SWISS (Arrahmah.com) – Dokter-dokter Muslim Rohingya di Eropa telah menggambarkan situasi yang tengah terjadi di negara bagian Rakhine Myanmar sebagai “genosida” dan menyerukan masyarakat internasional untuk mengangkat suara melawan pelanggaran hak asasi manusia yang sedang berlangsung di sana.
“Sangat penting supaya sebuah komisi penyelidikan internasional dibentuk,” ungkap seorang juru bicara untuk Dewan Rohingya Eropa (ERC), Anita Schug, yang berbasis di Swiss kepada Anadolu Agency.
“Negara Myanmar melakukan segalanya untuk mengelak dan mencegah komisi tersebut dibentuk karena mereka takut kenyataan akan terkuak,” tambahnya.
Menurut Schug, komisi harus dibentuk untuk menghukum mereka yang bertanggung jawab.
Wakil presiden ERC yang berbasis di Jerman, Ambia Perveen, juga mengatakan kepada Anadolu Agency bahwa komisi investigasi diperlukan untuk memantau “genosida” terhadap Muslim Rohingya di Myanmar.
Dia menyalahkan masyarakat internasional yang bersikap “munafik”, lansir WB pada Kamis (23/3/2017).
Dukungan Turki
Perveen berterima kasih kepada Turki yang menjadi pendukung utama Muslim Rohingya dan mengatakan negara-negara Muslim lainnya harus meniru Ankara sebagai tauladan yang berperan dalam membantu korban di seluruh dunia.
Schug dan Perveen saat ini berada di Swiss menghadiri sesi ke-34 Dewan HAM PBB.
Bertugas di sebuah kamp pengungsi dekat dengan ibukota negara bagian Rakhine Sittwe, dengan berlinang air mata para dokter mengatakan dalam sidang PBB bahwa gadis-gadis muda dan perempuan Rohingya secara sistematis diperkosa di kamp-kamp.
Schug mengatakan sedikitnya 400 perempuan Muslim Rohingya telah diperkosa sejak 9 Oktober 2016, menambahkan para korban telah diisolasi dari keluarga dan belum menerima bantuan psikologis.
Dia juga mengatakan anak-anak telah meninggal karena kurangnya obat-obatan dasar.
“Ini begitu memalukan bagi masyarakat internasional, anak-anak meninggal akibat demam karena tidak ada parasetamol di kamp,” kata Schug.
Menurut Perveen, penyakit seperti hepatitis B, hepatitis C, kolera ditambah kekurangan gizi telah menyebabkan ratusan kematian setiap hari. Dia mengatakan kamp Sittwe tidak berbeda dengan kamp Perang Dunia II Nazi di Jerman.
Schug menambahkan bahwa kamp itu dikelilingi oleh pagar kawat, di mana sekitar 120.000 Muslim dipaksa untuk hidup terisolasi dari dunia tanpa dokter atau klinik.
Dia juga menyalahkan masyarakat internasional karena hanya fokus pada kekerasan yang sedang berlangsung dan tidak memberi perhatian yang cukup untuk masalah lain di wilayah ini.
Schug juga mengatakan pemerintah Myanmar dan Penasihat Negara Aung San Suu Kyi tidak pernah mengunjungi kamp-kamp.
Muslim Rohingya telah melarikan diri dari Rakhine – salah satu negara termiskin di Myanmar – berbondong-bondong selama puluhan tahun, dengan gelombang baru migrasi yang terjadi sejak pertengahan 2012 setelah kekerasan komunal pecah antara etnis Buddha dan minoritas Muslim – yang dijelaskan oleh PBB sebagai salah satu kelompok yang paling teraniaya di dunia.
Sementara pasukan keamanan setempat dilaporkan malah malakukan pemerkosaan, pembunuhan dan pemukulan serta membakar desa-desa di wilayah Maungdaw Rakhine Utara sejak Oktober. Laa hawla walaa quwwata illa billah. (banan/arrahmah.com)