JAKARTA (Arrahmah.com) – Penangkapan tiga ulama terkemuka di Indonesia pada Selasa (16/11/2021) secara serentak, menimbulkan kegemparan di kalangan kaum Muslimin, berbagai pihak menyuarakan protes mereka terhadap penangkapan tersebut.
Salah satunya Ahmad Khozinudin S.H, seorang advokat sekaligus kepala Koalisi Persaudaraan dan Advokasi Umat (KPAU). Ahmad Khozinudin mengatakan penangkapan ketiganya tidak memperhatikan prosedur hukum, dan anggota Densus 88 juga telah melecehkan kemuliaan Muslimah yang dijaga oleh ummat Islam.
“Betapa tidak, anggota Densus 88 pada saat subuh menerobos masuk ke lingkungan pondok dan masuk tanpa izin ke ruangan santriwati-santriwati yang sedang tidak menutup aurat. Para santriwati yang merupakan muslimah yang wajib dijaga auratnya, diterobos kehormatannya dan tidak dihargai oleh Densus 88,” ujar pernyataan Khozinudin yang diterima oleh arrahmah.com (17/11/2021).
Ia melanjutkan bahwa istri dari Ustadz Ahmad Zain An Najah menceritakan betapa kaget dan ketakutannya para santriwati karena Densus 88 masuk tanpa izin dan memasuki ruangan privasi para santri, hingga ke kamar pribadi ustadz.
“Ini benar-benar merupakan pelecehan harkat dan kemuliaan Muslimah. Bukan hanya itu, perilaku Densus 88 ini wajib dievaluasi oleh Kapolri -jika Kapolri tak ingin dianggap anti terhadap Islam- karena tindakan yang dilakukan oleh densus 88 jauh dari kinerja yang profesional, transparan, menghormati harkat dan martabat setiap warga negara, dan tidak mengindahkan koridor syar’i yang diyakini oleh umat Islam.”
Berikut beberapa catatan hitam perilaku Densus 88 pada saat penangkapan Ustadz Dr Farid Ahmad Okbah, Ustadz Dr Ahmad Zain An-Najah dan Ustadz Dr Anung Al-Hamat, yang diungkapkan oleh Ahmad Khozinudin S.H:
Pertama, Densus 88 tidak menunjukkan dan menyerahkan Surat Penangkapan kepada keluarga. Padahal, KUHAP mengatur setiap penangkapan harus disertai Surat Tugas dan Surat Penangkapan dengan dijelaskannya uraian ringkas tindak pidana yang dipersoalkan.
Padahal, berdasarkan ketentuan Pasal 18 ayat (1) KUHAP, pelaksanaan tugas penangkapan dilakukan oleh petugas Polri dengan memperlihatkan surat tugas serta memberikan kepada tersangka surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan alasan penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan serta tempat ia diperiksa.
Sampai saat ini, keluarga tidak diberikan dasar penangkapan, salinan surat penangkapan, serta dimana tempat pemeriksaan Ustadz Dr Farid Ahmad Okbah, Ustadz Dr Ahmad Zain An-Najah dan Ustadz Dr Anung Al-Hamat. Bahkan, ketika didesak alasannya densus hanya mengatakan nantinya akan dijelaskan di pengadilan.
Kedua, berdasarkan ketentuan pasal 69 KUHAP, disebutkan bahwa setelah seseorang ditangkap, maka dia berhak menghubungi dan didampingi oleh seorang penasihat hukum/ pengacara. Namun, sampai saat ini Ustadz Dr Farid Ahmad Okbah, Ustadz Dr Ahmad Zain An-Najah dan Ustadz Dr Anung Al-Hamat tidak dapat menghubungi pengacara dan pengacara juga tak dapat melaksanakan fungsi-fungsi pembelaan.
Saat ini, pengacara hanya mampu mendampingi keluarga dan memberikan ketentraman agar dapat sabar dan tentram menghadapi ujian. Tim pengacara, belum dapat menemui Ustadz Dr Farid Ahmad Okbah, Ustadz Dr Ahmad Zain An-Najah dan Ustadz Dr Anung Al-Hamat, apalagi memberikan pendampingan hukum kepada ketiganya.
Ketiga, pengambilan sejumlah barang milik Ustadz Dr Farid Ahmad Okbah, Ustadz Dr Ahmad Zain An-Najah dan Ustadz Dr Anung Al-Hamat tidak disertai Berita Acara Penyitaan. Sehingga, pengambilan barang bukti yang dilakukan oleh Densus 88 lebih mirip perampokan.
Lalu, atas dasar apa densus menyita? Kalau bukti dikembalikan, apa jaminannya semua bukti dikembalikan, sementara tidak ada daftar bukti saat penyitaan?
Sebenarnya, kalau murni penegakan hukum densus 88 tidak perlu melakukan penangkapan. Densus 88 bisa melakukan pemanggilan karena alamat Ustadz Dr Farid Ahmad Okbah, Ustadz Dr Ahmad Zain An-Najah dan Ustadz Dr Anung Al-Hamat sangat jelas. Ketiganya, juga punya posisi dan kedudukan yang jelas. Sehingga, tidak mungkin akan mangkir apalagi melarikan diri.
Densus bekerja memang berdasarkan ketentuan UU No 5/2018 tentang Terorisme. Namun, UU ini juga tidak boleh menyimpangi KUHAP.
Tidak boleh, atas dalih memberantas terorisme densus 88 justru melakukan tindakan teror kepada warga negara yang baru berstatus terduga. Lagipula, apa yang dilakukan Densus 88 ini bukannya memberantas terorisme, justru menimbulkan teror, ancaman dan ketakutan ditengah-tengah masyarakat. (haninmazaya/arrahmah.com)