Oleh : Lilis Holisah,
Pendidik Generasi di HSG SD Khoiru Ummah Ma’had al-Abqary Serang
(Arrahmah.com) – Polemik seputar penghapusan pilkada langsung terus bergulir. RUU Pilkada yang digagas pemerintah menghendaki agar pemilihan kepala daerah dikembalikan hak pilihnya kepada DPRD, tidak lagi dipilih langsung oleh rakyat. Alasannya untuk penghematan anggaran pemilu dan meminimalisir kepala daerah menjadi pelaku korupsi.
Pengamat politik dari Sinergi Demokrasi untuk Masyarakat Demokrasi (Sigma) Said Salahuddin menilai, pengembalian hak pilih pada DPRD seharusnya ditolak DPR.
Dia mengatakan, soal penghematan anggaran dan meminimalisir kepala daerah menjadi pelaku korupsi merupakan alasan yang dipakai untuk mengembalikan hak memilih pada DPRD dalam RUU Pilkada. Said menilai, hal itu bukanlah urgensi.
Lebih lanjut Said mengatakan untuk meminimalisir biaya pemilukada, maka permasalahan ini bisa diatasi dengan memperbaiki aturan. Contoh, pemilukada dilaksanakan secara serentak agar pemprov bisa patungan dengan pemda kabupaten/kota dalam membiayai pemilukada. Jumlah TPS (tempat pemungutan suara) dikurangi dengan cara menetapkan jumlah DPT per TPS pada pemilukada sama dengan pileg atau pilpres. Sementara itu, terkait pemilihan langsung yang disebut-sebut melahirkan banyak pelaku korupsi, Said menilai hal tersebut bisa dicegah lewat KPK.
RUU ini menimbulkan pro dan kontra lantaran wacana penghapusan pilkada langsung yang tertuang dalam RUU itu. Dengan penghapusan pilkada langsung, maka kepala daerah dipilih oleh DPRD.
Demokrasi mahal
Persoalan pemilihan kepala daerah apakah dipilih langsung oleh rakyat atau dipilih DPRD sebenarnya tidak akan berbeda dalam sistem demokrasi. Sama-sama akan menghasilkan pemimpin yang korup dan tidak amanah.
Sesungguhnya sangat wajar kasus korupsi terus merebak di era kecanggihan teknologi sekarang yang di dalamnya diberlakukan aturan buatan manusia, yaitu sistem demokrasi.
Sebagaimana telah diketahui, partai politik dan politisi memerlukan dana sangat besar untuk modal dalam pemilihan umum. Tanpa modal besar, mustahil rasanya bisa ikut dalam pesta lima tahunan tersebut. modal tersebut dipakai untuk biaya kampanye, dan biaya-biaya yang lainnya.
Dalam sebuah pilkada calon gubernur dan wakilnya membutuhkan biaya pemilu sebesar 100 hingga 150 miliar rupiah. Sementara, gaji gubernur dalam setahun Rp. 1,2 miliar. Jika masa jabatan 5 tahun, maka gubernur mendapat penghasilan sekitar Rp. 6 milliar.
Bagaimana mereka menutupi biaya politik yang sangat mahal itu? Banyak cara yang dilakukan agar bisa mengembalikan modal politik mereka, diantaranya:
- Mengutip dari anggaran proyek yang jatuh kepada pemenang tender, biasanya pemenang tender adalah pengusaha rekanan atau perusahaan keluarga mereka.
- Dengan jual beli kebijakan diantaranya mengeluarkan perizinan atau konsensi dengan imbalan sejumlah uang dari penerima izin atau konsensi tersebut.
- Menggelembungkan anggaran belanja agar ada margin yang bisa disisihkan untuk mereka.
Untuk memuluskan permainan kotor ini, semua pihak yang terkait dilibatkan termasuk Dewan Perwakilan. Hingga kita mengenal istilah “Korupsi Berjamaah”.
Demokrasi hanya untuk korporasi
Sebagaimana telah disebutkan, bahwa partisipasi dalam demokrasi membutuhkan dana yang besar. Hal ini tentunya tidak bisa tertanggulangi bagi yang tidak dan kurang memiliki modal. Maka bantuan dari pengusaha dan korporasi/perusahaan adalah hal yang niscaya, agar dapat melaju menuju kekuasaan. Maka tak pelak, keberhasilan para politisi dalam pemilu akan berimbas pada kebijakan yang dikeluarkan sebagai konsekuensi logis karena telah dibantu modal menuju kursi kekuasaan.
Tak heran, bila dalam masa jabatan seorang penguasa tertentu, kebijakan-kebijakannya tidak memihak rakyat tetapi memenangkan kepentingan para pengusaha dan korporasi/perusahaan yang telah berani mengeluarkan modal besar untuk mensukseskan mereka menuju tampuk kekuasaan.
Penguasa yang dibantu kemenangannya dengan modal yang sangat besar oleh pengusaha pastinya akan membalas budi (Balas jasa) pada pengusaha tersebut. karena sejak awal pastinya bantuan para pengusaha tentu punya maksud tertentu. Paling tidak, agar terjamin keberlangsungan bisnisnya; bisa juga demi mendapatkan proyek dari pemerintah. Akibatnya, penguasa didikte oleh pengusaha. Walhasil, sistem demokrasi kemudian melahirkan Negara yang dikontrol oleh korporasi, yang ciri utamanya adalah: lebih melayani kepentingan pengusaha (bisnis) daripada rakyat.
Negara korporasi tak ubahnya perusahaan yang hanya memikirkan keuntungan. Rakyat pun hanya diposisikan layaknya konsumen dan negara sebagai penjual. Dalam negara korporasi, subsidi terhadap rakyat, yang sebenarnya merupakan hak rakyat, dianggap pemborosan. Aset-aset negara yang sejatinya milik rakyat pun dijual. Itulah negara korporasi, yang tidak bisa dilepaskan dari sistem pemerintahannya: demokrasi.
Negara korporasi telah merubah demokrasi menjadi Dari Korporasi, Oleh Korporasi dan Untuk Korporasi.
Islam : Satu-satunya Solusi
Indonesia sebagai negeri muslim terbesar di dunia semestinya tidak lagi mengandalkan sebuah sistem rusak dan merusak buatan manusia, seperti halnya demokrasi. Sebagai negeri muslim, Indonesia semestinya menyandarkan kehidupan berbangsa dan bernegara hanya kepada Pencipta saja. Menyerahkan kehidupan diatur hanya dengan aturan yang datang dari Pencipta yang mengetahui kelemahan, kekurangan dan keterbatasan manusia. Karena menyandarkan kepada demokrasi bukan hanya telah nyata kerusakannya, namun juga demokrasi bertentangan dengan Islam dalam segala hal hingga dalam masalah aqidah, karena demokrasi dibangun diatas asas atau aqidah sekulerisme yang bertentangan dengan aqidah Islam.
Aqidah demokrasi adalah sekulerisme, sebuah paham yang memisahkan agama dari negara, yang artinya memisahkan aturan Syariat Islam dari pengaturan urusan masyarakat. Kehidupan berbangsa dan bernegara dalam demokrasi harus steril dari aturan Pencipta. Manusia dijadikan ‘Tuhan’ mengalahkan Tuhan Pencipta alam semesta, manusia dan kehidupan yaitu Allah SWT.
Urusan masyarakat dalam sistem demokrasi diatur dengan hukum dan perundang-undangan yang dibuat oleh manusia dengan mengikuti kecenderungan hawa nafsu. Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
“Kemudian Kami jadikan engkau mengikuti syariat Allah. Karena itu ikutilah syariat Allah itu. Janganlah engkau mengikuti hawa nafsu orang-orang kafir yang tidak mau mengerti kebenaran Al-Quran.” (Tarjamah Tafsiriyah QS Al-Jatsiyah [45]: 18)
Maka, seharusnya sebagai Muslim, kita tak memerlukan demokrasi karena aturan Allah telah ada sejak dahulu kala yang telah Allah turunkan untuk mengatur kehidupan umat manusia seluruhnya, bukan hanya muslim. Dan kita tak perlu membela demokrasi yang rusak dan merusak, yang telah nyata pertentangannya dengan Islam. Maka seharusnya kita campakkan demokrasi, dan menggantinya dengan sebuah sistem terbaik yang datangnya dari Allah Subhanahu wa Ta’ala yaitu Khilafah Islamiyah.
Khilafah sebagai sebuah model pemerintahan terbaik semestinya kita kembalikan perannya dalam mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara. Khilafah sebagai sebuah institusi yang akan menerapkan aturan Islam di dalam dan di luar negeri akan melahirkan kesejahteraan, keselamatan, keamanan yang secara fitrah sangat dibutuhkan oleh umat manusia manapun.
Maka, tugas umat Islam adalah bersegera meruntuhkan bangunan sistem demokrasi dan menggantinya dengan sistem Khilafah. Insya Allah akan terwujud sosok pemimpin yang amanah dan bertakwa, yang memiliki rasa takut yang sangat besar kepada Penciptanya sehingga akan sangat berhati-hati dalam memimpin. Dia hanya akan memimpin sesuai dengan sistem yang Allah turunkan.
Wa Allahu ‘alam. (arrahmah.com)