(Arrahmah.com) –
Merah darahku/
Putih tulangku/
Bersatu dalam semangatku/
Gebyar-gebyar di langit jingga/
Bulan Agustus identik dengan perayaan kemerdekaan. Satu pertanyaan besar yang harus dijawab, dengan apa engkau merayakan kemerdekaan? Ya, sudah 71 tahun negeri ini merdeka dari kungkungan penjajah. Sayangnya, perayaan kemerdekaan sekadar euforia yang membuat terlena. Bagaimana tidak, dahulu pahlwan gagah berani menantang penjajah. Sekarang justru jiwa dan pemikiran rakyat ini dijajah. Kekayaannya dirampok tanpa sadar. Agamanya dijauhkan dengan pelan-pelan. Bahkan isi otak pun ingin dijarah habis-habisan agar menjadi amnesia dan lupa daratan.
Cukupkah perlombaan menjadi acara wajib untuk merayakan kemerdekaan? Begitu pula dengan gebyar seni yang terkadang melenakan dengan alunan musik melow dan dangdut koplo. Naasnya, pemuda dan warga yang merayakan agustusan, ada yang mabuk dan teler dalam pengaruh minuman beralkohol. Lantas, lupakah pesan pak guru dan bu guru di sekolah? Beliau pernah berujar untuk mengisi kemerdekaan lakukan kerja keras dan banyak belajar!
Duh Gusti, ternyata kami ini rakyat dan bangsa yang pelupa. Meski penjajah sudah kembali ke negeri asalanya, namun sifat dan peninggalan jeleknya masih diwarisi. Bisa jadi bangsa ini merupakan bangsa yang lupa sejarahnya. Padahal Bung Karno pernah berpesan JAS MERAH, Jangan sekali-kali melupakan sejarah.
Harus sadar
‘Sadarilah kawan! Saat ini rakyat dininabobokan agar tidak bangkit seperti macan. Kemaksiatan dan kejahatan yang berulang-ulang telah membutakan mata hati. Doa dan hidayah hanya di buah bibir yang sedikit sadar pada saat Ramadhan tiba. Jiwa-jiwa rakyat sejatinya kosong dari bentuk ketaatan dan kesadaran. Ya, memang 71 tahun sudah merdeka hanya sebagai tanda. Sejatinya kemerdekaan hakiki belumlah teraih. Buktinya penghambaan manusia masih kepada manusia, bukan kepada Allah SWT yang menciptakan manusia.
Coba pikirkakanlah! Ketika orang berpegang teguh pada Islam, manusia kebanyakan bilang kampungan dan hidup pada masa silam. Ketika pentas seni dan pembagian hadiah agustusan, justru biduan dengan pakain serba terbuka diundang. Merusak moral orang dewasa dan anak-anak yang ikut berdendang dan saweran. Di sekolah anak-anak diajak merenenungkan kemerdekaan dan mendoakan pahlawan. Sayangnya, dihancurkan dalam satu malam penuh kemaksiatan.
Sudah tahu, rakyat ini pemilik sah tanah, air, dan bumi seisinya, namun tak jua rakyat beroleh hasilnya. Justru diobral penguasa kepada asing dan aseng. Rakyat seolah mati dalam gudang harta karun. Rakyat yang sejatinya butuh tempat berteduh, pakaian untuk penutup tubuh, dan makanan sebagai kebutuhan, tak beroleh layak dari penguasa negerinya. Saat rakyat butuh sehat dan pintar, justru harga mahal dan bertarif untuk mendapatnya. Bagitu pun ketika hidup ingin aman, kejahatan dan kriminal kian tak mengenal siapa kawan dan siapa lawan.
Sedih dan menarik nafas, namun bukan berarti kita tidak bisa berbuat apa-apa. Bangkit dan sadar! Itu cara awal untuk menemukan cahaya perubahan. Justru ketidakmerdekaan manusia saat ini karena mereka lupa melihat kompas kehidupan. Bukankah Allah SWT telah menitahkan bahwa tugas manusia hanya beribadah dan menghamba kepada-Nya? Maka saatnya berjuang melawan kedzaliman sistem jahat Kapitalisme, Liberalisme, dan Demokrasi. Karena sistem itulah yang menjadikan manusia tidak merdeka dan diperbudak dunia. Ya Allah Ya Rabbi! Jadikan bangsa kami memiliki kesadaran untuk berdakwah bersama-sama, sehingga kami hidup dalam naungan Syariah. Alangkah indahnya, kawan!
Fajar M, Khilafah Community Lamongan
(*/arrahmah.com)