“Ketika saya mendengar berita bahwa ibu saya ditahan di kamp re-edukasi, saya sangat terpukul. Saya tidak bisa mengungkapkan rasa sakit dan ketidakberdayaan yang saya rasakan karena tidak bisa kembali untuk membantunya. Dia hanya seorang wanita berusia 60 tahun yang tidak bisa berjalan tanpa bantuan orang lain karena sakit yang dideritanya. Saya tidak dapat membayangkan apa yang telah dialaminya di kamp tersebut,” ungkap Nurtay.
Nurbiye Nurtay adalah seorang Muslim Uighur yang berasal dari Daerah Otonomi Xinjiang di barat laut China (XUAR). Dia telah tinggal di Malaysia selama tiga tahun terakhir dengan bekerja sebagai tabib tradisional. Dia telah satu kehilangan kontak dengan keluarganya yang berada di daerah Ghulja (Yining), di Prefektur Oton Ili Kazakh atau yang dalam bahasa China disebut Yili Hasake.
Nurtay baru mengetahui bahwa ibunya yang berusia 60 tahun, Elenur Eqilahun, telah ditahan di salah satu “kamp re-edukasi” pemerintah di Xinjiang, di mana di tempat tersebut banyak masyarakat Uighur yang dituduh menyembunyikan pemahaman “ekstrim” dan “menyimpang dari tatanan politik pemerintahan” ditahan.
Meskipun dia tidak tahu dengan pasti di kamp mana ibunya ditahan, namun dia yakin bahwa polisi menahan ibunya untuk memaksanya kembali dari Malaysia, sebagaimana yang dikatakannya kepada petugas RFA yang berada di Uighur.
Berikut ini cerita yang dituturkan oleh Nurtay:
Saya telah kehilangan kontak dengan keluarga saya selama hampir satu tahun. Dan saya belum pernah kembali ke rumah dalam tiga tahun terakhir. Baru-baru ini saya meminta teman saya untuk mengunjungi keluarga saya dan mencari tahu bagaimana keadaan mereka, karena saya khawatir dengan kondisi mereka. Dua atau tiga hari yang lalu dia pergi ke rumah saya dan mendapati bahwa ibu saya tidak berada di sana. Teman saya mendapat kabar dari tetangga bahwa ibu saya ditahan di “kamp re-edukasi” milik pemerintah dan tidak tahu kapan dia akan dibebaskan. Ketika saya mendengar berita itu, saya sangat terpukul. Saya tidak bisa mengungkapkan rasa sakit dan ketidakberdayaan yang saya rasakan karena tidak bisa kembali untuk membantunya.
Ibu saya telah berusia 60 tahun dan mengidap penyakit osteoartritis yang parah. Dia hampir tidak bisa berjalan tanpa bantuan orang lain, jadi saya tidak bisa membayangkan apa yang dia alami di sana.
Saya bertanya kepada teman saya, apakah ibu sya diizinkan untuk pulang ke rumah setelah “belajar” hariannya, tetapi teman saya menjawab tidak, dia ditahan di “kamp re-edukasi”. Teman saya juga mengatakan bahwa tidak ada yang tahu di kamp mana ibu saya ditahan. Semua anggota keluarga, teman-teman, dan kenalan saya telah menghapus nomor saya dari WeChat mereka karena alasan keamanan. Jadi saya sama sekali tidak memiliki kontak dengan orang-orang yang ada di rumah saya.
Ibu saya ditahan di “kamp re-edukasi” karena panggilan yang dia terima dari saya di Malaysia. Terakhir kali saya berbicara dengannya, ibu saya berkata, “Saya diminta untuk pergi ke kantor polisi setempat, tapi saya katakan ke mereka bahwa saya tidak bisa berjalan ke sana dan saya meminta mereka untuk datang menemui saya”. Percakapan itu terjadi pada bulan Oktober tahun lalu.
Ibu saya juga pernah berkata, “Hubungi saya kapan saya kamu mau, karena saya ingin mendengar suaramu setidaknya setiap dua atau tiga hari sekali. Jangan khawatir tentang peringatan mereka, biar saya yang menghadapi mereka”. Dia juga pernah bertanya, “Mengapa saya dilarang berbicara dengan putri saya sendiri? Saya telah menjalani hidup saya dan jika saya tidak memiliki kebebasan untuk berbicara dengan kamu maka apa gunanya hidup!”.
Saya tidak tahu apakah apa yang telah dikatakan ibu saya itu dijadikan bukti ketidaktaatannya atas perintah mereka. Namun dalam percakapan terakhir kami, ibu memberitahu saya bahwa mereka sangat memperhatikan panggilan di teleponnya, terutama panggilan dari luar negeri.
Tapi saat saya mengatakan bahwa mungkin saya harus berhenti meneleponnya agar dia tidak berada dalam kesulitan, dia berkata, “Saya ingin mendengar suaramu, terutama di saat kondisi saya kurang sehat seperti sekarang.” Saya tahu bahwa ibu saya menangis saat saya gagal meneleponnya selama beberapa hari.
Dia sering diinterogasi karena mendapat telepon dari saya. Mereka juga memaksanya agar memberikan alamat saya kepada mereka. Ketika situasinya semakin memburuk, ibu saya mengatakan kepada saya untuk tidak kembali. “Tetaplah di tempatmu sekarang, di sana lebih aman,” desaknya. (Rafa/arrahmah)