Oleh: Rustan Ibnu Abbas
(Aktivis Islam Kota Makassar)
(Arrahmah.com) – “Semut di seberang lautan nampak dan gajah di pelupuk mata tidak nampak“. Istilah ini sangat tepat menggambarkan orang-orang yang lebih memperhatikan urusan di luar dirinya ketimbang permasalahan yang dihadapi di bagian luar dirinya. Meremehkan persoalan yang dianggap kecil menjadikan kita tidak lagi peduli meskipun itu menjadi tanggung jawabnya yang harus diselesaikan.
Wajah pak Tasdani yang sudah tua dimakan senja nampak tergurat sedih saat menceritakan bagaimana warganya yang berjumlah sebelas kepala keluarga (KK) masih menempati masjid sebagai tempat berlindung dari panasnya matahari ataupun dinginnya angin malam selama lebih dua tahun. Kesedihannya pun semakin mendalam takkala mengingat dua tahun yang lalu mereka harus berjuang sendiri mempertahankan hak tempat tinggal mereka dari gusuran pengusaha yang didukung penguasa.
Bersengketa dengan pengusaha yang didukung penguasa memang sangat menyusahkan, meskipun yang dipertahankan itu adalah rumah dan tanah hak milik sendiri yang berjumlah lebih dari 100 kepala keluarga dan sudah dihuni selama puluhan tahun, harus terusir dengan bantuan aparat keamanan. Pengusaha yang memiliki banyak modal mampu membayar siapa saja untuk menjadi bekingnya. (Silahkan lihat linknya http://www.youtube.com/watch?v=Ic-V0R3Zs6U)
Tulisan ini bukan dongeng atau cerpen tapi ini benar-benar terjadi tepatnya di Jl. Balai Kota lorong 5 Kelurahan Baru kecamatan Ujung Pandang Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Jaraknya hanya dua puluh meter dari kantor walikota, pusat pemerintahan kota Makassar.
Rencana Pembongkaran Masjid
Tidak cukup itu saja masjid yang letaknya ditengah lokasi sengketa rencana juga akan dibongkar oleh pemenang sengketa. Masjid yang diberi nama Nurur Rahman berlantai dua sekarang merupakan satu-satunya tempat bernaung belasan kepala keluarga. Selain sebagai tempat bernaung juga masih digunakan sebagai tempat beribadah. Aneh memang tapi begitulah realitas yang bisa kita lihat sehari-hari. Beratapkan terpal, halaman masjid digunakan sebagai tempat memasak, mencuci dan beraktifitas lainnya, terlihat seperti rombongan pengungsi yang sedang kebanjiran atau terkena gempa bumi.
Karena letak masjid berada di tengah-tengah lokasi penggusuran, keberadaan masjid ini menjadi “batu sandungan” bagi pengembang yang akan membangun. Jalan satu-satunya adalah dengan mengupayakan agar warga yang menempati masjid dipindahkan agar masjid bisa segera dirubuhkan karena dianggap tidak dipakai lagi. Tapi warga sepakat tidak mau pindah dari masjid itu dan memilih bertahan karena kalau digusur lagi dari masjid itu, mereka tidak tahu harus kemana.
Pak Tasdani menambahkan “semenjak itu warga kerap mendapat teror dari preman bayaran atau aparat kepolisian agar segera meninggalkan masjid dan tidak menempati lagi. Hal itu mendapat tantangan dari warga dan tetap memilih tinggal di Masjid itu. Atas inisiatif Pak Tasdani sebagai kepala RW mereka meminta perlindungan ke ormas Islam kota Makassar seperti Hizbut Tahrir, Hidayatullah, Wahdah Islamiyah (WI) dan Front Pembela Islam (FPI) dan ormas sepakat akan memberikan dukungan full agar masjid Nurur Rahman dapat dipertahankan.
Menanti Kepedulian Pemerintah
Ironi memang menyesakkan menyaksikan bagaimana warga “ditelantarkan” dan dianaktirikan. Pada hal jarak kantor pusat kota Makassar hanya 20 m (dua puluh meter) dari lokasi. Berbagai upaya ditempuh agar pemerintah mau membantu masyarakat disana seolah tak berpengaruh seperti melakukan audiensi dengan walikota atau anggota dewan. Berbagai janji manis para calon anggota legislatif atau tim sukses yang berkunjung kesana seolah pemanis di bibir saja, semuanya hanya tinggal janji yang kunjung ditunaikan.
“Jangankan walikota, lurah saja belum pernah mengunjungi kami” ucap pak Tasdani dengan nada kecewa. Dana yang mereka dapatkan dari uluran tangan para dermawan yang prihatin melihat kondisi warga yang tinggal di masjid.
Warga berharap pemerintah memikirkan bagaimana nasib mereka termasuk masalah tempat tinggal meskipun itu rumah yang sederhana.
Kemana akan meminta bantuan untuk membantu saudara-saudara yang masih menginap di masjid, sampai sekarang belum ada jawaban. Pasrah dengan nasib atas keadaan ini menjadi jawaban sementara. Sambil mengusahakan agar perut tetap terisi dengan menjual kue atau kerja apa saja yang penting halal.
Tulisan ini sebagai bentuk “perwakilan” kesedihan dan kritik pada penguasa yang sibuk memikirkan bagaimana agar kota Makassar menjadi “kota dunia”, atau Makassar tetap meraih penghargaan adipura. Mereka agar pemerintah kembali menjadi menjalankan amanah utamanya yang dipercayakan oleh masyarakat. Memberikan mereka fasilitas tanpa memandang kasta tergusur. Karena hakekatnya mereka dipilih bukan untuk memperkaya diri sendiri atau kroninya tapi sebagai pelayan umat. Untuk membantu warga yang tergusur pemerintah tidak sampi mengeluarkan anggaran yang sama seperti biaya jalan-jalan anggota DPRD kota Makassar 1,6 Millyar tahun 2013 atau tidaklah menghabiskan uang trilliyunan anggaran belanja daerah.
Waktu dua tahun bukanlah waktu singkat untuk “menumpang” di Masjid. Ketidakpedulian pemerintah kota Makassar mencerminkan betapa pemerintah hanya berpihak pada yang bermodal bukan yang rakyat miskin, bukan warga tergusur atau orang yang merintih dengan suara parau karena sangat memerlukan bantuan dan uluran tangan. Mereka hanya menginginkan agar “gajah” di “kolong kaki” kantor balai kota Makassar bisa terlihat dengan jelas untuk diberikan hak-hak mereka sebagai warga negara.
(Ukasyah/arrahmah.com)