RIYADH (Arrahmah.id) — Arab Saudi dan Iran merupakan dua negara yang memiliki corak Islam yang kental dalam masyarakatnya. Bahkan, Saudi dikenal sebagai negara tempat munculnya Agama Islam, sementara Iran merupakan pusat masyarakat Syiah.
Meski begitu, mulai muncul kelompok masyarakat negara itu yang justru memilih untuk tidak beragama. Mereka bahkan disebut-sebut telah memiliki paham Ateis, yang berarti tidak percaya kepada Tuhan.
Lalu apa penyebab munculnya fenomena ini di Saudi dan Iran?
Dikutip dari CNBC (12/7/2024), berikut sejumlah alasannya:
Arab Saudi
Di Negeri Dua Kota Suci ini, paham ateisme mulai terdeteksi dalam sebuah jajak pendapat yang digelar Gallup International pada 2012 lalu. Dalam survei itu, 5% warganya menggambarkan diri mereka sebagai “ateis yang yakin”.
Persentase yang sama seperti di Amerika Serikat (AS). Sementara 19% mengidentifikasi diri mereka sebagai “tidak beragama.”
Meskipun angka ini tampaknya tidak terlalu tinggi, angka ini cukup signifikan di negara yang menganut Hukum Islam. Di Saudi sendiri, keluar dari Islam atau murtad diganjal hukuman mati.
Pengamat sosial Hannah Wallace menuliskan bahwa disebabkan banyaknya sarana yang dapat mengarahkan warga Saudi menjadi Ateis seperti perkembangan Teknologi informasi, khususnya media sosial. Pembicaraan terkait topik ini pun meluas pasca fenomena Arab Spring yang melanda Timur Tengah.
“Meskipun diskusi tentang ateisme semakin terlihat dalam beberapa tahun terakhir, mereka yang terlibat sebagian besar masih menyamar dan tidak mau disebutkan namanya. Kelompok minoritas mempertaruhkan kebebasan mereka untuk meningkatkan kesadaran akan isu-isu sekuler dan ateis melalui situs web, video, dan media sosial,” ujarnya dalam sebuah tulisan berjudul ‘Men without God: The Rise of Atheism in Saudi Arabia’, yang dirilis dalam platform Secular Humanism pada 2020 lalu.
Iran
Survei Iranian’s Attitudes Toward Religion pada tahun 2020 mengungkap bahwa ada 9% warga Iran yang mengaku sebagai ateis. Selain itu, ada sekitar 22% warga yang tidak mengidentifikasi satu pun agama dari Islam, Kristen, Yahudi, Sufi, Zoroaster, ataupun Baha’i.
Pooyan Tamimi Arab, asisten profesor Studi Agama di Universitas Utrecht, mengatakan bahwa fenomena ini kemungkinan besar terjadi akibat keterikatan antara negara dan agama di Iran. Pasalnya, institusi negara yang seringkali dikritik masyarakat juga merupakan bagian dari institusi keagamaan.
“Kami melihat peningkatan sekularisasi dan keragaman agama dan keyakinan. Keterikatan antara negara dan agama, yang menyebabkan masyarakat membenci institusi agama meskipun sebagian besar masih percaya pada Tuhan,” ujarnya kepada Deutsche Welle (DW) dalam wawancara 2021 lalu.
Di sisi lain, sekularisme juga mulai berkembang di Iran dengan berkembangnya akses teknologi dan juga urbanisasi besar-besaran. Hal ini berdampak pada struktur masyarakat yang semakin terbuka dengan hal baru.
“Masyarakat Iran telah mengalami transformasi besar, seperti tingkat melek huruf yang meningkat secara spektakuler, negara ini mengalami urbanisasi besar-besaran, perubahan ekonomi telah mempengaruhi struktur keluarga tradisional, tingkat penetrasi internet tumbuh sebanding dengan Uni Eropa dan tingkat kesuburan menurun,” tambahnya.
Fenomena serupa rupanya telah meluas di Timur Tengah. Lingkaran survei Timur Tengah, Arab Barometer, mengungkap bahwa di Lebanon, ketaatan pada agama telah menurun sekitar 43% selama dekade terakhir. Bahkan, hanya kurang dari seperempat penduduknya kini mendefinisikan diri mereka sebagai orang yang religius.
Seorang wanita Lebanon menceritakan bagaimana ia akhirnya memutuskan untuk menjadi ateis. Sebelumnya, ia tinggal di keluarga yang taat beragama dengan berbagai aturan ketat diterapkan oleh orang tuanya.
“Saya berasal dari keluarga yang sangat religius, orang tua saya memaksa saya untuk memakai cadar ketika saya baru berusia 12 tahun. Mereka terus-menerus mengancam saya bahwa jika saya membuka cadar, saya akan terbakar di neraka,” ungkap wanita itu.
Saat kuliah, ia bertemu dengan sekelompok temannya yang ateis. Ia pun memutuskan untuk ikut kelompok itu dan melepas cadarnya.
“Saya perlahan-lahan menjadi yakin dengan keyakinan mereka, jadi suatu hari sebelum berangkat ke universitas, saya memutuskan untuk melepas cadar dan meninggalkan rumah,” katanya. (hanoum/arrahmah.id)