Oleh : Asy Syifa Ummu Sidiq
(Arrahmah.com) – “How Democracies Die” sebuah buku karya penulis Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt kini menjadi viral. Bukan karena penulisnya terkenal di negeri ini, tapi karena dibaca dan diposting oleh Pak Anies Baswedan. Sontak dunia maya menjadi gaduh. Pro dan kontra berdatangan dari berbagai pihak.
Viralnya postingan ini membuat beberapa tokoh mengeluarkan statementnya. Ada Mantan politisi Partai Gerindra, Ferdinand Hutahaean yang menanggapi postingan tersebut dengan membandingkan foto Anies dan Pak Presiden yang baca Komik si Juki di tweetnya. Dalam tweet tersebut Ferdinan menyatakan membaca komik lebih berkarya daripada membaca buku Demokrasi (sukabumi.pikiran-rakyat.com, 23/11/20) .
Ada juga Yunarto Wijaya, Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia yang mengkritik dari pada membaca buku lebih baik mengeruk sungai biar tak banjir. Yunarto pun mempertanyakan tujuan membaca buku itu, “Mau membuat demokrasi mati?”(pikiran-rakyat.com, 22/11/20).
Bahkan ia menambahkan bahwa isi buku itu sejalan dengan pilkada 2017 yang memenangkan Anies Baswedan. Di saat banyak orang mengkritik kemenangan orang nomor 1 DKI itu karena menumpang arus besar agama dan suku (detik.com, 23/11/20).
Wakil Ketua Fraksi PDIP DPRD DKI Ima Mahdiah menilai aksi Pak Gubernur DKI hanya memperbanyak gimik politik. Selain itu, ia menyarankan agar Anies lebih memperhatikan permasalahan DKI dari pada mengeluarkan gimik politik (news.detik.com, 22/11/20).
Namun, ada juga Pengamat politik dari Universitas Andalas Asrinaldi yang menilai bahwa aksi Gubernur DKI merupakan kode sindiran untuk penguasa saat ini. Buku ini menurutnya menyiratkan pesan bahwa demokrasi sekarang di tangan tokoh otoriter yang berubah menjadi kekuatan menakutkan dan alat untuk memperkuat kekuasaan. Asrinaldi menambahkan bahwa sindiran ini diutamakan untuk para oligarki. Karena kekuasaan negara dipegang oleh para oligarki (cnnindonesia.com, 22/11/20).
Begitulah manusia, mereka akan memberikan komentar sesuai dengan apa yang dipahami. Jika aksi itu dilakukan oleh orang yang tak sekubu, bisa jadi terus digoreng. Tapi jika dilakukan oleh orang yang sehaluan, akan didukung habis-habisan. Tidak ada maksud siapa dukung siapa, hanya berusaha menjadi pengamat yang objektif.
Isi Buku “How Democracies Die”
Berbicara tentang buku ini, banyak pihak yang telah menceritakan isinya. Di sini penulis hanya berusaha merangkum secara singkat. Buku itu menunjukkan tanda-tanda matinya demokrasi karena sifat pemimpinnya yang otoriter.
Menurut dua penulisnya, ada tanda-tanda yang perlu dikenali ketika demokrasi mulai mati. Dalam tulisannya ustadz Yudha Pedyanto seorang penulis buku “Buanglah Demokrasi Pada Tempatnya” meringkas ada 4 kunci indikator matinya demokrasi.
Pertama, penolakan (atau lemah komitmen) terhadap sendi-sendi demokrasi. Parameternya, “Apakah mereka suka mengubah-ubah UU? Apakah mereka melarang organisasi tertentu? Apakah mereka membatasi hak-hak politik warga negara?” Pertanyaan seperti ini tentu kita dapat menjawabnya. Setelah apa yang terjadi pada salah satu ormas yang dituduh radikal. Juga ormas yang sedang naik daun karena kepulangan pemimpinnya.
Kedua, penolakan terhadap legitimasi oposisi. Parameternya, “Apakah mereka menyematkan lawan politik mereka dengan sebutan-sebutan subversif? Mengancam asas dan ideologi negara? Apakah mereka mengkriminalisasi lawan-lawan politik mereka dengan berbagai tuduhan yang mengada-ada?”. Hal ini dapat dilihat bagaimana cara pemimpin menjatuhkan lawan politik. Mulai dari tuduhan anti pancasila, membuat makar, hingga kriminalisasi ulama.
Ketiga, toleransi atau mendorong aksi kekerasan. Parameternya, “Apakah mereka memiliki hubungan dengan semacam organisasi paramiliter yang cenderung menggunakan kekerasan dan main hakim sendiri? Tentu kita akan diingatkan dengan kelompok yang suka main hakim sendiri. Mereka menganggap sebagai pelindung NKRI, tapi suka menambah keonaran dan mengadu domba kelompok lainnya.
Keempat, kesiagaan untuk membungkam kebebasan sipil. Parameternya, “Apakah mereka mendukung (atau membuat) UU yang membatasi kebebasan sipil, terutama hak-hak politik dan menyampaikan pendapat? Apakah mereka melarang tema-tema tertentu?”. Pada pertanyaan ini kita diingatkan dengan UU ITE, UU Ormas, RUU HIP, serta kebijakan yang melarang pembahasan dan penyebaran khilafah adalah ajaran Islam.
Demokrasi Memiliki Cacat Bawaan
Ibarat sebuah rumah, demokrasi juga memiliki dasar. Jika rumah memiliki pondasi sebagai dasarnya. Maka demokrasi memiliki konsep pemikiran sebagai pondasinya. Kuatnya pondasi akan menentukan seberapa gagah bangunan yang ada di atasnya. Jika pondasi itu rapuh, maka tak ada jaminan bangunan sebaik apapun dapat bertahan lama.
Konsep pemikiran demokrasi terletak pada dua hal. Pertama, kekuasaan ada di tangan rakyat. Artinya, rakyat memiliki hak untuk memilih pemimpinnya (wakilnya). Rakyat yang mewakilkan segala urusannya pada pemimpin tadi agar dipenuhi. Tidak ada kejanggalan dalam aspek ini. Islam pun juga memiliki konsep perwakilan seperti ini.
Namun, konsep yang kedua sangat bertentangan dengan Islam. Kedaulatan ada di tangan rakyat. Artinya, yang berhak membuat aturan adalah wakil yang dipilih rakyat. Mereka (wakil rakyat) adalah manusia. Inilah yang menyebabkan masalah utama dalam demokrasi.
Urusan membuat kebijakan diserahkan pada sekumpulan manusia. Dimana setiap manusia memiliki kepentingan masing-masing. Dengan mengandalkan akal sendiri-sendiri mereka berusaha menilai baik dan buruk. Padahal penilaian setiap orang terhadap sesuatu itu berbeda. Jika setiap orang menginginkan kepentingannya tercapai, tak bisa dipungkiri yang terjadi adalah perselisihan.
Selain itu, akal juga memiliki keterbatasan. Akal hanya mampu memahami hal-hal yang dapat ditangkap saja. Tanpa ada tuntunan wahyu, akal akan berjalan semau sendiri. Sehingga jika aturan kita sandarkan pada akal saja, justru akan banyak terjadi ketimpangan. Masalah ini akan berujung pada masalah baru yang lebih rumit.
Kesalahan demokrasi terletak pada konsep pemikiran keduanya. Jadi tidak mengherankan jika akhirnya para penganut demokrasi memperjuangkan kepentingannya. Walaupun mereka adalah orang yang otoriter atau dari kalangan oligarki. Pada akhirnya, antara kepentingan satu dengan yang lain akan berbenturan. Bisa saja terjadi polarisasi. Sehingga demokrasi mati dari dalam.
Kembalinya Sistem Khilafah
Jika demokrasi mati, lantas adakah sistem pemerintahan lain yang dapat menggantikannya? Sebagai orang yang beriman tentu tak boleh sekadar berpangku tangan. Karena Allah sendiri berfirman, “… Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri… “. (Q. S. Ar Ra’d : 11)
Tak perlu mencari pengganti demokrasi ke tempat lain. Cukup dengan mencari sistem pemerintahan Islam, pengganti demokrasi dapat ditemukan. Dalam sebuah hadits Rasulullah bersabda,
“Akan datang kepada kalian masa kenabian, dan atas kehendak Allah masa itu akan datang. Kemudian, Allah akan menghapusnya, jika Ia berkehendak menghapusnya. Setelah itu, akan datang masa kekhilafahan ‘ala Minhaaj al-Nubuwwah; dan atas kehendak Allah masa itu akan datang. Lalu, Allah menghapusnya jika Ia berkehendak menghapusnya. Setelah itu, akan datang kepada kalian, masa raja menggigit (raja yang dzalim), dan atas kehendak Allah masa itu akan datang. Lalu, Allah menghapusnya, jika Ia berkehendak menghapusnya. Setelah itu, akan datang masa raja diktator (pemaksa); dan atas kehendak Allah masa itu akan datang; lalu Allah akan menghapusnya jika berkehendak menghapusnya. Kemudian, datanglah masa Khilafah ‘ala Minhaaj al-Nubuwwah (Khilafah yang berjalan di atas kenabian). Setelah itu, Beliau diam,”. (HR. Imam Ahmad)
Dalam hadits tersebut dijelaskan setelah masa kediktatoran atau otoriter akan muncul kepemimpinan Islam sebagaimana masa kenabian dahulu. Mungkinkah yang dimaksud masa diktator itu adalah ketika sistem demokrasi dipimpin oleh para otoriter?
Jika memang benar prediksi Steven dan Daniel, maka janji Allah dalam hadits di atas pasti akan terjadi. Semua tinggal menunggu waktu, demokrasi lebih dahulu mati sebagaimana kata kedua penulis itu atau khilafah akan lebih dulu kembali seperti janji Allah. Pertanyaannya, mau percaya yang mana? Ramalan atau menunggu kenyataan?
Wallahu ‘alam bishowab.
(ameera/arrahmah.com)