LONDON (Arrahmah.com) – Inggris mengulangi seruannya pada hari Rabu (27/1) untuk menetapkan Yerusalem sebagai ibu kota bagi kedua negara, baik Israel maupun Palestina. Hal itu dilakukan, menurut Inggris, sebagai pilar utama dalam solusi dua negara.
“Yerusalem harus dibagi sebagai modal bagi kedua belah pihak,” kata Duta Besar Inggris untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa, Lyall Grant, kepada Dewan Keamanan PBB selama debat terbuka mengenai Timur Tengah.
“Kesepakatan semacam itu adalah satu-satunya cara untuk memenuhi aspirasi nasional kedua negara.”
Dalam pertemuan bulanan, Dewan yang terdiri dari 15 negara mendesak kedua pihak untuk kembali ke meja perundingan setelah perundingan terhenti selama beberapa bulan.
“Baik Israel dan Palestina harus melipatgandakan upaya mereka dan menghindari sikap keras kepala dan juga tindakan provokatif lainnya,” kata Lyall.
“Kami ingin melihat penderitaan di kedua belah pihak berakhir,” dalihnya.
Pembagian Yerusalem ini diusulkan oleh mantan Perdana Menteri Israel Ehud Olmert.
Palestina telah menolak untuk melanjutkan perundingan sampai Israel membekukan semua pembangunan pemukiman, termasuk di bagian timur Yerusalem.
Pembekuan parsial Israel selama 10 bulan telah diterapkan untuk Tepi Barat, di mana 120 pemukiman telah ada sejak tahun 1967 namun tidak diberlakukan bagi Yerusalem di mana konstruksi terus-menerus dilakukan.
Lyall mengatakan dia “sangat prihatin” dengan pengumuman Israel untuk mengembangkan Yerusalem melalui permukiman, yang menurutnya ilegal dan menjadi penghalang bagi perdamaian.
Lyall pun menyerukan Palestina untuk terus mengembangkan lembaga-lembaga yang akan memperkuat posisi negara tersebut dan mendesak Hamas untuk bergabung dengan otoritas Palestina yang sah.
Sementara itu, rekonstruksi di Gaza berjalan sangat lambat. Hal ini terjadi karena Israel membatasi impor bahan bangunan dengan ketat. Lyall mengatakan bahwa larangan itu justru semakihn memperkuat beberapa kalangan di Palestina untuk memanfaatkan perdagangan ilegal melalui terowongan, menimbulkan kemarahan dan mendorong radikalisasi warga Gaza.
Pada Januari 2009 lalu, Israel menyerang Jalur Gaza dengan dalih mengakhiri peluncuran roket yang berasal dari Hamas Palestina, dan menyebabkan kerusakan infrastruktur bernilai jutaan dolar, termasuk properti milik Perserikatan Bangsa-Bangsa. (althaf/xnh/arrahmah.com)