Oleh: Abu Fatiah Al-Adnani | Pakar Kajian Akhir Zaman
(Arrahmah.com) – Al-Quran memuat banyak peristiwa dan kejadian yang akan berlangsung di akhirat. Di luar gambaran nikmat surga atau adzab neraka, Al-Quran juga memuat percakapan manusia di sana, baik ketika masih berada di padang mahsyar, maupun ketika mereka sudah berada di surga atau di neraka.
Jika percakapan penduduk surga berisi kalimat thayyibah, ucapan keselamatan dan kenangan kenangan indah, maka percakapan penduduk neraka lebih banyak berisi umpatan, celaan, caci maki dan penyesalan. Al-Quran sendiri menggambarkan bahwa gaya bahasa penduduk neraka dengan ungkapan yashtharihun (يصطرخون), yang bermakna teriakan keras, lengkingan suara yang menggambarkan rasa sakit yang tiada terkira dan butuh segera bantuan agar ia terbebas dari siksaan.
Hal itu sebagaimana yang termuat dalam salah satu ayat:
وَهُمْ يَصْطَرِخُونَ فِيهَا رَبَّنَا أَخْرِجْنَا نَعْمَلْ صَالِحًا غَيْرَ الَّذِي كُنَّا نَعْمَلُ
Dan mereka berteriak di dalam neraka itu: “Duhai Rabb kami, keluarkanlah kami niscaya kami akan mengerjakan amal yang saleh berbeda dengan yang telah kami kerjakan dahulu“.. ( Al-Fathir [35]: 37)
لَهُمْ فِيهَا زَفِيرٌ وَهُمْ فِيهَا لَا يَسْمَعُونَ
Mereka merintih di dalam api dan mereka di dalamnya tidak bisa mendengar. (QS. Al-Anbiya [21]: 100)
Makna zafir dalam ayat di atas adalah rintihan suara yang keluar dari mulut penduduk neraka akibat nafas yang keluar seperti dalam kondisi tercekik. Dalam tafsir Jalalain disebutkan bahwa penduduk neraka itu terus merintih dan mereka tidak bisa mendengar suara lantaran gemuruh suara api neraka yang memekakkan telinga mereka.
Yang menarik adalah bahwa dialog penduduk neraka itu kebanyakan terjadi antara pimpinan dan anak buahnya, antara penguasa dan rakyatnya, antara orang-orang kuat dengan orang-orang lemahnya.
Di antaranya adalah sebagaimana yang termuat dalam beberapa ayat berikut:
Dan mereka semuanya (di padang Mahsyar) akan berkumpul menghadap ke hadirat Allah, lalu berkatalah orang-orang yang lemah kepada orang-orang yang sombong: “Sesungguhnya kami dahulu adalah pengikut-pengikutmu, maka dapatkah kamu menghindarkan daripada kami azab Allah (walaupun) sedikit saja? Mereka menjawab: “Seandainya Allah memberi petunjuk kepada kami, niscaya kami dapat memberi petunjuk kepadamu. Sama saja bagi kita, apakah kita mengeluh ataukah bersabar. Sekali-kali kita tidak mempunyai tempat untuk melarikan diri”. (QS Ibrahim [14]:21).
Juga dalam ayat lainnya:
وَإِذْ يَتَحَاجُّونَ فِي النَّارِ فَيَقُولُ الضُّعَفَاءُ لِلَّذِينَ اسْتَكْبَرُوا إِنَّا كُنَّا لَكُمْ تَبَعًا فَهَلْ أَنْتُمْ مُغْنُونَ عَنَّا نَصِيبًا مِنَ النَّارِ ﴿٤٧﴾ قَالَ الَّذِينَ اسْتَكْبَرُوا إِنَّا كُلٌّ فِيهَا إِنَّ اللَّهَ قَدْ حَكَمَ بَيْنَ الْعِبَادِ
Dan (ingatlah), ketika mereka berbantah-bantah dalam neraka, maka orang-orang yang lemah berkata kepada orang-orang yang menyombongkan diri: “Sesungguhnya kami adalah pengikut-pengikutmu, maka dapatkah kamu menghindarkan dari kami sebahagian azab api neraka?”
Orang-orang yang menyombongkan diri menjawab: “Sesungguhnya kita semua sama-sama dalam neraka, karena sesungguhnya Allâh telah menetapkan keputusan antara hamba-hamba-(Nya)”. [Ghafir/40:47-48].
وَقَالُوا رَبَّنَا إِنَّا أَطَعْنَا سَادَتَنَا وَكُبَرَاءَنَا فَأَضَلُّونَا السَّبِيلَا﴿٦٧﴾رَبَّنَا آتِهِمْ ضِعْفَيْنِ مِنَ الْعَذَابِ وَالْعَنْهُمْ لَعْنًا كَبِيرًا
Dan mereka berkata:”Ya Rabb kami, sesungguhnya kami telah mentaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar). Ya Rabb kami, timpakanlah kepada mereka adzab dua kali lipat dan kutuklah mereka dengan kutukan yang besar”. [al-Ahzâb/33:64-68].
Pelajaran penting dari gambaran percakapan di atas
Tidak bisa dipungkiri bahwa hubungan terbanyak dalam hubungan sosial manusia di dunia adalah hubungan antara atasan dan bawahan. Tidak satupun manusia di dunia ini melainkan mereka pernah menjadi atasan atau bawahan, menjadi pemimpin atau yang dipimpin, atau setidaknya menjadi mitra orang lain. Ini adalah konsekwensi hidup manusia sebagai makhluk sosial; makhluk yang tidak bisa hidup kecuali dengan berinteraksi dan menjalin hubungan dengan manusia lain.
Allah mengingatkan bahwa semua bentuk hubungan manusia di akhirat kelak akan berubah menjadi penyesalan dan kerugian, permusuhan dan pertikaian, kecuali mereka yang membangun hubungan tadi dengan ikatan iman dan ketakwaan. Allah berfirman:
الْأَخِلَّاءُ يَوْمَئِذٍ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ إِلَّا الْمُتَّقِينَ
Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertakwa. (Az-zukhruf [43]; 67)
Hari ini, di zaman fitnah yang meliputi seluruh dimensi kehidupan, kita akan menyaksikan banyaknya manusia yang bekerja bukan lagi dengan hati nurani dan akal fikirannya. Mereka bekerja seperti robot yang tidak memiliki hati dan perasaan.
Setiap kejahatan dan pelanggaran terhadap syari’at yang mereka lakukan, maka dengan mudah mereka berkilah; “Maaf, kami hanya melaksanakan tugas”, Kami bekerja sesuai tuntutan profesionalisme”.
Mereka sama sekali tidak mempertimbangan bahwa ikatan ketaatan mereka kepada sang majikan atau kepada system dimana mereka bekerja, akan berbuah penyesalan manakala Allah menghisab amal mereka.
Di sinilah sebagian besar manusia terjerumus dalam bentuk kesetiaan yang membabi buta kepada pemimpin, atasan atau mitra kerja mereka.
Dan pada akhirnya, hubungan, ikatan, dan kesetiaan yang dibangun antar mereka, kelak akan berbuah penyesalan dan kerugian yang berujung pada saling kutuk dan saling cela di antara mereka.
Dan dia (Ibrahim) berkata, “Sesungguhnya berhala-berhala yang kamu sembah selain Allah, hanya untuk menciptakan perasaan senang di antara kamu dalam kehidupan di dunia (saja), kemudian pada hari kiamat sebagian kamu akan saling mengingkari dan saling mengutuk, dan tempat kembalimu ialah neraka, dan sama sekali tidak ada penolong bagimu.” (Al-Ankabut [29]: 25)
(samirmusa/arrahmah.com)