(Arrahmah.com) – Membincangkan demokrasi menjelang pemilu selalu menarik. Tapi seusai pemilu, tema demokrasi kembali dilupakan. Daya tarik demokrasi terletak pada tawaran-tawaran yang diberikan kepada para “pemeluknya”. Dengan tawaran ini, demokrasi mampu mengambil hati para islamis sehingga mereka begitu setia membelanya. Demokrasi berubah menjadi semacam keyakinan yang harus diperjuangkan dengan segenap jiwa dan raga. Seorang muslim kemudian memiliki aqidah atau kesetiaan ganda; kepada Islam dan kepada Demokrasi.
Demokrasi memiliki wilayah kerja yang luas. Bukan semata ranah politik, tapi juga ekonomi, konsep berpikir, keyakinan, hukum, dan sosial kemasyarakatan. Oleh karenanya, Demokrasi cukup syarat untuk disebut agama, atau setidaknya ideologi. Banyak hal yang kontradiktif antara prinsip Demokrasi dengan prinsip Islam.
Seorang muslim tak bisa memiliki keyakinan dan pembelaan ganda; Islam sekaligus Demokrasi. Sebab kontadiksi yang terjadi bersifat tadhad (tidak bisa dikompromikan) seperti kontadiksi antara gerak dengan diam. Sesuatu hanya bisa disebut gerak atau diam. Tak mungkin disebut gerak diam.
Tapi bagaimana dengan memanfaatkannya tanpa meyakininya? Apalagi memanfaatkannya untuk kepentingan Islam dan umat Islam, bukan menjadikannya sebagai keyakinan dan ideologi. Bisakah?
Khilafah, antara ilusi dan fakta
Demokrasi menawarkan kekuasaan, uang, dan status sosial bagi para pemainnya. Sementara bagi kalangan rakyat, Demokrasi menawarkan kebebasan berpendapat, perlindungan terhadap HAM, kesetaraan gender, keadilan untuk semua, kemakmuran, kemajemukan dan seterusnya. Dan yang paling menarik bagi kalangan Islamis; pencangkokan syariat Islam dalam sistem Demokrasi. Bahkan konsep khilafah dianggap bisa diperjuangkan melalui wahana Demokrasi – setidaknya dilobykan atau ditawarkan kepada para penguasa sistem Demokrasi.
Dalam kalkulasi para pengusung term khilafah, jika kita mampu menyampaikan “tawaran” yang lebih menarik dibanding Demokrasi, para penguasa Demokrasi akan dengan sukarela membuang sistem yang telah menghantarkannya kepada kekuasaan tersebut dengan sistem baru; Khilafah. Semudah itukah pemeluk demokrasi membuang sesuatu yang dia terikat “hutang budi” kepadanya karena telah berjasa menghantarkannya kepada kekuasaan, memberinya kekayaan, pengaruh dan status sosial yang tinggi? Benarkah term khilafah bisa memberikan tawaran yang lebih menarik kepada para “hamba Demokrasi” tanpa mengaitkannya dengan konsep tauhid dan iman?
Sejujurnya, konsep khilafah tidak menarik bagi kalangan yang sudah begitu menghayati aqidah Demokrasi. Sebab khilafah mabda’nya adalah tauhid dan iman, bukan tawaran kemakmurannya, obat segala penyakitnya dan seterusnya yang semuanya bernuansa duniawi. Khilafah semestinya dibawa terlebih dahulu ke dalam ranah tauhid, iman dan aqidah, sebelum pada ranah khasiatnya. Dalam khilafah akan ada konsep kafir harbi dan kafir dzimmi. Konsep ini hanya bisa dipahami dan dihayati oleh mereka yang meleburkan dirinya sepenuh hati ke dalam konsep tauhid, iman dan aqidah Islam. Jika tidak, konsep ini hanya akan menjadi bahan olok-olokan.
Mereka akan bilang bahwa konsep kafir harbi dan kafir dzimmi adalah aqidah kaum fundamentalis, militan dan teroris. Konsep itu sudah usang tidak lagi relevan dengan dinamika jaman. Konsep itu tidak mewadahi kebhinekaan. Maka, jika disebut teroris saja masih takut, omong kosong menawarkan term khilafah ke sana kemari. Kecuali jika khilafah yang kita tawarkan adalah konsep yang terpasung, terkebiri dan tidak orisinil. Khilafah yang menegasikan konsep kafir dzimmi dan kafir harbi, jizyah, jihad ofensif, hukum rajam, hukum potong tangan dan seterusnya.
Bila belum apa-apa sudah menawarkan bahwa Khilafah justru membawa persatuan, menghargai kemajemukan, menghormati pemeluk agama lain, lebih menghargai HAM, menjamin kesetaraan gender, memerangi kemiskinan dan seterusnya, lalu kapan bisa menjelaskan konsep kafir dzimmi dan kafir harbi secara orisinil? Bukankah akan menghasilkan pertanyaan kritis yang tiada akhir? Sesuatu jika entrypoint-nya sudah salah, akan melahirkan mata rantai kesalahan dan tasahul (permisif) laksana bola salju yang menggelinding; makin jauh makin besar!
Partai Politik Islam; Solusi?
Pada sisi yang lain, aktifis Islam banyak yang terkesima dengan argumen yang sangat populer: kalau kita tidak mengisi ruang yang disediakan Demokrasi, akan diisi oleh pihak lain yang justru merugikan umat Islam. Berangkat dari dalil ini, lahirlah partai politik Islam yang mengusung misi mulia: mengisi ruang yang disediakan Demokrasi demi kemaslahatan umat Islam.
Argumen ini memiliki sekian persen kebenaran, tapi juga mengandung lebih banyak kesalahan. Argumen ini benar jika kalimat ‘kemaslahatan umat Islam’ itu hanya dibawa pada konteks duniawi. Tapi untuk konteks ukhrawi, hanya sedikit sekali kemaslahatan umat yang bisa diraih, itupun sejatinya tidak harus dengan partai politik Islam.
Namun bila ‘kemaslahatan umat Islam’ diukur dengan konteks ukhrawi (aqidah dan iman) umat Islam hanya mendapatkan pepesan kosong. Sebab maslahat iman terkait dengan konsep tauhid yang tak mungkin diselaraskan dengan Demokrasi. Misalnya keharusan berhukum dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah saja, kemaslahatan ini tak mungkin diraih dengan Demokrasi. Kemaslahatan yang bisa diraih hanya yang masih bisa matching dengan asas Demokrasi, seperti ekonomi Islam, busana muslim dan sejenisnya.
Sebagai contoh, sejumlah negara Timur Tengah diijinkan oleh Demokrasi untuk mencantumkan diktum dalam undang-undang dasar mereka bahwa Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah sumber utama konstitusi negara. Kalimat ini merupakan win-win solution antara Demokrasi dengan Islam. Kalimat sumber utama mengesankan penghargaan yang tinggi Demokrasi terhadap Islam, karena mayoritas penduduk beragama Islam. Ia mau ‘ngalah’ dengan memberi tempat utama kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sementara sumber-sumber hukum lain hanya bersifat numpang, asalkan tidak ditinggal sama sekali. Inilah puncak ‘baik hati’ Demokrasi terhadap Islam. Jika Islam meminta lebih dari itu, yaitu diktum yang bernuansa tauhid yang murni: Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah satu-satunya sumber hukum negara, Demokrasi akan menjelma menjadi koalisi internasional dengan bala tentara yang bersenjata lengkap untuk melumat Islam – jika mereka mampu. Demokrasi akan mempertahankan harga dirinya dengan segenap bala tentara, senjata dan dana!
Saya berimajinasi, seandainya partai politik Islam di Indonesia berhasil menggoalkan diktum Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah sumber utama hukum negara, pasti para aktivis partai Islam akan memamerkan prestasinya itu untuk mengatakan; lihatlah, kami berhasil membela Islam melalui partai politik. Tapi di sisi lain, saya berani bertaruh dengan sangat yakin, sampai seratus bahkan seribu tahun ke depan partai politik Islam di Indonesia tidak akan pernah berhasil menggoalkan diktum tersebut.
Keyakinan saya dilandasi tantangan berikut: Tolong tunjukkan kepada saya mana partai politik Islam di Indonesia yang memiliki agenda itu! Ada hadiah menggiurkan bagi yang berhasil menunjukkan bukti. Kalau terpikir atau teragendakan saja tidak, lalu atas alasan apa kita masih berharap kepada partai politik Islam? Padahal diktum itu masih belum tauhid, masih syirik, karena masih memberi ruang bagi hukum selain hukum Allah. Diktum yang seremeh itu tak terpikir, bagaimana dengan diktum tauhid?
Arena pertarungan yang disediakan oleh Demokrasi – yang dengan indah dinamakan Pesta Demokrasi – merupakan arena kekalahan buat Islam dan umat Islam. Tidak perlu banyak teori, umat Islam pasti kalah. Kekalahan yang dimaksud bukan kalah dalam meraup suara pemilih, tapi kalah dalam membela tauhid dan iman – sesuatu yang jauh lebih esensial dibanding sekedar suara.
Kembali ke Habitat
Sementara jika kita melongok ke dunia lain – nun jauh di sana, di Afghanistan, Iraq, dan Somalia sebagai contoh – sedang terjadi pertarungan yang dahsyat antara tauhid melawan syirik. Dan menariknya, sejauh ini mereka menapaki hasil-hasil yang pasti, meski dengan jalan yang tampak terjal.
Mereka – yang dengan indah bergelar mujahidin, atau musuh tahunya gelar teroris – sedang berjibaku memastikan tauhid menjadi pemenang tunggal di tanah negeri mereka masing-masing. Perjuangan mengusung tauhid, iman, dan syariat Islam tak bisa jauh dari habitat aslinya; jihad fi sabilillah. Atau dalam babak yang lebih awal, habitatnya adalah dakwah yang orisinil, yang menyampaikan al-haqq sesuai kadarnya, bukan dikurangi prosentasenya.
Penghayatan pertarungan ini penting, agar kita mampu menggenggam erat tauhid, dan memperjuangkannya dengan cara tauhid. Mustahil kita bisa memenangkan tauhid jika cara memperjuangkannya mengadopsi Demokrasi. Ini bermakna jalan yang tidak lurus, ada pembelokan tiba-tiba di tengah jalan. Bukan shiratal mustaqim, tapi jalan yang penuh lubang jebakan yang menganga lebar.
Kecuali jika kita sepakat untuk tidak menjadi idealis, alias pragmatis. Perjuangan yang ala kadarnya, yang penting tampak berjuang. Yang penting bisa memamerkan potret diri kita yang sedang mengepalkan tinju dengan teriakan lantang untuk membela Islam, tapi hanya indah dalam potret, bukan di alam nyata. Sesuatu yang lebih bersifat basa-basi. Padahal rokok Sampoerna A saja punya jargon: Bukan basa basi !
Soal hasil itu nomor kesekian. Soal menangnya tauhid itu nanti, entah kapan. Toh yang dituntut umat Islam adalah terbukanya lapangan pekerjaan, pendidikan murah, hilangnya korupsi, turunnya harga komoditas dan seterusnya. Mereka tidak menuntut tegaknya tauhid, buat apa kita meneriakkannya? Bukankah kita sekedar menampung aspirasi umat, rakyat dan konstituen? Inilah racun Demokrasi yang mematikan.
Walhasil, partai politik Islam hanya bekerja mencari ridha konstituen, bukan mencari ridha Allah. Bekerja terbiasa berdasarkan pesanan. Berkawan berdasarkan kalkulasi dunia. Itulah lubang jebakan Demokrasi yang ternyata lebih banyak dari yang kita duga.
Sementara mujahidin di Afghan, mereka dengan gagah perkasa melawan super power tunggal dunia. Mereka tidak banyak. Senjatanya juga ala kadarnya. Konstituen mereka adalah gua-gua, gunung-gunung, sungai, dan bebatuan. Tapi mereka kokoh laksana batu karang. Tampilannya sangat jantan, seperti singa yang siap menerkam. Menginspirasi perlawanan. Membangkitkan andrenalin.
Beban yang bernama tauhid sungguh berat. Hanya orang-orang yang ditempa dengan andrenalin yang sanggup mengusungnya. Hanya para lelaki pemberani yang bisa menjaganya.
Ketika kita menelusuri kenapa masih ada unsur umat Islam yang masih mempercayakan nasibnya kepada Demokrasi, jawabannya terpulang kepada kalimat; pragmatis. Sebab Demokrasi memang tak bisa dipungkiri bisa menghasilkan agenda-agenda keislaman tertentu. Tapi jika kacamata yang digunakan adalah kalimat idealis, jalan yang ditempuh menjadi terasa sia-sia dan fatamorgana. Sebab Demokrasi tak akan bisa melahirkan hasil-hasil yang idealis. Bukan alat yang tepat untuk menghasilkan tauhid, iman, apalagi jihad.
Dinamika Jihad Global
Perlawanan yang dilakukan mujahidin global banyak menginspirasi dunia Islam. Para pemuda bergairah membaca kisah-kisah kepahlawanan mereka. Suatu uswah hasanah yang bagus untuk membesarkan anak-anak kita.
Kini mereka telah memiliki kantong-kantong aman. Pusatnya di lembah-lembah tak bertuan di perbatasan Pakistan-Afghanistan. Kemudian di gurun Iraq, dan Somalia yang gersang. Ibukota tauhid ada di sana. Al-Qur’an dan As-Sunnah dijunjung tinggi di sana. Tak ada tangan-tangan kafir yang mampu menjamahnya. Bahkan mereka telah memproklamirkan khilafah dalam lingkup yang mereka kuasai. Tinggal menunggu dukungan para pengusung term khilafah di belahan dunia yang lain.
Mereka memproduksi mujahid yang siap diekspor ke seluruh dunia. Dan memang begitulah sunnatullah kemenangan Islam pada zaman Rasulullah saw. Bermula dari kantong yang kecil tapi tauhid merdeka di situ – Madinah. Kemudian menyebar dan menaklukkan wilayah sekelilingnya sedikit demi sedikit, yang pada zaman Umar bin Khattab sudah menjelma menjadi imperium raksasa yang kuat. Beginilah sunnatullah tegaknya khilafah. Bukan dengan menjual terminologinya, tapi menyimpan tauhidnya. Menawarkan kosa katanya, tapi mengabaikan jihadnya.
Ketika Amerika si penguasa dunia sudah di ambang kehancuran dikalahkan oleh mujahidin global, padahal dari sana Demokrasi dikendalikan, atas alasan apa kita sebagai umat Islam masih menggunakan Demokrasi? Masih butakah terhadap realitas dinamika jihad global yang demikian cepat berlari? Masih asyik bermain-main dengan Demokrasi, untuk apa?
Demokrasi hanya menawarkan fatamorgana. Permainannya bersifat la’ibun wa lahwun. Permainan anak-anak kecil yang sama sekali belum dewasa. Usia memang sudah tua, tapi tingkahnya tak berbeda dengan anak-anak yang rebutan mainan.
Tak lama lagi kita akan menyaksikan pria-pria dengan topi khas Afghan, dengan baju khas Afghan, lalu lalang di jalan-jalan kota Roma dengan menenteng senapan AK 47 yang legendaris itu. Mereka sedang berpatroli mengamankan kota setelah menaklukkannya. Ya, jangan salah baca; menaklukkannya. Ini adalah salah satu nubuwat akhir zaman, yang jalan ke arah sana sudah makin terbuka.
Hari gene, masih sibuk dengan Demokrasi? Fatamorgana !
Hari gene, masih sibuk menjajakan Khilafah tanpa menenteng AK 47 ? Omong kosong ! . (bilal/elhakimi.wordpress/arrahmah.com)