TRIPOLI (Arrahmah.com) – Para demonstran pada Senin (21/2/2011) mengambil alih sejumlah kota di Libya dan semakin banyak tokoh rezim Ghaddafi yang membelot, sejumlah laporan dan saksi mata mengatakan, dikutip AFP.
Kota-kota itu salah satunya adalah Benghazi yang terletak di timur Tripoli. Benghazi telah jatuh ke tangan demonstran yang menentang 41 tahun rezim Ghaddafi, kata Federasi Internasional Hak Asasi Manusia yang berbasis di Paris.
Meski nyawa mereka terancam dengan disebarkannya sejumlah besar penembak jitu oleh Ghaddafi di Tripoli, hal itu tidak menghentikan para demonstran yang juga menduduki kantor polisi serta kantor-kantor berita negara.
Putra Ghadaffi, Saif al-Islam, muncul di televisi untuk memperingatkan bahwa negara Afrika utara akan menghadapi perang sipil, beberapa waktu lalu.
“Libya tengah ada di persimpangan jalan. Jika kami tidak setuju hari ini terhadap reformasi.. maka sungai darah akan mengalir di Libya,” katanya dalam pidato yang disiarkan televisi.
“Kami akan mengangkat senjata. Kami akan berjuang sampai peluru terakhir. Kami akan menghancurkan siapapun yang melakukan penentangan. Jika semua orang sudah bersenjata, maka inilah perang sipil, kita akan saling membunuh. Libya bukan Mesir, bukan juga Tunisia.”
Amerika Serikat mengatakan pada hari Senin (21/2) bahwa pihaknya sedang menganalisis pidato Saif al-Islam. Sejumlah laporan menyatakan bahwa Presiden Barack Obama sedang “mempertimbangkan tindakan yang tepat” di Libya.
Kepala IFHR, Souhayr Belhassen, mengatakan pengunjuk rasa telah mengendalikan Benghazi, Sirte, Tobruk di timur, serta Misrata, Khoms, Tarhounah, Zenten, Al-Zawiya dan Zouara, lebih dekat ke ibukota Tripoli.
Saksi di Sirte membantah pemberitaan bahwa kotanya di bawah kendali demonstran, tetapi yang saksi lainnya di Al-Zawiya mengatakan kepada AFP bahwa polisi telah melarikan diri dari kota.
IFHR mengatakan bahwa selain tentara dan diplomat, para pejabat senior rezim juga membelot menjadi memihak pada demonstran, menuntut Ghadaffi pergi setelah lebih dari 41 tahun berkuasa.
Menteri keadilan Libya, Mustapha Abdeljalil, mengundurkan diri karena keberatan terhadap “penggunaan kekerasan yang berlebihan” terhadap demonstran, surat kabar Quryna melaporkan.
Di Kairo, utusan Liga Arab dari Libya mengatakan dia mengundurkan diri untuk “bergabung dengan revolusi.”
Duta besar Tripoli di Delhi juga berhenti, seperti yang dilakukan seorang diplomat tingkat rendah di Beijing yang mengatakan Ghadaffi mungkin telah meninggalkan Libya.
Ketidakstabilan kondisi politik di Libya ternyata berdampak pada kacaunya harga minyak. Harga minyak mentah Benchmark Brent North Sea untuk pengiriman bulan April telah melonjak hingga ê105.08 per barel, level tertinggi sejak akhir bulan September 2008.
Raksasa energi Inggris, British Petroleum, mengatakan pihaknya sedang mempersiapkan diri untuk mengevakuasi beberapa staf dari Libya, yang saat ini memegang cadangan minyak terbesar di Afrika.
Portugal mengatakan pihaknya mengirim pesawat militer untuk mengevakuasi warga Eropa. Bersamaan dengan itu, Washington dan Brussels mengutuk penggunaan kekuatan mematikan oleh rezim Ghadaffi.
Belhassen mengatakan protes telah mengakibatkan korban tewas hingga 400 jiwa. Sementara, Human Rights Watch sebelumnya melaporkan korban tewas adalah 233 orang. (althaf/arrahmah.com)