JAKARTA (Arrahmah.com) – Menikah dalam Islam merupakah hal yang sakral, karena terkait hukum dan keyakinan. Karena itu, pelaksanaannya harus dibingkai kaidah agama. Jika tidak, sakralitas pernikahan akan tercederai. Terkait nikah siri, menurut Ketua umum Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (DDII), Syuhada Bahri, jika hal itu sesuai dengan syariat, baik syarat maupun rukunnya terpenuhi, maka sah dan tidak melanggar agama.
“Bedanya, nikah siri tidak dicatat, sedang nikah di KUA tercatat,” tegasnya kepada hidayatullah.com.
Namun, dia menjelaskan, KUA hanya sekedar kelengkapan administratif untuk keperluan prosedur nantinya, tapi bukan untuk legislasi secara agama. “Yang menentukan sahnya pernikahan adalah Allah, bukan KUA,” tegasnya.
Karena itu, dia tidak setuju jika pemerintah hendak menerapkan pidana pelaku nikah siri. “Jangan-jangan persoalan-persoalan yang ingin ditempuh spiritnya adalah menolak syariat. Jika benar demikian, maka akan berhadapan dengan umat,” pungkasnya.
Syuhada juga mempertanyakan, jika nikah siri dipidanakan, apa pemerintah bisa menjamin tidak terjadinya perzinaan? Sebab, dengan nikah siri, setidaknya selama ini bisa meminimalisasi perbuatan zina.
Dia juga tidak menampik analisis rencana pemidanaan nikah siri bisa menyuburkan praktik zina dan seks bebas. Sebab, bisa jadi, jika tidak ada solusi yang ditempuh, justru nantinya masyarakat terjerumus seks bebas. Tidak hanya itu, selama ini nikah siri dilakukan karena menghindari perbuatan zina.
Syuhada juga mencontohkan, banyak kasus mahasiswa yang ingin menghindari maksiat dan zina lebih memilih menikah siri sambil tetap melanjutkan kuliah. Apakah dalam kasus seperti ini mereka akan dipenjara? Bagaimana dengan orang-orang yang bebas melakukan maksiat dan zina?
Karena itu, dia menyarankan, sebaiknya pemerintah meninjau ulang rencananya dan mempermudah masalah nikah. [hidayatullah.com/arrahmah.com]