Oleh Irfan S Awwas
(Arrahmah.com) – Menjelang akhir tahun 2015, Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri menggelar operasi perburuan dan penangkapan besar-besaran terhadap terduga teroris. Operasi ini, sayangnya, dinodai keteledoran, berupa tindakan hukum yang tidak manusiawi, zalim, dan diskriminatif.
Insiden salah tangkap, salah tembak, salah target orang yang diduga teroris, sudah berulangkali terjadi. Bukannya evaluasi kinerja, polisi malah tidak peduli dan berapologi.
Kepala Divisi Humas Mabes Polri Inspektur Jenderal Anton Charliyan membantah jika detasemen khusus (Densus) 88 telah salah tangkap terhadap dua orang yang diduga teroris di Solo, Jawa Tengah. “Tidak ada salah tangkap. Yang dipulangkan itu bukan salah tangkap. Mereka dikembalikan setelah dilakukan pemeriksaan, bahwa yang bersangkutan tidak terlibat,” kata Anton kepada wartawan di Jakarta, Kamis (31/12).
Lantaran itulah, Senin 4 Januari 2016, persis sepuluh hari sebelum peristiwa teror bom di Sarinah, 14 Januari 2016 yang menewaskan 7 orang termasuk 5 pelaku dan 24 orang luka-luka. Pengurus pusat Majelis Mujahidin berkunjung ke BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme), mempertanyakan sikap polisi yang kurang aspiratif, kaitannya dengan program deradikalisasi terorisme.
Kepala BNPT Komjen. Pol. Drs. H. Saud Usman Nasution, S.H.menerima kunjungan pengurus Majelis Mujahidin di kantor Pusat pelatihan anti terorisme dan deradikalisasi, Jl. Anyar No.12, Citeureup, Sentul-Bogor, Jawa Barat.
“Kami menyesalkan kejadian ini, dan sudah menyampaikan pada teman-teman Densus 88,” kata Saud menjawab pertanyaan Majelis Mujahidin.
Langkah deradikalisasi BNPT, kata Saud, adalah menindak, mencegah, dan membina. Maksudnya, mereka yang melakukan perbuatan teror ditindak secara hukum. Sedang yang berniat melakukan ditangkap dalam rangka pencegahan. Adapun mereka yang sudah dipenjara, mereka dibina agar tidak berpaham radikal.
Saud juga mengatakan, BNPT memisahkan narapidana yang sudah mau bekerja sama dan yang radikal agar mereka tak lagi terpengaruh oleh narapidana yang masih radikal.
“Disini ada 48 ruang tahanan, kita siapkan untuk narapidana teroris yang sudah kooperatif. Mereka sudah membaik tapi masih dipengaruhi oleh yang radikal, makanya untuk itu dipisahkan penempatannya,” terangnya.
Dijelaskan juga, dari total 242 napi itu, masih ada sekitar 25 napi yang memiliki pola pikir radikal. Mereka di antaranya Abu Bakar Baasyir, Urwah, dan Aman Abdurrahman.
“Nanti setelah dilakukan identifikasi, akan ketahuan mana yang masih radikal dan mana yang sudah kooperatif. Tentunya proses deradikalisasi mereka akan berbeda. Kami ajak mereka berdialog. Kami juga mengundang ulama. Dari situ kami akan menampung keluhan mereka, ideologi dan permasalahan yang membuat mereka bersikap radikal sampai mereka benar-benar sadar,” paparnya.
Mengenai Abu Bakar Ba’asyir, Saud mengatakan, “Sudah ada indikasi perubahan, buktinya dia mengajukan PK (Peninjauan Kembali) kasusnya. Artinya, dia sudah berpikir dunia, tidak hanya akhirat. Selain itu, sudah bisa diajak dialog.”
Mengapa tidak dibebaskan saja, atau setidaknya ditahan di Lapas yang dekat dengan keluarga. Selain usia beliau sudah 80-an, juga agar dapat berkomuniskasi dengan masyarakat yang lebih heterogen.
“Indikasi perubahan ini akan kami sampaikan ke Presiden, dan rencana penempatannya dipisah,” janji Kepala BNPT Saud Usman Nasution.
Deradikalisasi versus radikalisasi
Dialog selama satu jam bersama Kepala BNPT, menjawab pertanyaan, mengapa deradikalisasi terorisme gagal. Ternyata, paradigma Densus maupun BNPT tentang teroris dan terorisme belum berubah. Deradikalisasi dilakukan secara parsial, tidak fokus, justru merembet ke arah stigmatisasi dan terkesan proyek Islamphobia.
Seperti halnya korupsi, sudah ada UU anti korupsi, bahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun sudah lama beraksi. Tapi kasus korupsi terus terjadi dan koruptor tak pernah habis dibasmi. Begitupun terorisme, Densus 88 yang ‘gagah perkasa’ seakan tak berdaya menghentikan aksi teror.
Benarkah komplotan teror dan antiteror lahir dari rahim yang sama dan dimainkan oleh sutradara yang sama pula, sehingga sulit dibasmi?
Sejak awal terbentuknya Densus 88, kemudian BNPT, berangkat dari dasar pemikiran yang salah. Secara kasat mata, kehadiran lembaga ini dipersiapkan menjadi kepanjangan tangan Amerika dan Barat dalam mempersepsikan gerakan Islam. Kategori teroris dan terorisme hanya dilabelkan pada Islam, sementara kejahatan yang sama, yang dilakukan oleh gerakan lain tidak di ketegorikan teroris walaupun memakan banyak korban.
Contohnya, peristiwa Ambon (1999), pembakaran Masjid di Tolikara (2015). Juga, sparatis Papua yang menewaskan sejumlah polisi, tentara, dan masyarakat sipil. Belum lagi intimidasi golongan Hindu radikal di Bali, termasuk toleran terhadap aliran sesat Syi’ah, Gafatar dan yang semacamnya.
Semua gerakan radikal sesat ini tidak disebut teroris. “Kami tidak ingin masuk ke ranah paham keagamaan yang akan mengundang polemik,” alasan Kepala BNPT Saud Usman Nasution.
Kedua lembaga antiteror ini juga sepenuhnya didanai pihak asing. Pasukan Densus dilatih oleh Amerika dan Australia dalam penanganan terorisme. Sehingga langkah-langkah pemberantasan terorisme sama sekali mengabaikan faktor sosiologis dan ideologis masyarakat Indonesia, yang secara prinsip anti dominasi Barat dan Amerika di dalam aktivitas kehidupan berbangsa dan berenegara.
Para pejabat di BNPT, sekalipun beragama Islam tetapi mentalitas dan ideologinya becermin total pada Barat dan Amerika, terutama dalam mempersepsikan setiap gerakan Islam yang tidak disukai asing. Oleh karena itu dalam penanganan terorisme terlihat nyata adanya langkah yang tidak sinergis antara aparat keamanan, maupun lembaga terkait.
Misalnya, kebijkakan kementerian agama tidak sejalan dengan kehendak BNPT. MUI dan ormas Islam juga tidak sejalan dengan langkah pemerintah yang represif dan main bunuh terhadap orang-orang terduga teroris. Bahkan upaya rehabilitasi terhadap daerah yang menjadi korban teroris seperti Poso, tidak dilakukan secara benar dan adil.
Adanya persepsi yang berbeda dalam penangan terorisme di Indonesia, antara masyarakat, tokoh agama, kaum intelektual dan pemerintah, menunjukkan bahwa teror dan terorisme bukan murni problem bangsa Indonesia. Tetapi merupakan agenda dan proyek negara asing, agar Indonesia tetap dalam ketegangan terus menerus antara umat Islam dan pihak keamanan.
Oleh karena itu, deradikalisasi terorisme menjadi tidak efektif, selain proyek asing juga karena adanya upaya radikalisasi intelijen. Sudah sering kita mendengar komentar, bahwa komplotan teror, baik yang sudah ditangkap maupun yang masih buron, adalah orang-orang yang berpendidikan rendah, pengetahuan agama minim, secara ekonomi melarat dan dalam kehidupan sosial termarjinalkan.
Bukankah menggelikan sekali, sebuah badan keamanan yang sangat prestisius seperti Densus 88, BNPT, intelijen negara, hanya menanggulangi kenakalan ‘anak-anak ingusan’ yang jadi sopir angkot, kurir pengantar barang, teknisi TV atau mesin cuci, dan penjual pulsa. Berhadapan dengan jenderal bintang satu, dua, tiga, tetapi tidak mampu mengatasi masalah.
Kasus drama bom Sarinah, misalnya, hanya membutuhkan waktu 4 jam untuk mengendalikan situasi. Hasilnya, dari lima orang pelaku teror, empat orang mati dan satu lagi buron. Salah seorang yang mati, baru 2 bulan bebas dari penjara Cipinang terkait kasus latihan militer di Aceh.
Setelah bertahun-tahun dipenjara, sulit bagi seorang mantan narapidana untuk beradaptasi dengan masyarakat, apalagi melakukan tindakan teror bom, kecuali ada yang mengendalikan.
Dalam hal ini aparat intelijen punya cara, terutama memanfaatkan teknologi informasi. Densus 88 misalnya,tentu punya jasus di akun jejaring sosial. Tugasnya, mencari dan memantau akun orang-orang yang bersemangat jihad, mempunyai cita-cita mati syahid, ingin menegakkan syariat Islam dan mendirikan Khilafah Islamyah.
Apabila target sudah ditemukan, sang jasus atau informant ampil pura-pura berpaham radikal, atau simpatisan Negara Islam dan memulai pertemanan. Bagi yang akunnya sudah terpampang alamat yang jelas dan ada foto profil aslinya, Si jasus akan langsung menjadikan dia target dengan mengutus petugas intel pada pemuda-pemuda perindu syahid ini.
Setelah melakukan pertemuan dan terjadi kecocokan pemikiran, maka pemuda semangat ini diajak mempersiapkan fisik, latihan ala meliter, atau langsung dipersenjatai, sembari mencari rumah kontrakan.
Tidak perlu menunggu lama, bahan-bahan peledak yang belum komplit diletakkan di rumah kontrakan, biasanya rumah jelek tapi strategis agar mudah diserbu bila saatnya tiba. Informan ‘mujahid’ ini akan menjelaskan, “para thaghut semakin ganas membasmi para mujahid khilafah, maka perlu persiapan.”Mereka juga di doktrin membenci Pancasila dan seluruh aparat keamanan terutama Densus 88.
Jika indoktrinasi dipandang cukup dan siap jadi ‘pengantin’ para korban radikalisasi ini diberi senjata dengan peluru terbatas, agar mudah ditumpas. Bila segalanya beres, terjadilah drama penggerebekan teroris, dan akan disiarkan secara live di tv nasional yang sudah dipesan.
Saat penggrebekan,biasanya terjadi kontak senjata, karena korban radikalisasi ini sudah didoktrin untuk membenci pancasila dan seluruh aparat keamanan terutama Densus 88 sehingga saat berhadapan mereka sangat bersemangat. “Mati di tangan thaghut Densus 88 adalah mati syahid.”
Para perindu syahid korban radikalisasi intel ini, dijadikan tumbal politik global. Sementara Densus 88 yang bertugas menyergap, belum tentu mengetahui skenario ini. Artinya pelaku ‘teror’ dan antiteror tidak menyadari telah dikelabui dan korban agenda asing.
Jadi, problem terorisme, sebenarnya proyek Barat yang dibebankan kepada Indonesia, supaya negeri khatulistiwa ini tidak pernah berhasil mengatur dirinya sendiri untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur. Teror bom yang terjadi belakangan ini, belum tentu buah indoktrinasi ideologi radikal atau indoktrinasi radikalisme. Bukan mustahil hasil radikalisasi intel untuk kepentingan asing dan kaum Islamphobia. (*/arrahmah.com)