BAGHDAD (Arrahmah.id) — Perdana Menteri Irak Mohammed Shia al-Sudani telah membela kehadiran pasukan Amerika Serikat (AS) di negaranya dalam sebuah wawancara dengan Wall Street Journal, yang pertama sejak menjabat pada bulan Oktober.
Posisi tersebut bertentangan dengan sikap beberapa kelompok yang berpihak pada Iran yang sebagian membentuk Kerangka Kerja Koordinasi yang didominasi Syiah, blok politik yang mencalonkan perdana menteri tahun lalu.
Al-Sudani kemudian ditunjuk oleh Presiden Abdul Latif Rashid, yang pemilihannya mengakhiri lebih dari satu tahun kebuntuan politik yang dipicu oleh ulama dan pemimpin politik Muqtada al-Sadr.
Dalam wawancara yang diterbitkan pada hari Ahad (15/1/2023), al-Sudani tidak memberikan batas waktu bagi pasukan AS dan NATO untuk meninggalkan Irak, meskipun ada seruan dari beberapa sekutu politik untuk penarikan penuh.
“Kami pikir kami membutuhkan pasukan asing,” kata al-Sudani, seperti dikutip dari Al Jazeera (15/1), “Pembumihangusan kelompok militan Islamic State (ISIS) membutuhkan lebih banyak waktu,”
AS menginvasi Irak pada tahun 2003 di tengah perang melawan teror global, dengan jumlah pasukan mencapai puncak sekitar 170.000 tentara pada tahun 2007 sebelum pasukan ditarik pada tahun 2011.
Mereka dikerahkan kembali ke Irak pada tahun 2014 sebagai tanggapan atas kebangkitan khilafah yang ditegakan kembali oleh ISIS.
Bersama koalisi global 80 negara yang dipimpin AS, kelompok militan ISIS dapat dikalahkan pada tahun 2019.
Dua tahun kemudian, Washington secara resmi mengakhiri misi tempur pimpinan AS di Irak dan beralih ke peran penasehat membantu pasukan Irak.
AS saat ini memiliki sekitar 2.000 tentara yang ditempatkan di negara itu, dengan NATO menampung beberapa ratus tentara di sana, semuanya dalam peran non-tempur.
Sementara itu, serangan roket yang diluncurkan oleh kelompok bersenjata yang bersekutu dengan Iran di pangkalan yang menampung pasukan asing dan instalasi asing lainnya relatif sering terjadi.
Dalam wawancara yang terbit Ahad (15/1), al-Sudani mengatakan tidak ada niat untuk melanjutkan operasi tempur asing di negara itu, tetapi mencatat bahwa pasukan asing memberikan dukungan logistik penting dalam memerangi kantong ISIS di Suriah.
“Di dalam Irak kami tidak membutuhkan pasukan tempur,” katanya kepada surat kabar itu.
“Jika ada ancaman bagi Irak, itu adalah penetrasi sel ISIS melalui Suriah,” katanya.
Pernyataannya menggarisbawahi taktik sulit yang dicari perdana menteri dalam hubungannya dengan AS dan Iran, yang, selain memiliki pengaruh besar dalam politik domestik Irak, juga merupakan penyedia utama gas alam dan listrik ke negara itu.
Perdana menteri memuji hubungan ekonomi dan keamanan Iran dan Irak yang erat selama kunjungan ke Teheran pada bulan November.
Kepada Wall Street Journal, dia mengatakan ingin Irak memiliki hubungan yang sama dengan Washington dengan yang dinikmati oleh Arab Saudi dan produsen minyak dan gas Teluk Persia lainnya, dan berencana untuk mengirim delegasi tingkat tinggi ke Washington untuk melakukan pembicaraan dengan pejabat AS bulan depan dengan harapan pertemuan akhirnya dengan Presiden AS Joe Biden.
“Saya tidak melihat ini sebagai hal yang mustahil, melihat Irak memiliki hubungan baik dengan Iran dan AS,” kata al-Sudani. (hanoum/arrahmah.id)