(Arrahmah.com) – Perdebatan mengenai demokrasi di laman Facebook beberapa hari terakhir jelang Pilpres, 17 April 2019 ini, lumayan hangat. Pro kontra tak terhindarkan, sekalipun ini klasik. Karena sebagian mengaitkannya dengan aqidah, sedang yang lain memosisikannya hanya strategi. Tapi yang menarik, usulan pendalaman terkait diktum : “DEMOKRASI SECARA IDEOLOGI MUSYRIK, MENGGUNAKANNYA SEBAGAI ALAT MUBAH”.
Untuk memahami ideologi demokrasi supaya obyektif, haruslah dari pengertian yang dibuat oleh para pengusungnya, bukan menurut persepsi mereka yang menolaknya. Awalnya, demokrasi dimaksudkan untuk memilih pemimpin dengan melibatkan suara rakyat sebagai protes terhadap dominasi raja-raja. Maka muncullah pengertian demokrasi sebagai sistem pemerintahan yang dibuat dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Perkembangan berikutnya, muncullah istilah kedaulatan rakyat, dimana segala keputusan yang dilakukan pemerintah berdasarkan kehendak dan kepentingan rakyat.
Sampai disini, ideologi demokrasi dinilai musyrik. Seorang Ulama revolusioner dari Pakistan, Abul A’la Al Maududi, secara tegas menolak demokrasi dalam pengertian ini. Menurutnya, Islam tidak mengenal paham demokrasi yang memberikan kekuasaan besar pada rakyat untuk menetapkan segala hal.
“Demokrasi adalah buatan manusia sekaligus produk dari pertentangan barat terhadap agama sehingga cenderung sekuler,” kata Al Maududi. Karenanya, Al Maududi menganggap demokrasi barat merupakan sistem yang bersifat syirik sedangkan Islam menganut paham teokrasi, sistem pemerintahan negara yang berlandaskan hukum Allah SWT.
Namun dalam praktik ideologi demokrasi, terbukti tidak semuanya jelek. Contohnya, seperti dalam tulisan sebelumnya, wejangan Syeikh Yusuf Qardhawi. Sehingga, ada yang berpendapat, menggunakannya sebagai alat atau strategi perjuangan menegakkan syariat Islam di negeri negeri muslim, bersifat mubah. Intelektual dan sastrawan Pakistan, seniornya Abul A’la Al Maududi, Mohammad Iqbal mengatakan:
“Islam tidak menerima demokrasi secara mutlak dan juga tidak menolaknya secara mutlak. Dalam demokrasi, kekuasaan legislatif secara mutlak berada di tangan rakyat. Sementara dalam Islam kekuasaan tersebut merupakan wewenang Allah SWT. Dialah pemegang kekuasaan tertinggi. Wewenang manusia hanyalah menjabarkan dan merumuskan hukum sesuai dengan prinsip yang digariskan Allah serta berijtihad untuk sesuatu yang tidak diatur oleh ketentuan Allah.
Dalam pandangan Islam, kata Mohammad Iqbal, Allah lah pemegang otoritas tersebut. Lalu Iqbal mengutip firman Allah: “….Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. Al A’raf, 7:54).
Atas dasar itu, Iqbal menawarkan konsep demokrasi spiritual yang dilandasi etika dan moral Keilahian. Iqbal menolak praktik demokrasi ala barat. Lalu menawarkan Format demokrasi: Tauhid sebagai landasan asasi, kepatuhan pada hukum, toleransi sesama warga, tidak dibatasi wilayah, ras, dan warna kulit.
Maka di negeri-negeri muslim, praktik demokrasi berbeda-beda. Di Indonesia, zaman Orla disebut demokrasi terpimpin. Di zaman orba hingga sekarang disebut demokrasi Pancasila, yang berlandaskan Ketuhanan YME. Wallahu A’la bisshowab.
Begitulah, kita cukupkan debat demokrasi sampai disini, hari terakhir masa tenang pemilu 17 April 2019. Jangan lupa, pilih capres/cawapres rekomendasi ijtima’ulama. Semoga Indonesia berdaulat, adil dan makmur
Jogjakarta, 16/4/2019
IRFAN S. AWWAS
(*/Arrahmah.com)