RIYADH (Arrahmah.com) – Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman (MBS) mengklaim bahwa Arab Saudi akan terus melawan ekstremisme, dalam wawancara televisi pada Selasa (27/4/2021) malam waktu setempat.
MBS mengatakan bahwa Arab Saudi adalah target utama proyek ekstremis dan ekstremisme dalam segala hal tidak dibolehkan.
“Hari ini kita tidak dapat tumbuh dan tidak dapat menarik modal dan pariwisata dengan keberadaan ideologi ekstremis di Arab Saudi, dan oleh karena itu proyek ekstremis ini harus diberantas, siapa pun yang mengadopsi ekstremisme, itu adalah kejahatan yang legal diberantas,” papar MBS, dilansir Al Arabiya News (28/4).
Pada September 2017, otoritas Saudi menangkap dai dan aktivis Islam terkemuka di negara itu, seperti Salman al-Ouda, Awad al-Qarni dan Ali al-Omari, atas tuduhan “terorisme dan konspirasi melawan negara,” di tengah tuntutan dari internasional dan tokoh dan organisasi Islam untuk pembebasan mereka.
Selain pembicaraan terkait ekstrimisme, MBS pun membicarakan keinginan Arab Saudi yang ingin memiliki hubungan yang baik dan terhormat dengan Republik Islam Iran.
“Kami ingin Iran yang sejahtera dan memiliki kepentingan bersama satu sama lain, tetapi masalah kami adalah tindakan negatifnya seperti program nuklirnya atau dukungan untuk milisi yang dilarang di beberapa negara di kawasan dan program rudal balistik,” ujar MBS.
“Kami bekerja dengan mitra kami untuk mengatasi masalah ini, dan kami berharap dapat mengatasinya dan memiliki hubungan yang baik dan positif dengan semua pihak,” sambungnya.
Namun, MBS tidak merinci pembicaraan soal para mitranya yang dia maksud, tetapi The Financial Times baru-baru ini mengatakan bahwa delegasi Saudi bertemu dengan delegasi Iran pada 9 April di ibu kota Irak, Baghdad.
Pembicaraan rahasia Saudi-Iran, menurut sumber yang sama, berfokus pada meredakan ketegangan antara kedua negara, serangan Syiah Houtsi ke wilayah Saudi dan menyetujui untuk mengadakan pembicaraan baru.
Mengenai masalah Yaman, MBS mengatakan bahwa negaranya “tidak akan menerima kehadiran milisi yang melanggar hukum di perbatasannya,” mengacu pada kelompok milisi Syiah Houtsi.
“Kami berharap Houtsi akan duduk di meja perundingan dengan semua pihak di Yaman untuk mencapai solusi yang menjamin hak semua orang dan menjamin kepentingan negara-negara di kawasan itu,” ujarnya.
Selama hampir tujuh tahun, Yaman mengalami perang antara pasukan pro-pemerintah yang didukung oleh koalisi militer Arab yang dipimpin Saudi dan Syiah Houtsi yang didukung Iran, yang telah menguasai ibu kota Sanaa sejak September 2014. (hanoum/arrahmah.com)