(Otokritik; Perlu Strategi Dinamis Bagi Gerakan Islamis)
Oleh : Abu Zahro
(Salah satu Aktivis Gerakan Islam di Indonesia)
(Arrahmah.com) – Di negeri-negeri Islam, khususnya Indonesia; dinamika dakwah menggeliat seiring dengan gagalnya sistem Demokrasi yang dipropagandakan Penjajah (Amerika Serikat dan sekutunya) yang diemban dengan setia oleh antek-anteknya (umala’ al kufar). Di sisi lain, untuk sementara waktu dalam ruang demokrasi membuat gerakan dakwah menggeliat tanpa bisa dikendalikan oleh status quo.
Bagi pengemban dakwah, “dakwah” selain dipahami sebagai kewajiban yang harus berakar dari akidah yang kokoh, sekaligus menjadi “jalan” sebagai jawaban atas gagalnya metode perubahan sosial politik atas episode panggung kehidupan sosial ekonomi politik yang rapuh dan bobrok.
Para pengamat, politisi, negarawan, birokrat, praktisi (hukum, ekonomi, politik dll), elit politik, elit penguasa, elit pengusaha dan semua pilar masyarakat seolah kehilangan daya nalar kritis untuk memberikan jawaban dari mana mengurai “benang kusut” kerusakan sistemik-multidimensi yang membelenggu mayoritas masyarakat.
Penguasa versi trias politica (Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif) yang memiliki kewenangan pengambilan keputusan gelap mata membaca akar persoalan (sebab), sebaliknya fokus pada cabang-cabang persoalan (akibat). Persoalan sistemik dianggap dan didramatisir sebagai persoalan kasuistis. Pendekatan solusi persoalan sistemik diganti dengan pendekatan sektoral yang tidak menyentuh akar persoalan. Pragmatisme menetapkan pendekatan sektoral dianggap realistis, sebaliknya pendekatan sistemik dianggap utopis.
Islam produk Tuhan Yang Menciptakan manusia – sebagai sebuah sistem kehidupan yang sempurna, terkandung didalamnya value syariah, jihad dan Daulah/khilafah- tidak diyakini. Sebaliknya demokrasi produk akal manusia yang berakar dari akidah sekulerisme bagi mayoritas masyarakat menjadi bagian keyakinan yang harus diamalkan. Islam yang menaungi kehidupan dengan segala pluralitasnya; baik muslim & non muslim dan terbukti mampu mewujudkan peradaban agung manusia selama berabad-abad lamanya dibuat “ahistoris” (baca = tidak dipahami akar sejarah).
Para pejuang dan pembela demokrasi termasuk dari kalangan yang mengaku dan mengidentifikasi dirinya sebagai Islam Liberal (tepatnya JOL: jaringan orang liberal) membuat tafsiran baru atas histori (jejak rekam) penerapan syariah dalam bingkai khilafah demikian anggun dimanipulasi menjadi potret yang seram seperti halnya kaum oreantalis Barat memotret secara subyektif atas dasar kebencian terhadap Islam.
Parahnya, profiling Islam versi golongan orang Liberal (JOL) justru diaminkan bahkan dilegitimasi oleh para penguasa. Kebijakan termanifestasi secara faktual disektor politik, ideologis, ekonomi, hukum, keamanan dan budaya yang bermuara pada posisi subordinat dan terjerembab dalam kubangan hegemoni penjajah Kafir Harbi Fi’lan (AS, Cs).
Lantas bagaimana gerakan-gerakan Islam di Indonesia mampu menjadikan dakwah sebagai jalan perubahan dan melahirkan pelita harapan; keluar dari sistem thogut produk akal manusia dan mampu melanjutkan kehidupan Islam sebagaimana yang dicontohkan pada fase Rasullullah SAW dan Khulafaurrasidin?
Negeri Islam adalah Medan Perjuangan
Secara fisik, dilihat dari sudut relasi dan posisi negeri kaum muslim dalam tata unipolar (Barat jadi patron) maka bisa dipilah menjadi 2 bagian. Bagian pertama, negeri-negeri muslim yang diinvasi secara militer oleh Kafir Muharibban Fi’lan bersama penguasa negeri muslim yang menjadi antek-anteknya seperti di Irak, Afghanistan, Libia, Chechnya, Palestina, Suriah, Somalia, dan beberapa negara yang lain.
Bagian kedua, negeri-negeri muslim yang tidak diinvasi secara militer tetapi dijajah secara politik, ekonomi, sosial budaya seperti Mesir, Tunisia, dan kebanyakan negeri-negeri muslim lainnya termasuk Indonesia. Pembagian ini dimaksud untuk melihat secara kasat mata bentuk penjajahan yang dominan dan menonjol di berbagai negeri muslim meski sebenarnya penjajahan yang dilakukan oleh Kafir Muharriban Fi’lan dengan menggunakan berbagai metode/cara yang kombinatif.
Strategi invasi militer tidak berdiri sendiri tetapi dilakukan dengan intervensi politik, begitu juga sebaliknya beberapa negeri muslim yang tidak mengalami invasi militer tetap disiapkan armada militer lengkap dengan seluruh perbekalan militer yang diperlukan untuk mengamankan kepentingan geo-ekonomi politik Kafir Muharriban Fi’lan. Hampir tidak ada titik strategis satupun yang tidak terback-up oleh kekuatan militer/pangkalan militer sebagai pengendali utama sebuah kawasan militer.
Kondisi yang terjadi di berbagai negeri muslim yang tercluster menjadi dua bagian itu menimbulkan gaung balik dalam wujud perlawanan komunitas dari berbagai kelompok Islamis. Dan ada dua bagian agenda perjuangan kolektif yang menonjol.
Pertama, di negeri muslim yang diinvasi secara militer, agenda perjuangan kolektifnya yang sangat menonjol adalah Jihad (al qital). Jihad sebagai doktrin kewajiban paling agung yang diperintahkan oleh Allah SWT melebihi kewajiban yang lain banyak dijelaskan baik di dalam Al Qur’an dan Al Hadits menjadi jawaban penyelesaian atas persoalan negeri-negeri muslim yang diinvasi militer. “Jihad Sabiluna” Jihad Jalan Kami adalah semboyan yang terpancar dari akidah Islamiyah, berangkat dari pemahaman atas realitas empirik (tahqiq al waaqi’).
Menjadi sebuah jawaban yang minus ikhtilaf (silang pendapat) di negeri yang menjadi medan jihad (karena terjajah secara fisik). Secara rasional, dapat dipahami bagaimana mungkin bisa menerapkan syariah Islam kaffah tanpa membebaskan dan mengusir para penjajah yang melakukan invasi militer dengan Jihad dari negeri-negeri muslim.
Fenomena aktual yang harus kita akui, masih adanya sebagian para Mujahidin yang mukhlis tetapi lemah kesadaran politiknya. Namun mereka sudah membentang “sajadah” bagaimana sunnahnya berjuang di medan jihad. Hematnya kondisi seperti ini tinggal melengkapi bagaimana para mujahidin yang mukhlish sekaligus menjadi sosok negarawan yang memahami betul bagaimana kontruksi penerapan syariah Islam secara kaffah dalam bingkai sistem Islam (Khilafah Islamiyah) pasca kemenangan di front jihad.
Maka idealnya sosok para pejuang Islam di daerah medan jihad ini adalah mujahidin yang negarawan (siyasiyun) atau sosok negarawan yang mujahid. Syariah, Khilafah dan Jihad adalah satu paket ajaran Islam integral yang agung tidak bisa dipisahkan satu sama lain.
Apabila alergi (apapun alasannya) kepada satu atau sebagian ajaran tersebut begitu juga alergi atas entitas pengusungnya, akan menentukan kwalitas dan integritas seorang muslim. Begitulah keyakinan yang tertanam dalam kelompok Islamis yang menjadikan Jihad sebagai “Sabiluna”. Seperti semboyan menyatunya antara keinginan tegaknnya syariah dalam bingkai khilafah di satu sisi dan menggeloranya semangat Jihad sebagai metode utama perjuangan dan perlawanan terhadap penguasa dzalim dan thogut di Siria/Suriah/As Syam.
Dalam sebuah yel-yel lamat-lamat makin terdengar nyaring; “As Syam Turid Khilafah Islamiyah“, dan “As Syam turid Jihad Fi Sabillillah“.
Kedua, agenda perjuangan kolektif yang menonjol di negeri muslim yang bukan “medan jihad” adalah pergolakan dan pertarungan pemikiran serta politik. Meski status sebuah daerah/negeri terkategori medan jihad atau bukan masih dalam ruang lingkup “ijtihadiah”. Tetapi dikalangan Islamis minim perdebatan bahwa seluruh negeri kaum muslim saat ini termasuk Indonesia adalah “Darul Kufr”.
Agenda perjuangan kolektif yang ini dibagi menjadi dua pula yakni yang menjadikan demokrasi (intra parlemen) sebagai instrumen perjuangan untuk menggapai perubahan. Dan yang tidak menggunakan demokrasi sebagai instrumen perjuangan “ekstra parlemen”. Tetapi pointnya keduanya sepakat untuk tidak menggunakan jalan Jihad (al qital) sebagai metode baku (manhaj) perjuangan.
Jihad menjadi ungkapan yang diambil spiritnya saja, dan bertabur pemaknaan etimologisnya (lughowiyah) bahkan terkadang makna hakiki (hakikat syara’nya) menjadi tereduksi bahkan menjadi jargon kosong. Sesekali menyerukan “jihad” tapi sembari “melipat tangan”, bahkan terkadang konyol membangun asumsi gegabah bahwa seruan dan pelaksanaan Jihad menunggu Daulah Islam/Khilafah Islam berdiri. Padahal syariat Jihad demikian rinci dijelaskan, dari prinsip berdirinya sampai kepada persoalan teknis tata cara operasionalnya.
Dalam pandangan kelompok yang kedua non parlementer, negeri yang tidak diinvasi berlaku medan perjuangan politik dan pemikiran. Sehingga konteks perjuangan Islam di medan yang tidak diinvasi adalah “Ghozwul Fikri” (Perang Pemikiran), “Kifahus Siyasiy” (Pertarungan Politik) sampai kepada agenda dan aksi “Tholabun Nushroh” (Mencari pertolongan dari pihak Ahlul Quwwah).
Sekalipun ada juga kelompok Islam yang meyakini bahwa metode perang pemikiran dan siyasiy merupakan amal jama’iy (kolektif sebuah kelompok tertentu) yang menjadi metode (manhaj/thoriqoh) tetap di berbagai negeri muslim, baik yang menjadi medan jihad maupun bukan. Kelompok Islam ini memahami berdasarkan atas sebuah pengkajian mendalam baik fakta persoalan umat maupun fakta dalil, bagaimana seharusnya sebuah metode perjuangan dilaksanakan dengan mencontoh dakwah Rasullullah SAW.
Kelompok Islam ini meyakini bahwa konstruksi masyarakat di Madinah yang dipraktekkan oleh Rasullullah SAW dibangun melalui desain pertarungan pemikiran dan politik. Institusi yang dibangun dan dicontohkan oleh Rasullullah SAW adalah institusi negara/pemerintahan/politik yang hanya bisa diwujudkan melalui aktifitas pemikiran (fikriyyah) dan politik (siyasiyyah).
Sekalipun berbeda dengan yang menjadikan demokrasi sebagai instrumen perjuangan, kelompok Islamis yang ekstra parlemen juga konsen mengkritisi terhadap kebijakan-kebijakan penguasa semisal dalam bentuk perundang-undangan yang merugikan umat. Upaya itu menjadi pintu masuk interaksi dengan penguasa untuk menterjamahkan doktrin “muhasabah lil hukam” (koreksi pada penguasa).
Aktifitas muhasabah lil hukam adalah bagian dari aktifitas politik untuk mengingatkan para penguasa agar mau menerapkan syariah Islam secara kaffah. Kelompok Islam atau partai Islam yang menggunakan demokrasi sebagai instrumen perjuangan tidak dikupas lebih jauh karena konteks perjuangannya sama dengan perjuangan parpol pada umumnya dalam bingkai demokrasi.
Lalu pertanyaannya adalah bagaimana strategi perjuangan kelompok Islamis harus dirumuskan dan diperjuangkan. Fenomena politik global, regional dan domestic sangat dinamis tentu ini membutuhkan respon strategi (uslub) yang dinamis pula untuk mampu mengambil momentum demi perubahan tanpa meninggalkan metode yang fiks (stawabit/manhaj/thoriqoh).
Kebutuhan atas kreatifitas Uslub Perjuangan Politik dan Pemikiran
Dinamika perjuangan kaum revivalis (Islamis) cukup beragam, hal tersebut seyogjanya semakin mengokohkan silah ukhuwah di antara berbagai komunitas gerakan. Menjaga visi besar, silah ukuwah untuk merealisasikan kemurnian perjuangan melanjutkan kehidupan Islam dengan menerapkan Islam secara kaffah baik di negeri muslim sebagai “medan jihad” maupun negeri muslim sebagai “medan perang pemikiran dan politik”.
Salah satunya membangun pandangan yang sama tentang uslub perjuangan dalam rangka mengganti rezim dan sistem kufur dengan rezim dan sistem Islam. Dalam konteks Indonesia, maka berbagai kelompok Islamis yang bergerak di atas manhaj/thoriqoh (method) perjuangan dakwah masing-masing harus berada dalam konstelasi kesamaan pemahaman atas :
- Fakta rezim dan sistem kufur yang berlaku
- Fakta rezim dan sistem Islam pengganti dan
- Fakta kebutuhan akan strategi dinamis (uslub) perubahan atas point 1 dengan point 2 bisa.
Fokus pada point 3, kebutuhan krusial perlunya rekonstruksi strategi (uslub) perjuangan politik dan pemikiran yang lebih masif untuk mempressure rezim dan sistem kufur yang berlaku sekarang agar lebih cepat dan dekat keruntuhannya. Dan melakukan upaya segera mengganti dengan rezim dan sistem Islam.
Rekonstruksi itu haruslah linear dengan orientasi target penguatan opini (pertarungan pemikiran) dan pembesaran entitas gerakan. Setiap langkah penguatan opini haruslah berbasis pembesaran entitas gerakan begitu sebaliknya pembesaran tubuh entitas gerakan haruslah berbasis penguatan opini.
Pembesaran tubuh terwujud manakala muncul banyak “true believer” (pengemban militan) yang didukung oleh kesadaran umum meluas di hampir seluruh lapisan masyarakat. Yakni sebuah kesadaran umum tentang penting dan wajibnya syariah Islam diterapkan secara kaffah, sebagai jawaban atas gagalnya sistem kufur demokrasi.
Konstruksi pergolakan pemikiran dan politik untuk memenuhi target penguatan opini dan pembesaran tubuh bagi sebuah jamaah dakwah atau kelompok Islamis tidak bisa ditempuh hanya dengan moment gebyar seperti “kampanye parpol” dalam sistem demokrasi. Dimana “kampanye parpol” dalam bingkai demokrasi itu hanya berisi kerumunan massa yang tidak jelas ikatan ideologisnya.
Bukan juga sekedar menghimpun segudang pernyataan sikap politik atau komitmen politik -an sich- tetapi tidak menyentuh dan menggoyang eksistensi sistem dan rezim kufur.
Bukan juga, sibuk mengorganizer sebuah panggung atau pentas konsolidasi massa dengan biaya mahal atas nama pembesaran opini, tetapi abai dan tidak maksimal diranah pergolakan pemikiran dan pergolakan politik sebenarnya. Yakni sebagai entitas besar “pressure group” atas rezim dan sistem kufur dengan segala kebobrokannya.
Konstruksi uslub perjuangan secara dinamis harusnya menjadi penguatan aktualisasi manhaj/thoriqoh dakwah yang bertujuan memutus tali kepercayaan masyarakat atas sistem dan rezim kufur yang berkuasa saat ini. Bukan terkesima oleh buaian apreasi oleh penguasa sebagai sebuah entitas yang “cinta damai” alias –no violent– (tidak menggunakan jalan kekerasan).
Sibuk membuat panggung (event) tetapi sepi menanamkan militansi para pengembannya untuk menghantam sistem dan rezim kufur dengan segala produk kebijakan yang rusak. Terjebak dalam skenario kanalisasi pergolakan pemikiran dan politik “zona aman” yang tidak pernah mengancam eksistensi rezim dan sistem kufur karena hanya sebatas himbauan politik bukan tekanan politik yang diperhitungkan.
Masuk dalam kubangan seperti strategi kolonialisme Belanda ketika menjajah kepulauan Jawa Indonesia –huruf Jawa jika dipangku mati- artinya kultur psikologis Jawa “ketika dipuji” pasti menimbulkan tumpulnya atau bahkan matinya kreatifitas perlawanan terhadap penjajahan.
Pada akhirnya diperlukan upaya introspeksi diri sebuah jamaah atau kelompok Islamis (dalam kontek negeri seperti Indonesia yang tidak dijajah secara fisik oleh kafir harbi fi’lan) untuk merekonstruksi uslub perjuangan berbeda sama sekali dengan tipologi perjuangan ormas dan orpol dalam bingkai demokrasi dengan membersihkan diri para pengembannya dari perangkat-perangkat kufur sistem demokrasi dengan segala turunannya dan memformulasikan uslub perjuangan yang lebih fokus pada membesarkan tubuh gerakan berbasis penguatan opini; beranggotakan para pengemban yang berakidah kuat, militan dan siap menanggung resiko apapun dalam belantara perjuangan merobohkan sistem dan rezim kufur demokrasi.
Semoga Allah SWT segera memberikan Nashrulloh dengan tumbangnya rezim dan sistem kufur demokrasi dan tegaknnya syariah Islam secara kaffah dalam bingkai khilafah ala minhajin nubuwwah. Dan semoga catatan ringan ini menjadi pemantik para “petinggi” gerakan Islam untuk tidak lelah terus berpikir yang cemerlang agar mampu membawa gerakan dimedan pertarungan yang sesungguhnya dan niat meruntuhkan sistem thogut itu 100%, bukan menjadi gerakan Islam yang “setengah hati” senang bermain di zona “abu-abu” dan pandai kamuflase (retorika) sekalipun berbungkus dalil/dalih dan alasan-alasan rasional sekalipun.
Wallahu a’lam bis showab.
(Dari Bumi Musibah dan Pergolakan/Abu Zahro)