Oleh: Mohamad Fadhilah Zein
(Penulis Buku “Kezaliman Media Massa terhadap Umat Islam” dan Dosen Komunikasi Penyiaran Islam Universitas Ibn Khaldun Bogor)
(Arrahmah.com) – Haruskah seorang jurnalis melepas keyakinan agamanya ketika melakukan tugas jurnalistik? Pertanyaan ini menggelitik penulis karena ada cara pandang sebagian jurnalis yang mengatakan, jika jurnalis tidak melepas keyakinan agamanya ketika melakukan tugas jurnalistiknya, contoh meliput konflik agama, maka akan kehilangan obyektivitas. Benarkah cara pandang demikian? Apakah seorang jurnalis yang memegang teguh ajaran agamanya akan kehilangan obyektivitasnya ketika melakukan tugas jurnalistik di tengah konflik? Apapun penyebab konflik tersebut?
Penulis beranggapan cara pandang demikian tidak lepas dari paham sekulerisme yang memisahkan agama dari realita kehidupan. Paham ini sudah berkelindan dalam ilmu-ilmu jurnalistik yang diajarkan di banyak perguruan tinggi. Keduanya sudah menjadi darah daging yang sulit dipisahkan. Hal itu dapat dilihat dari sembilan elemen jurnalisme yang menjadi ideologi mainstream dalam jurnalistik. Salah satu elemen yang diajarkan adalah, jurnalistik harus mengejar kebenaran untuk disampaikan kepada masyarakat.
Namun, jurnalistik tidak mengajarkan apa itu kebenaran dan apa parameter kebenaran yang dianut. Dalam kajian jurnalistik, kebenaran menjadi relatif dengan alasan terlepas dari kepentingan tertentu atau tidak memihak demi keberimbangan. Penulis buku sembilan elemen jurnalisme, Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, bahkan mengaku kesulitan menentukan apa itu kebenaran. Bagi keduanya, jurnalistik akan sampai pada kebenaran jika sudah mewawancarai ribuan orang mengenai suatu persoalan. Dengan ribuan pendapat yang dikumpulkan, maka akan diolah untuk kemudian dijadikan sebuah kebenaran. Kebenaran yang dihasilkan dari wawancara terhadap ribuan individu tentunya akan menimbulkan persoalan lain. Bukankah setiap kepala memiliki pendapat yang tidak sama? Seperti pepatah mengatakan, rambut boleh hitam, tapi isi kepala belum tentu sama. Belum lagi pendapat ribuan orang di suatu negara akan berbeda dengan di negara lain. Artinya, kebenaran yang diajarkan Bill Kovach dan Tom Rosenstiel kehilangan parameter dan pijakannya. Dia akan menjadi relativisme yang kemudian sulit menemukan definisi kebenaran sejati.
Jurnalistik yang mengadopsi paham sekulerisme telah menjadikan para jurnalis sebagai manusia yang tercerabut dari identitas agama. Di dalamnya, ditelan mentah-mentah gelombang perubahan cara pandang. Jurnalistik menjadi sebuah bagian dari industrialisasi media massa yang dikuasai oleh kelompok kapitalis. Harvey Cox memberikan istilah sekulerisme sebagai pembebasan manusia dari agama dan pengawasan metafisik, menjadi pengalihan perhatian kepada yang ada “di sini dan kini”, sebagai konsekuensi logis dari dampak keyakinan yang bersumber dari teologi kristen terhadap sejarah.
Perguruan Tinggi Islam yang mengajarkan jurnalistik harus mengubah cara pandang pemisahan agama dalam jurnalisme. Dalam sejarahnya, gerakan sekulerisme selalu mendapat penolakan di negara-negara muslim. Bahkan, di Turki saat ini, secara perlahan-lahan politik Islam mulai bergeliat melawan dominasi paham sekuler. Kajian yang dilakukan Mark Juergensmeyer (1993) menunjukkan, negara-negara dengan penduduk mayoritas muslim belum merasakan hakikat kemerdekaan dari kolonialisme barat, jika negaramereka belum menerapkan Syariat Islam.
Jurnalistik dengan Islamic Worldview
Islam memiliki catatan yang panjang dalam kegiatan jurnalistik. Para ulama Islam menulis ratusan kitab yang di dalamnya sarat dengan informasi, peristiwa dan cara pandang. Ali bin Abi Thalib bahkan menggambarkan “tulisan adalah tamannya para ulama”. Imam al Ghazali adalah jurnalis ketika menceritakan ulama di zamannya dalam Ihya Ulumuddin. At-Thabari adalah jurnalis ketika dia merekam peristiwa sejak Nabi Adam sampai peristiwa di zamannya dalam tarikh al Umam wa al Muluk. Ibnu Abdi Rabbin juga jurnalis, ketika dia menuturkan peristiwa-peristiwa sosiokultural dunia Islam klasik dalam 25 kitab yang diberinya nama Al-Iqd al Farid. Dalam permulaan bukunya, dia bahkan mengutip ucapan Plato: “Pikiran manusia terekam di ujung pena mereka”.
Para ulama Islam itu merupakan jurnalis-jurnalis andal di zamannya. Mereka jujur dan dapat dipercaya menyampaikan informasi secara obyektif. Mereka telah berjasa bukan saja sebagai perekam peristiwa atau pengawal peradaban Islam, melainkan juga tonggak-tonggak sejarah perkembangan Islam. Kitab-kitab yang mereka tulis menjadi media yang kemudian bisa dipelajari oleh generasi saat ini. Satu hal paling penting yang dapat diambil hikmahnya adalah, menjadi jurnalis yang obyektif tidak perlu menanggalkan kebenaran agama yang dianut.
Para ulama di atas mampu membuktikan, jurnalis dengan cara pandang yang dibalut dengan Islamic Worldview, tidak akan menghilangkan obyektivitas. Kebenaran dalam Islam yang sudah dibakukan dalam kitab suci, tidak menghilangkan obyektivitas jurnalis dalam melihat realita kehidupan. Lebih dari itu, jurnalis muslim hendaknya sanggup menjadi jurnalis profetik. Artinya, dia mampu menjadi pembawa amanat kenabian dan risalah agama, serta mampu melakukan amar ma’ruf dan nahi mungkar.
Dalam konteks saat ini, Jurnalistik dengan Islamic Worldview bisa menjadi kajian untuk menghadang dominasi negara maju di bidang komunikasi massa. Meminjam istilah ilmuwan sosial, Johan Galtung, adanya dominasi negara maju atas negara berkembang di bidang komunikasi massa. Imperialisme di bidang komunikasi massa ini kemudian merasuk dalam ilmu-ilmu jurnalistik. Mengapa disebut imperialisme komunikasi? Karena pada kenyataannya, hubungan negara maju dengan negara berkembang menciptakan arus informasi yang mengalir bersifat feodalistik dan deterministik.
Negara-negara barat menjadi jendela informasi secara sepihak terhadap negara-negara muslim. Tapi negara-negara muslim tidak bisa menyebarkan informasi yang benar tentang kondisi mereka ke negara-negara barat. Maka, yang terjadi adanya distorsi informasi tentang Islam dan umat Islam di negara-negara barat. Sistem informasi yang demikian sudah dirancang jauh-jauh hari sebagai bagian dari hubungan antara negara maju (baca: barat) dan negara-negara berkembang (baca: Islam).
Kantor-kantor berita yang dimiliki negara-negara Barat, bukan hanya pembuat berita, tetapi mereka juga menjadi penentu berita apa saja yang layak disalurkan ke negara-negara berpenduduk mayoritas muslim. Dengan pola arus penyebaran informasi seperti ini, setidaknya ada dua implikasi. Pertama, menyangkut akurasi pemberitaan. Kedua, menyangkut soal preferensi obyek pemberitaan.
Untuk hal yang pertama, buku Covering Islam, karya Edward Said, berbicara dengan sangat detail bagaimana kantor-kantor berita Barat menyajikan Islam sebagai berita. Menurut Said, banyak pemberitaan tentang Islam yang disajikan secara superfisial oleh jurnalis-jurnalis Barat. Hal itu, menurutnya, bisa terjadi karena ketidaktahuan atau kesengajaan.
Tentang hal yang kedua, Preferensi obyek pemberitaan, biasanya erat hubungannya dengan persoalan ideologis. Dalam soal pemberitaan, negara-negara Barat menganut ideologi “free flow of ideas by words and image”. Ideologi ini kemudian diartikan sebagai bebas memberitakan apa saja yang menarik untuk diketahui publik. Ideologi pemberitaan yang demikian sudah tentu menguntungkan negara-negara Barat, karena mereka yang menguasai sarana informasi dan komunikasi.Ideologi ini juga menjadi alat legitimasi yang paling baik bagi negara-negara barat untuk berperan sebagai “jendela dunia” bagi negara-negara Muslim.
Kita beruntung hidup di era internet yang demikian luas. Jurnalis-jurnalis muslim bisa membangun media massa online yang mudah dan murah, namun memiliki daya pengaruh yang besar.Bahkan kehadiran sosial media bisa mengimbangi adanya imperalisme dan kolonialisme di bidang informasi dan komunikasi.
Dengan gencarnya arus sekulerisasi di lini massa, maka kajian Jurnalistik dengan Islamic Worldview bisa menjadi alternatif untuk menghadangnya. Penolakan terhadap sekulerisme tidak hanya terjadi di dunia Islam.Sejarah telah menunjukkan penentangan terhadap sekulerisme di seluruh negara. Agama dan politik jalin-menjalin sepanjang sejarah di seluruh dunia. Sejumlah pemberontakan melawan penguasa, dari Revolusi Maccabean di Israel kuno sampai pemberontakan Taiping di Cina, gerakan Wahabiyah di Arab Saudi dan Puritanisme di Inggris, merupakan gerakan perlawanan kelompok agama terhadap sekulerisme.
(azmuttaqin/arrahmah.com)