JAKARTA (Arrahmah.com) – Di tengah gugatan hasil pemilu, pidato “innalillahi” Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) DR Anwar Usman, SH, MH saat pelantikan tahun 2018 diputar ulang. Video berdurasi 13 menit itu kemudian viral di media sosial.
Pidato tersebut disampaikan sesudah mengucapkan sumpah jabatan pada 2 April 2018 lalu. Video ini kembali dipublikasikan oleh AlHadid Channel, Ahad (26/5/2019).
Dalam pidato perdananya, Anwar Usman menegaskan bahwa untuk mencapai suatu keputusan yang berkeadilan, seorang hakim tidak cukup hanya bersandar kepada kemampuan intelektualitas semata, namun kecerdasan spiritual dengan selalu memohon pertolongan dan bimbinganNya dalam sunyi dan keheningan juga merupakan bagian dari ikhtiar yang tidak kalah pentingnya.
Berikut pidato Ketua MK Dr Anwar Usman, SH, MH:
“Innalillahi wa-innailaihi rajiun. Sesungguhnya segala sesuatu itu datangnya dari Allah, dan segala sesuatu itu, akan kembali kepadaNya.”
Saya mengawali sambutan ini dengan kata innalillahi, karena saya meyakini bahwa suatu jabatan pada hakekatnya merupakan ujian yang diberikan kepada hambaNya. Oleh karena itu jika seseorang menghadapi suatu ujian, maka, hanya kepada penciptanyalah tempat dia mengadu dan memohon pertolongan.
Dalam prespektif agama, jabatan hakim didudukkan sebagai jabatan yang mulia, sehingga seorang hakim diibaratkan sebagai wakil Tuhan di muka bumi, yang berhak untuk memutus perkara, dan menentukan nasib seseorang atau suatu kaum.
Dalam prespektif teori kedaulatan, jabatan hakim merupakan jabaran dari teori kedaulatan Tuhan yang menyeimbangkan teiori kedaulatan lainnya, yaitu kedaulatan rakyat yang dimanifestasikan dalam lembaga parlemen, dan kedualatan rakyat yang dimanifestasikan dalam lembaga ekskutif.
Dengan kewenangan yang dimilikinya, hakim bahkan dapat membatalkan apa yang telah menjadi keputusan lembaga parlemen atau lembaga ekskutif, jika menurut pertimbangannya, keputusan yang dikeluarkan oleh lembaga tersebut dianggap melawan hukum atau merugikan orang banyak.
Dengan kewenangan besar yang dimilikinya, maka seorang hakim harus menjaga kemuliaan dirinya dan jabatannya agar dapat dipertanggungjawabkan, tidak hanya di dunia, namun di akhirat kelak, karena putusan yang diambil seorang hakim tidak hanya ditujukan untuk menegakkan hukum semata, melainkan sekaligus untuk menegakkan keadilan sebagaimana diatur dalam pasal 24 ayat 1 UUD 1945. Hal tersebut sejalan dengan amanah Allah dalam firmanNya surat An-Nisa ayat 58: Wa idza hakamtum bainannas an tahkumu bi al-adl. (Apabila kamu menetapkan hukum di antara sesama, maka hukumlah dengan adil).
Untuk itu seorang hakim harus hati-hati dalam menyampaikan pandangan dan tutur katanya, serta harus menjaga pula tingkah laku. Salah satu ciri kemuliaan seorang hakim adalah, satunya kata dengan perbuatan.
Saya memiliki kesamaan pandangan dengan hakim konstitusi terdahulu, yang mulia Prof Mukti Fajar, SH, MH. Beliau mengatakan bahwa hakim adalah pekerjaan yang sepi, seorang hakim harus merelakan dirinya untuk jauh dari hiruk pikuk kehidupan sosial, dan media.
Ia harus rela bekerja dalam sunyi dan keheningan untuk menjaga dirinya agar bisa memutuskan perkara dengan hati dan jiwa yang bersih. Saya meyakini, bahwa untuk mencapai suatu keputusan yang berkeadilan, tidak cukup hanya bersandar kepada kemampuan intelektualitas semata, namun kecerdasan spiritual dengan selalu memohon pertolongan dan bimbinganNya dalam sunyi dan keheningan juga merupakan bagian dari ikhtiar yang tidak kalah pentingnya.
Dalam dunia hukum dan peradilan, sering kali kita melihat adanya upaya untuk membangun skenario, merekayasa bahkan tipu muslihat untuk memenangkan sebuah perkara, padahal segala skenario rekayasa maupuntipu muslihat, tentu tiada berguna, hal ini sesuai dengan janji Allah dalam surat al Iisra 81 yang berbunyi: Wa qul jaa al haqqu wa zahaqol baathilu, innal baathila kaana zahuuqaa. (Yang benar telah datang, yang batil telah lenyap. Sesungguhnya yang bathil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap).
Untuk itu, dalam memperjuangkan keadilan harus ditempuh dengan cara-cara yang baik, sesuai dengan nilai-nilai kebenaran yang diperjuangkan. Pada hekekatnya dalam setiap agama apa pun prinsip dan nilai kebenaran harus selalu menjadi pegangan.
Memang memperjuangkan nilai-nilai kebenaran bukanlah suatu hal yang mudah, bukan hanya prosesnya yang tidak mudah, namun memperjuangkannya pun memiliki risiko yang berat. Sejarah telah menceritakan kepada kita tentang filosof Yunani bernama Socrates yang rela dihukum mati karena memperjuangkan nilai-nilai kebenaran yang diyakininya, meski saat ini apa yang dikemukakan Socrates tersebut jelas keberannya. Namun disisi lain, ia rela mematuhi hukuman pada masa itu dan menerima hukuman mati dengan cara meminum racun, karena ajarannya yang dianggap bertentangan dengan nilai-nilai hidup pada masanya.
Jabatan hakim dalam konsep Islam sering disebut sebagai qodhi, yaitu sesorang yang memiliki tanggungjawab dalam menjelaskan hukum Allah swt pada hambaNya. Dalam konsep hukum Islam jabatan hakim bukan jabatan yang ditujukan bagi orang atau kelompok yang menghendaki atau meminta. Jabatan tersebut ditujukan kepada orang yang memenuhi syarat dan kualifikasi tertentu, mengingat beban amanat maupun risiko yang harus ditanggungnya.
Jabatan hakim tak layak diisi oleh orang yang memiliki ambisi mengejar jabatan. Karena orang yang mengejar kedudukan dan jabatan memiliki kenderungan mengabaikan hak orang lain, tidak amanah, bahkan tidak tertutup kemungkinan berbuat khianat. Bahkan jika hakim dituju dengan ambisi, mengejar jabatan, maka, dikhawatirkan ia jauh dari hidayat dan taufiq Allah swt.
Ketika seorang sahabat menghadap Rasulullah untuk meminta sebuah jabatan, Rasulullah menolaknya dan, mengangkat sahabat lainnya untuk menduduki jabatan tersebut. Rasulullah saw bersabda: Demi Allah, sungguh kami tidak akan menguasakan tugas ini, termasuk hakim kepada orang yang memintanya, atau orang yang berambisi menjabatnya. (HR Bukhori-Muslim)
Jabatan itu pada hakekatnya adalah milik Allah. Sesuai dengan firman Allah dalam surat Ali Imron 26: Qulillahumma maalikal mulki tu’tiil mulka man tasyaa-u watanzi’ul mulka mimman tasyaa-u watu’izzu man tasyaa-u watudzillu man tasyaa-u biyadikal khairu.
(ameera/arrahmah.com)