(Arrahmah.com) – Dalam perang melawan teror, AS sudah mengeluarkan sumber daya dalam jumlah yang sangat besar.Triliunan dollar sudahdigelontorkan untuk mengacaukan, melucuti, dan mengalahkan Al Qaidah dan kelompok-kelompok jihad lainnya.Namun, hingga kini tujuan AS dan sekutunya untuk mengakhiri perlawanan kelompok yang mengancam hegemoni mereka tersebut tak jua mendatangkan hasil yang diharapkan. Sampai akhirnya mereka mengambil kesimpulan bahwa kesalahan terbesar dalam Perang Melawan Teror adalah keyakinan bahwa penghancuran kamp pelatihan Al Qaidah akan membawa pada kehancuran kelompok tersebut, gerakan-gerakansekutu merekadan ideologi Salafi Jihadi yang mereka pegang.
Hari ini, saat inti Al Qaidah di Waziristan terus digempur dengan serangan drone dan salah seorang pemimpin mereka, Usamah bin Ladin, terbunuh, narasi ideologi dan propaganda mereka masih terus hidup dan mempengaruhi persepsi dan perilaku ribuan pemuda Islam yang berderet dalam busur dari Filipina di Timur hingga Mali di Barat. Dalam sebuah rilisnya tentang Al Qaidah pada bulan September 2013, The Economist menyebut Al Qaidahsebagai “the unquenchable fire”, api yang tidak bias dipadamkan. “Al Qaidah mungkin telah terpecah dan di beberapa tempat sudah habis. Mungkin mereka sudah dijauhi oleh kelompok lain yang memiliki ideologi yang mirip, dan mungkin beberapa afiliasinya mengabaikan para pemimpin yang sudah semakin menua. Namun, cara pandang salafi jihadi terhadap dunia yang dipromosikan dan diperjuangkan oleh Al Qaidah telah menjadi dayatarik yang belum pernah terjadi sebelumnya.”
Fakta ini membuat Frank Ciluffo, mantanpejabat Keamanan Dalam Negeri GedungPutih, mengakui bahwa, “Kita telah melakukan pertempuran yang salah. Pusat gravitasi yang sesungguhnya dari musuh kita adalah narasi mereka.”
Fokus AS dan usaha kontra terosisme internasional pun bergeser. Mereka memberikan perhatian yang sangat besar pada sisi yang ‘lebih lunak’ dalam perang melawan terorisme. Perang melawan terorisme tidak hanya dilakukan dengan konfrontasi militer, namun kini juga dimainkan dalam ruang komunikasi yang meliputi ide, nilai-nilai, dan persepsi.
Lee Hamilton, anggota Dewan Penasihat Keamanan Nasional AS menyimpulkan bahwa, “Inia dalah perang yang berbeda, yaitu perang ide, yang pada akhirnya akan menentukan berhasil atau tidaknya pertempuran yang kita lakukan… Kekuatan militer memang sangat diperlukan, tapi tidak cukup dengan itu. Pada akhirnya, kita hanya akan mampu mengalahkan terror jika kita memenangkan perang ide.”
Perang ide adalah tentang mempunyai narasi yang lebih kredibel dan membuatnya efektif. Dalam perang, narasi jauh lebih dari sekedar cerita. Narasi mungkin terdengar seperti kata sastra yang mewah, tetapi sebenarnya ia adalah dasar dari semua strategi, yang di atasnya seluruh kebijakan, retorika dan tindakan dibangun.
Para analis Barat mengidentifikasi empat elemen kunci dalam setiap narasi yang selama ini disampaikan oleh para Jihadis:
- Islam diserang oleh pasukan Salib yang dipimpinoleh AS
- Para Jihadis, yang oleh Barat disebut sebagai teroris, membela umat Islam dari serangan tersebut
- Aksi yang mereka lakukan dalam rangka membela Islam dilakukan secara proporsional, adil, dan terlegitimasi oleh dalil agama
- Tugas bagi Muslim yang baik adalah mendukung aksi tersebut
Narasi ini menyerukan dilakukannya jihad global. Potensi mereka berakar pada konsep fundamental dalam Perang Generasi Keempat (4GW), bahwa political will yang lebih superior, jika digunakan dengan tepat, akan mampu mengalahkan kekuatan ekonomi dan militer yang lebih besar.
Dalam penelitiannya, Tom Quiggin menyimpulkan delapan tema inti yang sering muncul dalam literature dan pernyataan Jihadis. Delapan tema tersebut adalah: jihad, bai’at, darul Islam, ummat, takfir, syahid, al-wala’ wa al-bara’, dan hijrah.
Pentingnya kedelapan tema tersebut membuat usaha kontra narasi juga berfokus pada kedelapan tema tersebut. Demi melawan narasi para Jihadis, 2 milyar dollar pun digelontorkan pada tahun 2012 untuk membangun kontranarasi yang lebihkuat. Konsep kontra narasi tersebut dilakukan dengan langkah-langkah sebagaiberikut:
- Merusak citra jihadis sebagai pembela umat Islam
- Mendiskreditkan filosofi keagamaan Jihadis
- Merendahkan kredibilitas pembawa pesan
- Menghalangi sampainya pesan-pesan Jihadis hingga ke audien
- Mengeksploitasi titik lemah ideologis
- Mendorong perpecahan dan perselisihan narasi
Narasi dan kontra narasi terus bersahutan. Komitmen untuk membuat narasi yang efektif, berpegang padanya serta menyampaikannya pun menjadi tantangan bagi keduabelah pihak yang saat ini terlibat dalam sebuah “perang tanpa akhir”. Di saat Al Qaidah dipandang sangat ahli dalam menggunakan narasi untuk mempromosikan alasan mereka, AS dianggap gagal. Kebijakan-kebijakan yang dilakukan AS hanya memperburuk situasi. Para analis Barat pun menyimpulkan bahwa hanya jika mereka mampu “menghancurkan mitos yang dipropagandakan oleh teroris dan simpatisannya, ia akan mampu untuk membelokkan angin dari layar yang selama ini membuat perahu terorisme terus berjalan.”
Narasi menjadi bahan bakar yang selama ini membuat perahu perlawanan terusberjalan. Karena itulah, kontra narasi kini diharapkan bisa menjadi penghalang. Delegitimasi pembawa pesan, pemberian alternatif definisi dari isi pesan, hingga pembunuhan para ideolog pun dilakukan. Namun, sebagaimana penemuan yang dihasilkan dari penelitian Richard Nielsen, ide-ide Jihadis secara umum tidak bisa dibunuh dengan membunuh pemiliknya. Program drone mungkin efektif untuk membatasi aktivitas dan komunikasi Jihadis, namun pembunuhan atas para ideolog tidak menurunkan ketertarikan pada ide-ide mereka.
Executive Summary Laporan Khusus SYAMINA Edisi XVII/Januari-Februari 2015
(*/arrahmah.com)