Bagi hampir setengah penduduk dari 22 juta warga Yaman, makan menjadi salah satu kemewahan di mana mereka tidak selalu mampu mendapatkannya.
Di hari yang buruk, Umm Ahmad dan lima anggota keluarganya yang tinggal di distrik Al Sunaina, ibukota Yaman, Sana’a, melaluinya tanpa makan sama sekali.
Pada hari yang lebih baik, suami Umm Ahman yang bekerja sebagai pedagang, menjual pakaian bayi di pasar, pulang dengan membawa “500 riyal Yaman (sekitar 2,30 USD) dan kami makan.”
“Kasihanilah kami,” ujarnya, menghapus air mata saat putrinya Amira kelaparan dan menggambarkan perjuangan sehari-hari keluarganya untuk bertahan hidup.
Dia takut akan kehidupan Amira. Gadis cilik berusia lima tahun terlihat sangat kurus dan terdapat sedikit memar di perutnya, menurut ibunya, akibat gangguan darah yang mereka tidak mampu membayar pengobatannya.
Pada tahun lalu saja, menurut laporan terakhir PBB, harga makanan pokok telah melonjak tajam 40 hingga 60 persen dan harga air minum yang selalu langka, meningkat 200 persen, menyumbang inflasi yang terus meroket.
Tingkat pengangguran juga melonjak dan 10 juta penduduk Yaman dari total 22 juta, berjuang untuk menempatkan makanan di atas meja.
Pemberontakan populer yang menggulingkan rezim Ali Abdullah Saleh dan bulan-bulan kerusuhan politik telah melumpuhkan pemerintahan yang memang sudah lemah dan korup.
Hasilnya, menurut wakil sekjen PBB di Yaman, Ismail Ould Cheikh Ahmed adalah “krisis kemanusiaan yang jauh lebih mendalam dan lebih mendalam daripada apa yang telah kita gambarkan.”
Krisis paling jelas terjadi di ibukota Yaman, Sana’a.
Berbagi satu kamar antara dua anak perempuan dan seorang ayah, Fatima Hawsali mengatakan kehidupan di tahun lalu telah buruk dan kini semakin memburuk.
Tak seorang pun di keluarga ini memiliki penghasilan. Mereka bergantung pada pemerintahan yang telah berpindah tangan, di mana mereka katakan telah semakin tidak dapat diandalkan.
“Kami berjuang setiap harinya,” ujar Rizq, ayah Fatima.
Tetangga dan toko setempat yang biasa meminjamkan orang-orang beras, gula dan tepung lalu dibayar secara kredit, kini ia juga harus berjuang.
Dua catatan tergeletak di depan tokonya, satu merinci hutang orang-orang kepadanya dan yang lain merinci hutangnya kepada pemasoknya.
“Saya tidak bisa membayar mereka karena pelanggan saya tidak membayar saya,” ujar Saleh.
Menurut laporan, sekitar 55 persen penduduk Yaman hidup di bawah garis kemiskinan dengan penghasilan kurang dari 2 USD per hari. Sepuluh juta mengalami “rawan pangan” dan lima juta dari mereka “sangat rawan pangan”.
Hampir satu juta anak, diperkirakan berjumlah 967.000, menderita kekurangan gizi akut dan lebih dari seperempat dari mereka berada pada “resiko kematian” jika tindakan tidak segera diambil, ujar laporan itu.
Sektor kesehatan hampir tidak berfungsi sebelum pemberontakan 2011 melawan rezim Saleh.
Campak telah menewaskan sekitar 170 anak, sebagian besar sejak Januari tahun lalu. Penyakit menular lainnya telah muncul termasuk kolera dan demam berdarah.
Pengangguran di kalangan pemuda dianggap sebagai faktor destabilisasi utama, telah meningkat menjadi 53 persen.
Realitas kemanusiaan yang telah suram selama bertahun-tahun di bawah pemerintahan rezim diktator Ali Abdullah Saleh, kini telah diperparah.
Di warung kopi di salah satu pemukiman kelas menengah di ibukota, Sana’a, seorang ekonom terkemuka dan profesor universitas, Mohammed al-Maitami memperingatkan bahwa Yaman “benar-benar tidak mampu menyelesaikan tantangan yang terbentang di depan”.
Namun semua gambaran kehidupan yang suram tersebut jauh berbeda dengan yang terjadi di Yaman selatan, di mana Mujahidin Al Qaeda Semenanjung Arab (AQAP) atau yang dikenal secara lokal sebagai Ansar al-Sharia mengendalikan wilayah tersebut. Di sana listrik, air serta jaringan komunikasi sangat diperhatikan dengan baik dan gratis untuk para penduduk. (haninmazaya/arrahmah.com)