MAKASSAR (Arrahmah.com) – Potensi gila para calon anggota legislatif (Caleg) di Pemilu 2014 terjadi dikarenakan sistem demokrasi di Indonesia mendorong calon legislatif (Caleg) menjadi gila.
Pakar Psikologi Politik UI, Hamdi Muluk mengatakan sistem yang gila pada akhirnya mendorong orang-orang tidak waras mengikuti arus yang telah diciptakan sistem tersebut. Ia memberikan contoh Caleg-Caleg yang meminta penerawangan ke dukun merupakan salah satu indikasinya.
“Sistem kita memberi peluang bagi orang untuk berperilaku tidak realistis. Disini sumber kegilaan itu sebenarnya.” Jelasnya dalam Halqoh Islam dan Peradaban (HIP) Sulsel seri 42, bertajuk Potensi Caleg Gila, Meneropong Fenomena Pemilu 2014, di Graha Pena Makassar, Sabtu (22/3/2014).
Sistem kompetitif keterbukaan ini, menurut Hamdi, membuat Caleg masuk dalam gelanggang tanpa ada saringan. Sehingga sistem yang gila pada akhirnya mendorong orang-orang tidak waras mengikuti arus yang di ciptakan sistem.
“Belum lagi fakta di lapangan, ada di antara para Caleg yang tuna nilai dan tuna moral yang menganggap masuk DPR sebagai bentuk mengisi lahan pekerjaan untuk 560 kursi lowongan pekerjaan yang dapat menghasilkan pundi-pundi duit,” paparnya.
Mahalnya biaya pesta demokrasi, diakui Ketua Panwaslu Kota Makassar Amir Ilyas sebagai penyebab potensi lahirnya Caleg gila, sebab menurutnya demokrasi membutuhkan biaya sangat besar hingga membuka peluang juga untuk potensi korupsi dan politik uang.
Faktanya total gaji untuk DPR selama 5 tahun berkisar 5,4 milyar, untuk DPRD sebesar 3,2 milyar, dan untuk DPRD kota sebesar 2,1 milyar. Survey membuktikan, untuk maju menjadi caleg membutuhkan dana 9 milyar rupiah. “Ini baru bicara sistem Caleg. Belum sistem birokrasi,” terang Amir.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Lajnah Siyasiyah DPP Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Yahya Abdurrahman menegaskan biaya politik dalam sistem demokrasi diseluruh dunia memang mahal. “Kampanye Presiden Barack Obama salah satu kempanye termahal dalam sejarah,” katanya.
Sistem ini membuat penyelenggara negara selalu ingkar janji dan parahnya rakyat juga berperilaku sama yakni pragmatis. “Rakyat cenderung dimanfaatkan untuk pemilu dan tidak sadar dipermainankan legislatif dengan mengatasnamakan kedaulatan rakyat,” imbuhnya.
Padahal, menurut Yahya elit-elit partai-lah yang sesungguhnya berdaulat. Kedaulatan rakyat lewat perwakilan menjadikan segelintir orang membuat kebijakan atas arahan masing-masing partai. “Anggota legislatif sebagai corong partai yang juga menjadi sumber pendanaan lewat iuran mereka rupanya tidak cukup membiayai mesin partai,” ungkapnya.
Belum lagi hubungan bisnis antara partai dan pengusaha dengan iming-iming saling menguntungkan. Berbagai kebijakan di buat untuk menguntungkan pihak pengusaha atau pun asing.
“Di Tahun 2010 ada 76 UU yang di golkan untuk asing. Pada akhirnya nasib rakyat di pertaruhkan kepada segelintir orang, pengusaha atau kepentingan asing,” kutip Yahya.
Akar kebobrokan
Akar kerusakan ini terjadi dikarenakan penerapan sistem demokrasi yang menjadikan hak legislasi yang Allah miliki digantikan oleh manusia yang lemah. “Kunci kebobrokan ini adalah hak legislasi yang di lakukan oleh manusia bukan Allah SWT,” terang Yahya.
Pengaruh buruk lainnya menurut Yahya adalah adanya politik balas budi simbiosis mutualisme dalam kepentingan politik. Konsitensi hukum pun menurutnya sangat mudah untuk dipermainkan. “Dan intinya biaya politik mahal ala demokrasi mengakibatkan rentan tindak korupsi dan penyelewengan,” ungkapnya.
Olehnya itu kata Yahya, penting bagi kita untuk tidak menutup diri pada gagasan. Karena dalam negara ini pun tidak ada gagasan yang final sebagaimana UUD 1945 Yang telah di amandemen empat kali.
“Kalau sekarang ini sistem yang buruk maka penggantinya hanya satu yakni islam, maka tidak boleh di adopsi setengah-setengah dan harus menjadikan sistem syariah sebagai standar hukum. Dalam Islam kedaulatan ada di tangan Allah dan kekuasaan ada di tangan rakyat. Penguasa di pilih untuk menjalankan hukum yang berdasarkan pada syariat islam.” pungkasnya. (azm/mediaummat.com/arrahmah.com)