Setelah melakukan ritual yang Buddhis klaim sebagai ritual penebusan dosa masa lalu, Ashin Wirathu, tokoh biksu radikal Myanmar, duduk di depan kerumunan ribuan pengikutnya dan mulai meluncurkan kata-kata kasar yang dia tujukan kepada mereka yang dia sebut sebagai musuhnya, yaitu minoritas Muslim di negara itu, lansir NY Times pada Kamis (20/6/2013).
“Kalian bisa penuh kebaikan dan kasih, tetapi kalian tidak bisa tidur di samping anjing gila,” kata Ashin Wirathu, yang dia tujukan untuk melecehkan umat Islam.
“Saya menyebut mereka pembuat onar, karena mereka adalah pembuat onar,” klaim Ashin Wirathu kepada wartawan setelah ceramah dua jamnya berakhir. “Saya bangga disebut Buddhis radikal.”
Dunia telah dibiaskan dengan gambaran lembut Buddhisme yang didefinisikan oleh kata-kata Dalai Lama yang merendahkan diri. Popularitas Buddhis di mata dunia terlihat sempurna sebatas kartu pos yang menggambarkan biksu Asia Tenggara berjubah merah dan bertelanjang kaki menerima sedekah dari penduduk desa di waktu subuh.
Tapi semenjak tahun lalu, Buddhis Myanmar mulai menampakkan wajah aslinya. Gambar mereka berganti menjadi sekelompok orang yang mengamuk dan membawa senjata. Ceramah-ceramah biksu mereka yang bersifat mengutuk seperti yang disampaikan oleh biksu Ashin Wirathu di atas telah menggarisbawahi munculnya ekstrimisme Buddha di Myanmar. Massa Buddha telah membunuh lebih dari 200 Muslim dan memaksa lebih dari 150.000 orang, yang juga kebanyakan Muslim, mengungsi dari rumah mereka.
Ashin Wirathu, yang menggambarkan dirinya sebagai seorang nasionalis, menyangkal telah berperan dalam kerusuhan yang terjadi. Tapi pengkritiknya mengatakan bahwa setidaknya ceramah-ceramah anti-Muslim Wirathu telah mendorong dan menginspirasi terjadinya kekerasan di sana.
Kekerasan Buddhis Myanmar yang berawal tahun lalu kini telah berkembang menjadi gerakan nasional yang agendanya termasuk memboikot produk buatan Muslim. Pesan mereka menyebar melalui ceramah di seluruh negeri yang menarik ribuan orang dan tersebar luas melalui DVD. Biksu-biksu Buddha yang berkaitan dengan gerakan itu juga membuka pusat-pusat komunitas dan program Sekolah Minggu untuk 60.000 anak Buddhis nasional.
Ceramah-ceramah penuh kebencian dan kekerasan biksu Myanmar memunculkan pertanyaan tentang kemampuan pemerintah untuk menjaga keamanan kota-kota negara itu dan kesediaannya untuk menindak atau menuntut umat Buddha di negara mayoritas Buddha tersebut.
Ashin Wirathu, yang juga dikenal sebagai tokoh pemimpin spiritual Buddha Myanmar, memberi jarak yang tipis antara kebebasan berbicara dan hasutan, serta mengambil keuntungan dari kebebasan berekspresi. Dia sendiri pernah dipenjara selama delapan tahun oleh junta militer, yang sekarang sudah tidak berfungsi, karena menghasut kebencian. Akan tetapi, tahun lalu dia dibebaskan bersama dengan pembebasan ratusan tahanan politik.
Dalam ceramah baru-baru ini, dia menyebut pembantaian di sekolah Muslim dan terhadap penduduk Muslim di pusat kota Meiktila pada Maret lalu, yang juga didokumentasikan oleh kelompok hak asasi manusia, sebagai unjuk kekuatan.
“Jika kami lemah,” katanya, “tanah kami akan menjadi tanah Muslim.”
Buddhis Myanmar tampaknya lebih dari sekedar terjangkit Islamophobia. Pasalnya, sembilan dari 10 orang Myanmar beragama Buddha dan hampir semua pemimpin Buddhis berada di puncak dalam dunia bisnis, pemerintah, militer dan kepolisian. Sementara itu, perkiraan rentang minoritas Muslim hanya 4 sampai 8 persen dari sekitar 55 juta rakyat Myanmar, dan sisanya sebagian besar Kristen atau Hindu. Tapi Ashin Wirathu bersikeras bahwa eksistensi Buddhis Myanmar terancam oleh keberadaan minoritas Muslim yang memiliki lebih banyak anak [keturunan] dari pada umat Buddha di sana. Dia juga merasa terancam oleh minoritas Muslim yang membeli tanah milik Buddhis.
Sebagai bagian dari phobianya, dia bahkan mengeluhkan sejarah, di mana banyak rakyat India (yang kebanyakan Muslim) dikirim ke negara itu sebagai pegawai negeri dan tentara pada masa kolonial Inggris. (banan/arrahmah.com)