Ini adalah dialog antara saya dengan 2 anshar thaghut Densus 88 Bagian Deradikalisasi… Ini adalah dialog yang kedua antara saya dengan kedua orang itu… Saya tulis global apa yang berlangsung sebagai mudzakarah ilmu bagi saya disaat tidak ada orang yang bisa diajak bermudzakarah…Mereka berkata : Kami datang kepada ustadz untuk berdiskusi dengan ustadz…
Saya berkata : Diskusi itu harus memiliki tujuan dalam mencari kebenaran, bukan formalitas menjalankan tugas dari pimpinan bapak, apalagi dalam rangka membahayakan orang muslim. Semestinya bapak keluar saja dari pekerjaan bapak, karena di akhirat kelak pimpinan yang bapak taati sekarang tidak akan menolong bapak, bahkan akan saling menghujat dan berlepas diri… Allah berfirman :
“Pada hari (ketika) wajah mereka dibolak-balikan dalam neraka, mereka berkata : “Wahai, kiranya dahulu kami taat kepada Allah dan taat (pula) kepada Rasul”. Dan mereka berkata : “Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah mentaati para pemimpin dan para pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar). Ya Tuhan kami, timpakanlah kepada mereka azab dua kali lipat dan laknatlah mereka dengan laknat yang besar.” (Al Ahzab : 66-68).
“(Yaitu) ketika orang-orang yang diikuti berlepas tangan dari orang-orang yang mengikuti, dan mereka melihat azab, dan (ketika) segala hubungan anatara mereka terputus. Dan orang-orang yang mengikuti berkata : “Sekiranya kami mendapat kesempatan (kembali ke dunia), tentu kami akan berlepas tangan dari mereka, sebagaimana mereka berlepas tangan dari kami”. Demikian Allah memperlihatkan kepada mereka amal perbuatan mereka yang menjadi penyesalan mereka, dan mereka tidak akn keluar dari api neraka.” (Al Baqarah : 166-167).
Segala hubungan nanti putus, baik itu hubungan kedinasan maupun yang lainnya, dan bahkan para pengikut dan para bawahan itu kelak ingin kembali ke dunia, bukan untuk shalat, zakat, shaum atau yang lainnya, tetapi untuk berlepas diri dari pimpinannya dan dari hukum perbuatan yang dahulu dijunjung tinggi.
Kita ini tidak akan selamanya di dunia ini, pasti nanti akan datang kepada Allah. Sekarang pemerintah sedang berkuasa di dunia dan merasa benar, tetapi kelak semua itu akan sirna dan di sana hanya Allah-lah Yang Berkuasa…
Saya pada kondisi lemah ini yang mana bapak bisa membunuh saya atau memotong-motong tubuh saya sesuka bapak, tetapi jujur dan tidak ingin menipu diri saya dan menipu bapak, saya juga bukan penjilat, saya tidak peduli sama bapak, maka saya menyampaikan hal itu…
Mereka menimpal : Ustdz, kan kita ini sama… Tidak ada perbedaan… Kami juga bersyahadat laa ilaaha illallaah muhammad rasulullah, shalat, zakat, shaum, haji, dan yang lainnya… Jadi kenapa dikatakan beda…?!!
Saya berkata : Kita berbeda pak, saya berbeda dengan bapak dan pemerintah ini…
Mereka berkata : Apa yang berbeda ?
Saya berkata : Perbedaan di antara kita bukan pada sholat, zakat, shaum, dan haji, karena bapak dan pemerintah tidak melarang dari hal-hal itu… Tapi perbedaan di antara kita adalah pada laa ilaaha illallaah…
Mereka berkata : Tidak beda, kami juga mengikrarkan laa ilaaha illallaah muhammad rasulullah… Tidak ada tuhan selain Allah… Jadi kenapa beda ???
Saya berkata : Laa ilaaha illallaah itu bukan hanya pengucapan, akan tetapi ia mengandung makna dan konsekwensi, yang intinya ibadah kepada Allah dan menjauhi thaghut, sebagaimana firman-Nya:
“Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat, (para rasul itu menyerukan) “beribadahlah kalian kepada Allah dan jauhilah thaghut itu.” (An Nahl : 36).
Jadi makna laa ilaaha illallaah itu adalah ibadah kepada Allah dan menjauhi thaghut, sedangkan bapak dan pemerintah ini malah menjungjung hukum thaghut dan loyalitas kepadanya…
Mereka betanya : Apakah di ayat itu disebut kata “thaghut” ?
Saya menjawab : Ya, disebutkan “beribadahlah kepada Allah dan jauhilah thaghut itu !”
Mereka bertanya : Tadi surat apa dan ayat berapa ?
Saya jawab : An Nahl 36… Supaya jelas saya jabarkan, Allah berfirman :
“Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelummu (Muhammad) melainkan Kami wahyukan kepadanya : “Bahwa tidak ada ilah (yang haq) kecuali Aku, maka beribadahlah kalian kepada-Ku” (Al Anbiyaa : 25).
Ayat ini menjelaskan bahwa setiap rasul diwahyukan laa ilaaha illallaah sehingga kalimat ini adalah inti ajaran Allah yang mereka (para rasul) dakwahkan…
Kemudian laa ilaaha illallaah Allah jelaskan makna kandungannya di dalam surat An Nahl 36:
“Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat, (para rasul itu menyerukan) : “Ibadahlah kalian kepada Allah dan jauhi thaghut itu.”
Jadi bukan sekedar pengucapan dan pengikraran lisan, tapi konsekwensinya adalah menjauhi dari loyal atau ibadah kepada thaghut dan beribadah hanya kepada Allah…
Bahkan Allah juga berfirman dalam surat Al Baqarah 256 :
“Barangsiapa kafir (ingkar) kepada thaghut dan beriman kepada Allah, maka dia sungguh telah memegang ikatan tali yang sangat kokoh yang tidak mungkin putus.”
Di sini Allah menjelaskan bahwa orang disebut telah memegang laa ilaaha illallaah yang merupakan ikatan tali yang sangat kokoh adalah bila dia kafir atau ingkar kepada tahghut dan iman kepada Allah…
Dan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda :
“Barangsiapa mengucapkan laa ilaaha illallaah dan dia ingkar terhadap segala yang ibadati selain Allah, maka terjagalah darah dan hartanya…” (HR. Muslim)
Di sini juga beliau menetapkan status keislaman seseorag terhadap pengucapan laa ilaaha illallaah yang disertai sikap ingkar terhadap segala yang diibadati selain Allah, yaitu ingkar kepada thaghut…
Dan para ulama juga telah ijma (sepakat) bahwa ikrar syahadat tidak manfaat tanpa ingkar kepada thaghut. Al Imam Sulaiman Ibnu Abdillah Ibnu Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata dalam kitab Taisir Al Aziz Al Hamid yang dinukil oleh Syaikh Ali Al Khudlair, berkata :
“Sekedar pengucapan kalimat syahadat tanpa mengetahui maknanya dan tanpa mengamalkan konsekwensinya berupa komitmen dengan tauhid, meninggalkan syirik akbar dan ingkar kepada thaghut, maka sesungguhnya (pengucapan syahadat) itu tidak bermanfaat berdasarkan ijma.”
Coba perhatikan Al Baqarah 256, hadits shahih Muslim dan juga ijma ulama, semua menyatakan bahwa ingkar kepada thaghut itu adalah syarat keislaman di hadapan Allah yang merupakan separuh makna laa ilaaha illallaah…
Salah seorangnya bertanya : Apa thaghut itu?
Saya berkata : Di antara thaghut itu adalah hukum buatan dan para pembuatnya, sebagaimana firman-Nya dalam surat An Nisa 60 :
“Tidakkah engkau (Muhammad) memperhatikan orang-orang yang mengaku bahwa mereka telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan (beriman) kepada apa yang diturunkan sebelummu ? Tetapi mereka masih menginginkan ketetapan hukum kepada thaghut, padahal mereka telah diperintahkan untuk mengingkari thaghut itu. Dan setan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) kesesatan yang sejauh-jauhnya.
Di dalam ayat ini Allah menyebutkan hukum atau undang-undang yang dijadikan acuan hukum selain apa yang Allah turunkan adalah sebagai thaghut yang diharuskan untuk diingkari, sedangkan pemerintah ini malah menerapkannya dan bapak sebagai perangkat penegaknya.
Padahal bila orang berpaling dari hukum yang diturunkan kepada Rasulullah dan malah merujuk kepada hukum-hukum Allah yang asli yang sudah dihapus yang ada di dalam Taurat dan Injil, maka dia divonis kafir, maka bagaimana dengan orang yang malah menerapkan hukum buatan manusia ??? Ibnu Katsir rahimahullah berkata di dalam Al Bidayah Wan Nihayah juz 13 hal 119 :
“Barangsiapa meninggalkan hukum yang baku yang diturunkan kepada Muhammad Ibnu Abdillah, dan dia malah mengacu hukum kepada yang lainnya berupa ajaran-ajaran (Allah) yang sudah dinasakh, maka dia kafir. Maka bagaimana gerangan dengan orang yang merujuk hukum kepada ALYASA dan dia mengedepankannya terhadap hukum (Allah) itu, maka dia kafir berdasarkan ijma kaum muslimin.”
Alyasa itu adalah Yasiq, yaitu kitab undang-undang hukum yang dibuat oleh Jengis Khan, yang dia rangkum sebagian dari Islam, sebagian dari Nashrani, sebagian dari Yahudi, sebagian dari ahli bid’ah dan sebagian dari buah pikirannya. Ini sama seperti yang dipakai pemerintah ini, di mana sebagiannya dari Islam seperti yang di pakai di Pengadilan Agama, sebagiannya dari Nashrani (Belanda) yaitu KUHP, sebagiannya dari hasil buatan Parlemen. Dan itu yang bapak pakai…
Salah satunya bertanya : Kalau syirik itu apa ?
Saya jawab : Syirik itu adalah penyekutuan Allah, dan dalam kaitan diskusi ini adalah syirik hukum. Allah berfirman :
“Ingatlah, hanya milik Allah penciptaan dan perintah itu.” (Al A’raf : 54).
Dalam ayat ini Allah menjelaskan bahwa menciptakan dan memerintah (mengatur) itu hanya hak khusus Allah, karena manusia adalah ciptaan Allah, maka hukum aturan yang diberlakukan kepada mereka pun harus aturan Allah.
Bila seseorang meyakini bahwa ada pencipta selain Allah, maka itu adalah musyrik kafir, maka begitu juga bila seseorang meyakini ada yang berwenang membuat hukum selain Allah maka dia musyrik kafir juga, karena Allah tidak memperkenankan penyekutuan di dalam hak hukum-Nya. Ini sebagaimana firman-Nya:
“Dan Dia tidak menyertakan seorangpun di dalam hukum-Nya.” (Al Kahfi : 26).
Dan bila seseorang memberikan loyalitas kepada hukum buatan itu, maka dia telah menyekutukan Allah, sedangkan pembuat hukum itu telah memposisikan dirinya sebagai tuhan, sebagaimana dalam firman-Nya:
“Mereka menjadikan orang-orang alim dan rahib-rahibnya sebagai tuhan selain Allah, dan jugaAl Masih putra Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada Tuhan selain Dia, Maha Suci Dia dari apa yang mereka persekutukan.” (At Taubah : 31)
Di dalam ayat ini Allah mencap Nashrani dengan banyak vonis :
- Mereka mempertuhankan alim ulama dan pendeta mereka
- Mereka beribadah kepada alim ulama dan pendeta mereka
- Mereka musyrik
- Alim ulama dan pendeta mereka telah mempertuhankan diri.
Di dalam hadits hasan riwayat At Tirmidzi, Rasulullah membacakan ayat (At Taubah : 31) ini di hadapan ‘Adiy Ibnu Hatim -yang saat itu Nashrani lalu masuk Islam-, dan ketika mendengar ayat itu dengan vonis-vonis tersebut, maka ‘Adiy Ibnu Hatim berkata :
“Kami tidak mengibadati mereka”, Rasulullah bersabda : “Bukankah mereka itu menghalalkan apa yang Allah haramkan kemudian kalian ikut menghalalkannya ?, dan bukankah mereka mengharamkan apa yang telah Allah halalkan terus kalian ikut mengharamkannya ??. Maka ‘Adi Ibnu Hatim menjawab : “Ya…”, maka Rasulullah bersabda : “Itulah peribadatan kepada mereka.”
Jadi, kesetiaan kepada hukum buatan itu adalah peribadatan kepada pembuat hukum dan merupakan kemusyrikan. Dan itu adalah pekerjaan bapak…
Salah seorang berkata : Berarti yang masuk di sini adalah parlemen, hakim, jaksa, polisi, tentara… dan tentunya presiden tertinggi… Kalau begitu Tifatul Sembiring masuk juga karena ikut membuat hukum…
Saya jawab : Ya begitu…
Dia berkata : Yang ustadz katakan itu benar, tapi kita kan di Indonesia… Umat agama yang lain bagaimana…??
Saya berkata : Kalau sudah mengetahui benar, maka seharusnya diikuti, karena kalau sekedar yakin atau mengetahui maka tidak ada gunanya, karena Abu Thalib juga meyakini bahwa ajaran Rasulullah adalah benar, namun tidak mau mengikutinya…
Kalau masalah umat agama yang lain… Islam itu tidak memaksa orang kafir untuk masuk Islam, kan di Islam ada yang namanya kafir dzimmi, yaitu orang kafir yang mau tunduk hidup di bawah naungan kekuasaan dengan kewajiban membayar jizyah atas pria dewasa setahun sekali seukuran kurang lebih 1 dinar (4,25 gram mas) dengan jaminan jiwa, harta dan keluarga. Nilai yang jauh lebih kecil dibandingkan segala pajak yang diambil pemerintah ini darinya sekarang, motor, mobil, tanah, rumah, dan lain sebagainya…
Lagi pula saya tidak mengajak kepada hal yang saya sendiri belum mampu karena hal itu bukan kewajiban kepada individu tertentu, tapi kewajiban umat secara kolektif. Namun saya ajak bapak kepadanya adalah minimal merealisasikan tauhid dengan keluar dari pekerjaan bapak… Sumber rezeki masih banyak…
Yang satu menimpali : Sebenarnya di antara kita ada kesamaan… Coba lihat aturan lalu lintas… Lampu merah… Bagaimana di Islam ?!!
Saya jawab : Berbeda pak… Kami tidak sama dengan pemerintah ini, kami ingin Allah sebagai rujukan hukum, sedangkan pemerintah ini punya rujukan yang lain… Kitabnya saja berbeda… Perlu diketahui, bahwa di dalam islam ini ada hukum-hukum yang baku yang sudah ditentukan yang disebut hukum syar’iy dan ada pula hukum idariy (tata tertib), yaitu permasalahan-permasalahan yang berkembang dengan zaman yang tidak diatur secara khusus, namun Islam memberikan kaidah-kaidah umum sebagai panduan yang nanti penetapannya tergantung kepada pemimpin dengan mempertimbangkan maslahat kaum muslimin…
Nah, masalah lampu merah ini masuk dalam hukum idariy… Andai pun ada kesamaan pada hasilnya, namun sumber rujukannya berbeda… Bukankah ketika orang Nashrani berbuat jujur karena -umpamanya- agamanya mengajarkan untuk jujur, bukankah dengan jujurnya itu dia tidak disebut muslim walaupun ada kesamaan dalam anjuran berbuat jujur, ini karena bedanya rujukan dan ketundukan.
Terus, dalam hal-hal yang baku, pemerintah ini merujuk kepada hukum buatan…
Dalam islam, masalah pencurian bila memenuhi syarat maka akan dipotong tangan, tapi di sini merujuk kepada pasal 362 dan 363 KUHP, yaitu penjara.
Perampokan di islam adalah dikenakan hukuman hirabah, bisa disalib atau dibunuh, atau dipotong tangan dan kaki secara silang atau diasingkan, akan tetapi di sini dikarenakan pasal 365 KUHP maka hukumannya yaitu penjara.
Pembunuhan di islam ada hukum tersendiri, tapi di sini dikenakan pasal 340 KUHP, bila pembunuhan tersebut terbukti direncankan diancam seumur hidup atau hukuman mati, bila tidak direncanakan maka dikenakan pasal yang lebih ringan.
Zina di islam ada hukumannya walaupun sama-sama ridla dan dewasa dan si wanita tidak punya suami, tapi di sini kalau sama-sama ridla dan dewasa dan si wanita tidak punya suami maka itu legal lagi tidak ada sanksi, bahkan kalau di lokasi khusus maka ada pajaknya…
Ini kan beda pak… Belum hukum lainnya, karena segala permasalahan di islam putusannya harus mengacu kepada hukum Allah, sebagaimana firman-Nya:
“Dan apapun yang kalian perselisihkan di dalamnya, maka putusannya diserahkan kepada Allah.” (Asy Syuraa : 10).
Mereka berkata : Karena kami tidak begitu menguasai, maka kami tidak bisa mengoreksi, tapi mungkin kalau kami bawa orang yang selevel dengan ustadz, mungkin dia bisa menanggapi, karena bisa jadi itu hanya penafsiran ustadz, tapi orang lain bisa jadi penafsirannya beda…
Saya berkata : Yang jelas saya sudah menjelaskan prinsip saya, di atas itu saya hidup dan mati, tapi saya tetap mengajak bapak untuk keluar dari polisi karena itu kemusyrikan yang membatalkan amalan…
Mereka berkata : Kami selalu ingat ajakan ustadz itu…
*Dialog ini sebenarnya panjang, tapi itu ringkasannya
Polres Jakarta Barat
Aman Abdurrahman
18 Jumada Ula 1432 H