BEIRUT (Arrahmah.com) – Ratusan ribu anak-anak Suriah sudah mengalami trauma akibat perang, mereka juga menghadapi kehidupan yang keras di pengasingan, tanpa pendidikan dan kebebasan masa kecil yang normal, badan pengungsi PBB mengatakan, sebagaimana dirilis oleh The Guardian, Jumat (29/11/2013).
Pekerja anak mmerupakan masalah besar di komunitas pengungsi Yordania dan Lebanon, dimana anak-anak berumur tujuh mengambil peran pencari nafkah bagi keluarga mereka.
Lebih dari satu juta anak-anak Suriah menjadi pengungsi, kebanyakan dari mereka mengungsi ke negara-negara tetangga. Menurut laporan tersebut dengan judul Masa Depan Suriah: anak-anak pengungsi dalam krisis, yang diterbitkan oleh UNHCR pada hari Jumat (29/11/2013), setelah empat bulan melakukan penelitian di Yordania dan Lebanon, berbicara kepada anak-anak dan para pekerja internasional yang mendukung mereka.
Sheeraz Mukhaimer, dari International Medical Corps, mengatakan bahwa anak-anak pengungsi bercerita kepadanya bahwa mereka melihat anggota keluarga mereka meninggal dan kemudian mengubur mayat-mayat mereka. Para orang tua melaporkan bahwa anak-anak menderita masalah tidur, mengompol, mengalami gangguan bicara, dan sering menangis.
Dalam keluarga yang tidak lengkap, puluhan ribu anak-anak Suriah hidup tanpa ayah mereka. Dalam rumah tangga yang dikepalai perempuan, anak laki-laki dikirim keluar untuk bekerja. Pekerja anak adalah ilegal di Lebanon dan Yordania, tetapi anak-anak biasanya mengambil pekerjaan kasar dengan upah rendah. Upah sedikit yang mereka terima kadang-kadang merupakan satu-satunya sumber pendapatan bagi keluarganya.
Sebuah laporan sebelumnya dari badan anak-anak PBB, UNICEF, yang diterbitkan pada bulan Maret, diperkirakan bahwa satu dari 10 anak-anak pengungsi Suriah di wilayah ini terlibat dalam pekerja anak. Di Jordan Valley, lembaga ini menemukan bahwa 1.700 dari 3.500 adalah anak usia sekolah (hampir 49 %) bekerja.
Inspektur kementerian tenaga kerja Yordania, Maysoon Al Remawi, mengatakan kepada Guardian bahwa anak-anak pengungsi bersaing dengan orang dewasa Yordania dalam mencari nafkah.
The Guardian juga sempat berbicara dengan sejumlah anak muda yang terpaksa bekerja di Irbid, dekat perbatasan Yordania.
Samir bekerja sepanjang malam, enam hari selama seminggu, membersihkan dan membuat teh di aula kolam renang. Dia berumur 13 tahun dan dulu dia bersekolah di Suriah, tapi sekarang keluarganya tidak memiliki pilihan lain kecuali mengirim dia untuk bekerja.
Untuk 12 jam kerja yang dia lakukan, dia menghasilkan sekitar $4, walaupun demikian, penghasilan yang sangat kecil ini sangat dia butuhkan. Ayahnya meninggal ketika sebuah bom menghantam rumah mereka di Homs, meninggalkan ibunya yang lumpuh. Kakaknya yang baru berusia 15 tahun telah menikah dengan seorang pria Suriah berumur 50 tahun, karena ibunya berpikir ini adalah kesempatan terbaik agar anak perempuannya itu memiliki kehidupan yang normal.
Samir bekerja keras untuk menghasilan uang. “Saya menawarkan kopi, teh dan membersihkan meja antara dari pukul 6 sore sampai jam 5 pagi. Saya tidak mendapatkan waktu istirahat, tapi jika pengunjung tidak ada, saya akan duduk istirahat,” katanya kepada Guardian.
Demikian juga dengan nasib Hassan (14), anak tertua dari empat bersaudara, yang kini tinggal di sebuah apartemen di Irbid dengan ayah mereka. Mereka berasal dari Daraa di Suriah. Hassan menjual buku di jalan, karena ayahnya tidak bisa bekerja. “Ia ditembak di kaki, kadang-kadang ia mencoba untuk bekerja satu atau dua hari,” katanya.
Hassan bekerja sehari 14 jam untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Dia bekerja di sebuah kios buku milik seorang pria yang baik hati. Dia mendapatkan $5 per hari.
“Ketika pengunjung sepi saya istirahat, tapi dia tidak memberi saya istirahat. Pria itu baik kepada saya, dia membawa saya makan dua kali sehari. Kadang-kadang saya mendapatkan setengah dinar uang ekstra, ketika saya menjaga kios sendirian . Kami membayar JD250 ($350 ) untuk biaya sewanya, jika kita tidak bisa membayar setiap bulan, pemilik akan memberitahu kami, jika Anda tidak membayar saya akan menendang Anda keluar.”
Meskipun upaya besar-besaran telah dilakukan oleh LSM internasional dan pemerintah di Libanon dan Yordania untuk mendukung anak-anak dan menyediakan akses pendidikan untuk mereka, banyak anak muda yang memilih untuk putus sekolah. Jumlah anak usia sekolah Suriah di Lebanon melebihi jumlah anak-anak Lebanon yang terdaftar disekolah tahun lalu.
Türk mengatakan infrastruktur di negara-negara tuan rumah tidak dapat memperluas. “Lebanon dan Yordania telah sangat murah hati dalam hal ini,” katanya. “Masalahnya adalah tentu saja yang kita membutuhkan shift kelas yang berbeda. Mereka masuk kelas bergantian setiap hari. Kelas banyak yang sesak, dan kebutuhan untuk tenaga pengajar manjadi dua kali lipat.”
UNHCR menyerukan untuk lebih banyak dukungan terhadap Yordania dan Lebanon karena mereka berjuang untuk membantu anak-anak Suriah dalam menyediakan akses pendidikan untuk mereka.
Türk mengatakan perlu adanya solidaritas yang lebih nyata dari masyarakat internasional untuk negara-negara tetangga Suriah, termasuk penawaran untuk membangun permukiman di Eropa untuk para pengungsi yang paling rentan. “Saya melihat pengorbanan dan kemurahan hati yang luar biasa dari masyarakat Lebanon dan Yordania, tapi semakin lama krisis berlangsung, maka akan semakin menjadi beban. Kita harus mendukung mereka.
“Semakin lama konflik ini berlangsung, semakin tipis harapan mereka tentang masa depan Suriah. Kita perlu terus-menerus menghidupkan kembali harapan itu, bahwa ada yang bisa menjadi solusi di depan mata, dan yang mereka sangat harapkan adalah kapan konflik ini selesai, dan mereka dapat kembali pulang.”
Harapan ini menjadi harapan kita semua. Dan doa selalu membumbung tinggi untuk anak-anak kecil Suriah yang menderita, dan kehidupan normal seperti dulu bisa kembali mendekap mereka. (Ameera/arrahmah.com)