KOPENHAGEN (Arrahmah.com) – Denmark menyatakan pada hari Kamis (28/1) bahwa pihaknya akan membatasi penggunaan niqab dan jilbab yang biasa dikenakan oleh sejumlah Muslimah saat berada di tempat publik, meskipun membatalkan rancangan undang-undang yang melarang jenis pakaian tersebut, AFP melaporkan.
Sambil menyatakan bahwa pakaian tersebut “tidak memiliki tempat di masyarakat Denmark”, kubu kanan pemerintah menyatakan tidak akan memberlakukan larangan umum, namun akan memungkinkan pembatasan bagi muslimah yang mengenakan penutup aurat sempurna itu di lingkungan sekolah, administrasi publik, dan perusahaan.
Mereka pun mengatakan akan segera merancang sanksi bagi siapa saja yang dengan tidak legal memaksa seorang muslimah untuk memakai niqab atau jilbab dan sanksi lain bagi siapapun yang meminta muslimah yang menjadi saksi di ruang sidang untuk mengangkat penutup wajahnya.
“Para pemakai burka dan niqab tidak punya tempat dalam masyarakat Denmark dan pemerintah bertekad untuk memerangi pandangan yang merugikan manusia dan perempuan ini,” berikut yang ditulis dalam pernyataan dari kantor Perdana Menteri Denmark, Loekke Lars Rasmussen.
Hal itu mendesak pemerintah untuk membatasi penggunaan niqab ‘seoptimal mungkin’. Denmark sendiri telah memiliki hubungan yang menegang dengan minoritas Muslim pada tahun 2005 akibat penerbitan kartun yang menggambarkan Nabi Muhammad yang dianggap menghujat dan menghina oleh sebagian besar dunia Islam.
Pemerintah minoritas, yang mengandalkan dukungan dari sayap kanan Partai Rakyat Denmark dalam undang-undangnya, mengatakan bahwa adanya larangan umum terhadap niqab dan jilbab akan melanggar konstitusi.
“Sekolah dasar dan sekolah tinggi, universitas dan lembaga-lembaga pembelajaran lainnya secara hukum memerlukan pengajar maupun pelajar yang memperlihatkan wajah mereka untuk memudahkan komunikasi … demi keterbukaan dan keadilan,” kata pernyataan itu.
Beberapa lembaga publik juga diharuskan untuk mewajibkan pegawainya- guru, pembantu rumah tangga, perawat kesehatan, tempat penitipan anak, dan pekerja sosial- untuk menampilkan wajah mereka saat berinteraksi dengan orang lain di tempat kerja.
Pemerintah Denmark pun meminta agar lembaga-lembaga publik diizinkan meminta seorang perempuan muslim yang sedang diperiksa oleh pihak yang berwenang untuk “mengangkat penutup wajahnya untuk melihat reaksi dan menilai kredibilitas-nya.”
Pemerintah mengatakan lembaga-lembaga publik dan perusahaan yang dikelola swasta pun diizinkan untuk meminta seorang wanita untuk melepas niqabnya “agar dapat mengkonfirmasi identitasnya”, baik saat pemeriksaan di perbatasan maupun saat bepergian dengan transportasi umum.
Sebuah survei pemerintah melalui University of Copenhagen yang diterbitkan awal bulan ini menyatakan bahwa “penggunaan burka dan niqab memiliki konsekuensi besar bagi perempuan.”
Survei itu seolah-olah mendukung kebijakan pemerintah bahwa niqab “membatasi akses perempuan terhadap pendidikan dan pekerjaan, serta mengekang kebebasan mereka, mengisolasi perempuan dan membuat perempuan memiliki ketergantungan ekonomi pada laki-laki.”
Pemerintah merencanakan untuk membuat undang-undang yang ditujukan bagi siapa saja yang seorang perempuan untuk memakai niqab, dengan hukuman sampai empat tahun penjara.
Islam merupakan agama terbesar kedua di Denmark setelah Lutheran Injili, dan saat ini ada lebih dari 200.000 penduduk Muslim di negara Skandinavia ini, mewakili sekitar 3,5 persen dari total populasi Denmark yang mencapai 5,5 juta jiwa. (althaf/afp/dawn/arrahmah.com)