hidup di tengah masyarakat Indonesia, kita harus paham mana yang telah menjadi perspektif paten dalam sebuah masyarakat, sehingga hal tersebut perlu kita jaga dan tak perlu kita mengada-ada sebuah inovasi dengan alasan yang kita buat-buat namun ide tersebut justru membuat masyarakat ribut dan berpecah-belah. Sudah cukuplah kita ini diuji dengan banyak hal, apa tidak cukup kita diuji dengan harga-harga meroket namun mata uang justru menghujam dan menyelam?
Islam Nasionalis itu adalah Islam yang sadar dia tengah hidup di mana dan berhadapan dengan siapa, jangan terlalu anti banget lah dengan yang berbau-bau Arab, masa’ nanti kalo kita mati minta dikafanin dengan batik? Dan gak mau dikafanin dengan kain putih? Mungkin itu boleh, tapi sekali lagi, jangan dikerjakan!”
“Pertanyaan terakhir pak, tadi pak Kamsud nyinggung tentang Siasat Fatwa, maksudnya apa itu pak?”
“Dalam konteks ini maksud saya adalah; menghindari kontroversi horisontal antara masyarakat yang dapat menjerumuskan ke dalam perpecahan. Sebisa mungkin kita hindari hal tersebut dengan mengambil pendapat yang dapat menyatukan umat. Dalam Al-Quran, hal ini dicontohkan oleh Nabi Harun, yaitu saat Samiri, seorang gembong munafik bani Israel membuat lembu sesembahan, Nabi Harun tidak lantas seketika menghukumnya, akan tetapi mengakhirkannya hingga adik beliau, yaitu Nabi Musa datang. Pada dasarnya menyekutukan Allah itu dosa besar, tapi dengan kecerdasan Siasat Fatwa agar bani Israel tidak terpecah-belah, Nabi Harun kala itu lebih mengedepankan persatuan umat daripada permasalahan akidah. Walaupun memang, akhirnya mereka mendapat hukuman juga. Jadi, tugas pemimpin itu adalah menjaga persatuan rakyatnya, bukan malah bikin mereka ribut dan saling hujat.”
“Okelah pak Kamsud, makasih buat sharingnya!”
“Saya juga terimakasih buat pak Karman, yang bakalan kasih saya makan gratis pagi ini.. hehe.”
“Haha.. cerdik juga pak Kamsud ini, boleh, boleh.. silahkan makan sepuasnya. Khusus buat hari ini pak Kamsud saya gratisin..”
“Naaah.. gitu dong, itu baru bener-bener Muslim Nasionalis, membantu dan merangkul saudaranya yang tengah kelaparan.. haha..”
(adibahasan/arrahmah.com)