(Arrahmah.id) – Rasa geram, marah, sekaligus sedih bercampur aduk saat penulis tak bisa mengantarkan istri ustadz Anung Al Hamat untuk bertemu suaminya. Marah dan geram, karena petugas dari densus 88 dan petugas Pengadilan Negeri Jakarta Timur tidak dapat menyebutkan satupun dasar hukum pelarangan selain dalih ‘perintah atasan’. Sedih, karena terlihat jelas raut kekecewaan Istri ustadz Anung Al Hamat yang tidak bisa bertemu suaminya, meskipun sudah didampingi tim pengacara.
Sebagaimana diketahui, istri maupun keluarga para ustadz (Ustadz Farid Okbah, Ustadz Ahmad Zain An Najah dan Ustadz Anung Al Hamat) tidak bisa menemui para ustadz karena ditempatkan di tahanan Densus 88 di Cikeas. Sudah berulangkali kami mengajukan permohonan pemindahan penahanan, dengan alasan Densus 88 sudah tidak berwenang karena perkara sudah disidangkan, juga agar mempermudah komunikasi dan koordinasi teknis persiapan pembelaan tim pengacara.
Kami sudah meminta, agar para ustadz dipindahkan ke Rutan Salemba atau Polda Metro Jaya. Selain agar memudahkan persiapan pembelaan, juga untuk memudahkan keluarga untuk menjenguk para ustadz. Namun, hakim enggan mengabulkan permohonan pemindahan penahanan para ustadz.
Satu-satunya kesempatan bertemu para ustadz adalah saat sidang di pengadilan. Itupun, hanya tim pengacara yang bisa mendekat, sementara keluarga hanya bisa melihat dari kursi pengunjung.
Dan siang tadi (Rabu, 14/9), pada saat agenda tanggapan jaksa atas eksepsi penasehat hukum, saat Ustadz Anung Al Hamat sudah kembali di tempatkan di ruang tahanan pengadilan Negeri Jakarta Timur, istri Ustadz Anung ingin bertemu suaminya. Penulis bersama satu orang Ibu-ibu menemani, mendampingi istri Ustadz Anung untuk bertemu Ustadz Anung.
Tapi apa yang kami dapati? petugas Pengadilan dan Densus 88 tidak mengizinkan. Dalihnya, hanya karena perintah atasan.
Penulis sendiri sudah meminta waktu 5 menit saja agar istri Ustadz Anung dipertemukan dengan suaminya. Mengingat, ada pesan penting yang harus disampaikan langsung. Tapi tetap saja tidak diizinkan.
Astaghfirullah, kesempatan untuk bertemu di ruang tahanananpun dihalangi. Sudah seperti memperlakukan ulama layaknya binatang saja, yang musti diisolasi. Jahat sekali Densus 88 ini.
Padahal, dalam ketentuan Pasal 61 KUHAP (Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana/UU No. 8 tahun 1981), tegas disebutkan:
“Tersangka atau terdakwa berhak secara langsung atau dengan perantaraan penasihat hukumnya menghubungi dan menerima kunjungan sanak keluarganya dalam hal yang tidak ada hubungannya dengan perkara tersangka atau terdakwa untuk kepentingan pekerjaan atau untuk kepentingan kekeluargaan.”
Lalu, apa alasannya Densus 88 dan otoritas Pengadilan menghalangi Ustadz Anung al Hamat untuk dikunjungi atau ditemui istrinya yang merupakan sanak keluarganya?
Kalau dalihnya ini kasus terorisme, penulis ingin tegaskan kasus terorisme juga harus tunduk pada KUHAP. Didalam ketentuan UU No 5/2018 tentang terorisme, juga tidak ada satupun pasal yang melarang tersangka atau terdakwa terorisme dikunjungi sanak keluarga. Tak ada pula satupun ketentuan di UU Terorisme yang menghapus keberlakuan pasal 61 KUHAP terkait hak terdakwa untuk dikunjungi keluarganya.
Penulis mengeluhkan tindakan Densus 88 dan ororitas pengadilan ini, yang telah merampas hak-hak terdakwa yang dijamin UU. Karena itu, pada saat Pers Konference, penulis sampaikan kritik dan komplain kepada Kapolri dan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia.
Kepada Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, penulis meminta agar menertibkan anak buahnya, khususnya petugas Densus 88. Kepada Ketua Mahkamah Agung RI, agar menegur otoritas Pengadilan Negeri Jakarta Timur yang menghalang-halangi keluarga bertemu terdakwa.
Kami meyakini Ulama kami bukan teroris. Lagupula, proses masih berjalan. Belum ada keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Tetapi, kenapa Ulama kami hak-hak hukumnya sebagai terdakwa, dirampas oleh Densus 88 dan Otoritas Pengadilan Negeri Jakarta Timur?