(Arrahmah.com) – Bagai film koboi, dalam waktu satu hari polisi khusus (baca: Densus 88) beraksi di tiga daerah yakni Batang, Bandung dan Kebumen. Beberapa terduga “teroris” diberondong peluru, polisi menuduh mereka memiliki senjata api dengan menyodorkan “bukti” revolver, FN, dan pistol kecil.
Di Batang, penyergapan berlangsung 3 jam, sementara di Bandung berlangsung 8 jam, dan di Kebumen lebih lama lagi yakni 12 jam.
Satu orang meninggal dalam penyergapan di Batang, menurut laporan media ia bernama Abu Roban alias Bambang Nangka, sementara di Bandung 3 orang juga meninggal ditembak Densus, diketahui bernama Budi Syarif alias Angga, Sarane dan Jonet. Sedang beberapa lainnya diringkus, namun masih simpang siur berapa jumlah mereka.
Aksi penyergapan di Kebumen juga memakan korban. Penyergapan yang baru selesai pukul 8:30 pagi itu menewaskan 3 orang, anehnya polisi tidak mengetahui nama-nama “tersangka.” Kepala Polisi Resort Kebumen AKBP Heru Trisasono kepada Antaranews mengatakan, “Dalam penyergapan pada Rabu (8/5) malam hingga Kamis (9/5) pagi itu, tiga orang terpaksa ‘dilumpuhkan’ karena melakukan perlawanan.” Ketika ditanya identitas korban yang meninggal, “Kami tidak tahu nama-nama mereka, kami hanya mengamankan tempat kejadian perkara,” katanya.
Begitu juga soal apakah kelompok ini ada hubungan jaringan dengan kelompok Bandung Trisasono juga menyatakan tidak tahu.
“Hal itu masih dalam penyelidikan dan yang lebih tahu adalah Densus 88, kami hanya mengamankan saja,” katanya lagi kepada Antaranews.
Kejadian seperti ini terus berulang. Orang-orang yang dianggap “tersangka” ditembak mati terlebih dahulu sebelum diadili.
Terkait hal ini, arrahmah.com menghubungi ustadz Abu Muhammad Jibril untuk meminta pendapatnya mengenai arogansi Densus 88 ini.
Ustadz Abu Jibril mengatakan bahwa aksi terbaru ini “ingin menunjukkan kesombongan jahiliyah Densus 88, dalam hal ini di saat kuatnya desakan untuk membubarkan Densus 88, mereka menunjukkan bahwa tidak ada yang bisa membubarkan atau melarangnya.” (azmuttaqin/arrahmah.com)