GARISSA (Arrahmah.id) – Delapan polisi Kenya tewas ketika kendaraan mereka dihancurkan oleh sebuah alat peledak rakitan dalam serangan yang dicurigai dilakukan oleh kelompok bersenjata yang berbasis di Somalia, Asy Syabaab, kata polisi.
Insiden ini terjadi pada Selasa (13/6/2023) di daerah Garissa di Kenya timur, sebuah wilayah yang berbatasan dengan Somalia, di mana Asy Syabaab telah melancarkan pemberontakan berdarah terhadap pemerintah yang rapuh di Mogadishu selama lebih dari 15 tahun.
“Kami kehilangan delapan polisi dalam serangan ini,” kata Komisioner Regional Timur Laut John Otieno, lansir Al Jazeera (14/6). “Kami menduga ini adalah ulah Asy Syabaab yang kini menargetkan pasukan keamanan dan kendaraan penumpang.”
Serangan ini terjadi hanya beberapa hari setelah Ethiopia mengatakan bahwa mereka menggagalkan serangan bunuh diri yang dilakukan oleh kelompok tersebut di kota perbatasan Dollo.
Asy Syabaab, yang memiliki hubungan dengan al-Qaeda, telah melancarkan pemberontakan bersenjata terhadap pemerintah pusat Somalia selama sekitar 15 tahun.
Kenya pertama kali mengirim pasukan ke Somalia pada 2011 untuk memerangi kelompok ini dan sekarang menjadi kontributor utama pasukan dalam operasi militer Uni Afrika (AU) melawan kelompok ini.
Namun, Kenya telah mengalami serangkaian serangan balasan, termasuk pengepungan berdarah di Westgate Mall di Nairobi pada 2013 yang menewaskan 67 orang dan serangan di Universitas Garissa pada 2015 yang menewaskan 148 orang.
Di Somalia sendiri, Asy Syabaab terus melancarkan serangan mematikan meskipun ada serangan besar yang diluncurkan Agustus lalu oleh pasukan pro-pemerintah, yang didukung oleh pasukan AU yang dikenal sebagai ATMIS.
ATMIS, yang memiliki 22.000 tentara, telah membantu pemerintah federal Somalia dalam perang melawan Asy Syabaab sejak 2022 ketika mereka menggantikan Misi AU di Somalia (AMISOM).
Dalam salah satu serangan terburuk baru-baru ini, 54 pasukan penjaga perdamaian Uganda terbunuh ketika para pejuang Asy Syabaab menyerbu pangkalan AU di Somalia pada 26 Mei, menurut Presiden Uganda Yoweri Museveni. (haninmazaya/arrahmah.id)