ANKARA (Arrahmah.com) — Para pengunjuk rasa turun ke jalan-jalan di ibu kota Turki , Ankara, serta kota terbesar di negara itu, Istanbul. Mereka marah dan menuntut pengunduran diri Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan. Menghadapi itu, Erdogan mengumumkan negaranya tengah menghadapi “perang”. Bukan baku tembak yang ia maksud tapi “perang perekonomian”.
Dilansir Al Arabiya (23/11/2021), pengunjuk rasa berbaris di jalan-jalan lingkungan Cankaya Ankara, di mana sebagian besar gedung pemerintah Turki dan lembaga pemerintah berada.
Mereka meneriakkan istifa (mundur) dan nama partai berkuasa Erdogan, Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP). Banyak yang meniup peluit, menggedor panci dan wajan untuk membuat kebisingan.
Protes muncul di tengah meningkatnya krisis mata uang Lira Turki yang telah runtuh dari USD0,1 menjadi USD0,078 dalam nilainya selama sepekan terakhir. Ini menjadi penurunan terburuk sejak 2018.
Dalam rapat kabinet Senin (21/11) waktu setempat, Erdogan membela kebijakannya saat ini yang mengkampanyekan pemotongan suku bunga. Padahal langkah itu membebani mata uang negeri tersebut dan membuat lira terus ambruk terhadap dolar Amerika.
“Kita melihat permainan yang dimainkan oleh mereka atas mata uang, bunga, dan kenaikan harga … dan menunjukkan keinginan kita untuk melanjutkan rencana permainan kita sendiri,” katanya, dikutip AFP, Rabu (23/11).
“Kami akan muncul sebagai pemenang dari ‘perang ekonomi’ ini dengan bantuan Allah dan rakyat kami,” lanjut Erdogan.
Penurunan tajam terbaru dimulai Kamis pekan lalu ketika bank sentral memangkas suku bunga sebesar 100 basis poin menjadi 15%. Suku bunga telah dipangkas sebesar 400 basis poin sejak September.
Di saat yang sama inflasi di Turki sendiri kini mendekati 20%. Harga barang-barang kebutuhan pokok di negeri berpenduduk 85 juta itu terus melonjak.
Sementara gaji dengan mata uang lokal sangat terdevaluasi. Upah minimum Turki bernilai sekitar US$ 380 pada Januari dan dengan volatilitas kemarin menyusut menjadi US$224.
Sebenarnya, mata uang Turki sendiri sudah mengalami penurunan sejak 2018. Bukan hanya penolakan kenaikan suku bunga untuk mendinginkan inflasi, tapi juga akibat ketegangan geopolitik dengan Barat, defisit transaksi berjalan, dan utang yang meningkat,
Erdogan sejak lama menggambarkan suku bunga sebagai ‘musuh’. Ia bersikeras bahwa menaikkan suku bunga sebenarnya justru memperburuk inflasi bukan sebaliknya.
Semasa menjabat, Erdogan memecat tiga kepala bank sentral dalam dua tahun karena perbedaan kebijakan. Ini membuat investor makin khawatir melihat independensi bank sentral Turki.
Menurut lembaga pemeringkat Fitch, pada Agustus 57% dari utang pemerintah pusat Turki terkait dengan mata uang asing atau dalam denominasi. Ini artinya membayar utang itu akan menjadi lebih menyakitkan karena lira terus turun nilainya.
“Kami melihat eksperimen ekonomi yang salah tentang apa yang terjadi ketika bank sentral tidak memiliki kebijakan moneter secara efektif,” kata Tim Ash, ahli strategi pasar negara berkembang senior di Bluebay Asset Management, dikutip Reuters dalam sebuah catatan.
“Erdogan telah mengambil kemampuan CBRT (Bank Sentral Turki) untuk menaikkan suku bunga kebijakan.” (hanoum/arrahmah.com)